Ilustrasi: Edi Wahyono
Rabu, 28 Maret 2018Panggil saja dia Cindy, seorang pengusaha di Jakarta. Dia enggan menyebutkan nama sebenarnya untuk ditulis dalam berita. Sudah sekitar delapan tahun Cindy menjadi pelanggan Dedy Darmawan, seorang peramal.
Setiap kali galau menghadapi masalah, sebagian besar masalah pribadi, dia memilih berbicara dengan Dedy, bukan dengan psikolog atau penasihat pernikahan. Dan hanya dengan Dedy, tidak dengan peramal lain. “Dia penenang saya. Jadi kayak teman curhat,” Cindy menuturkan kepada detikX pekan lalu. “Dia juga kenal dengan suami saya, kenal sahabat saya juga. Dan ramalan Mas Dedy jarang meleset.”
Kadang bukan cuma masalah berat, pelik, dan serius yang dikonsultasikan Cindy dengan Dedy, tapi juga masalah-masalah sepele. “Seminggu sekali saya pasti menghubungi dia, entah lewat telepon atau WhatsApp,” kata Cindy. Dedy memang tak perlu bertemu langsung dengan Cindy untuk ‘membacakan’ kartu tarotnya. Menurut Cindy, Dedy tak pernah memberikan ramalan yang sangat detail, misalnya satu kejadian di masa datang pada hari dan jam tertentu. “Kalau sangat pasti seperti itu, seram juga kita.”
Cindy kenal Dedy lewat seorang teman. Saat itu, pada 2010, dia sedang punya masalah. “Pasangan saya tiba-tiba menghilang begitu saja,” kata Cindy. Dia tak hanya galau, tapi juga bingung apa yang terjadi. Semalaman Cindy berkonsultasi dengan Dedy. Entah apa yang disampaikan Dedy, Cindy mengaku matanya terbuka, menjadi paham apa yang terjadi. Bagi Cindy, bukan kepada kartu tarot dia percaya, melainkan pada kemampuan Dedy. “Apa pun metode yang dia pakai, saya nggak ada masalah. Tapi kebetulan metode yang cocok pakai kartu tarot.”
Peramal Dedy Darmawan
Foto: dok. pribadi
Di akun Twitter miliknya, Dedy menuliskan ‘pekerjaan’-nya: pemilik dan pencetus Solusi Tarot Darma. “Saya di kartu tanda penduduk tulis pekerjaan sebagai paranormal,” kata Dedy. Melewatkan masa kecil di Jember dan kuliah di Kota Malang, Jawa Timur, dia mengaku punya banyak pengalaman menghadapi mimpi-mimpi dan ‘penampakan’ tak biasa. Dia juga mengaku pernah berkeliling dari kiai ke kiai untuk bertanya soal kemampuannya itu. “Tapi aku nggak berani mengklaim sebagai indigo.” Setelah mencoba rupa-rupa metode untuk ‘menyalurkan’ kemampuannya itu, dia merasa berjodoh dengan kartu tarot.
* * *
Pada mulanya, kartu tarot hanyalah kartu permainan di sejumlah negara Eropa sekitar abad ke-14. Namun belakangan, sejumlah orang memakai kartu ini untuk ‘membaca’ sesuatu yang tak kasatmata. Selama beberapa abad, ‘ilmu’ membaca kartu tarot, tarotologi dan cartomancy, terus berkembang. Di internet, ada banyak orang yang menawarkan kursus ‘membaca’ kartu tarot.
“Dari dulu kartu tarot itu cuma alat saja. Dia stetoskop kami. Mau sekuat apa pun stetoskopnya, kalau aku bukan dokter yang punya teori dan kemampuan yang mumpuni, ya nggak ada gunanya,” kata Dedy Darmawan. Kata dia, tak ada klenik atau hal mistis dalam kartu tarot. Bagi dia, ilmu meramal dengan kartu tarot ini tak ada bedanya dengan ilmu meramal atau forecasting dalam statistik atau ilmu cuaca dan iklim. “Kalau ada orang menuduh kami klenik, orang itu tak paham apa arti klenik.”
Menurut Dedy, peramal kartu tarot yang tergabung dalam Komunitas Tarot Jakarta tak akan memberikan nasihat-nasihat berbau klenik kepada pelanggannya. “Misalnya, kalau kamu mau kaya, harus beli ayam hitam…. Nggak ada jawaban seperti itu di kartu tarot,” kata dia.
Komunitas Tarot Jakarta
Foto: dok. pribadi via Instagram
Bahkan ada klien mau kirim e-mail atau mau kirim WhatsApp ke rekan bisnisnya saja sampai harus konsultasi dulu.”
Dedy Darmawan, peramal dan Ketua Komunitas Tarot JakartaPada 2011, Dedy bersama belasan peramal kartu tarot, seperti Albert Chandra, Imelda Nanik Purnomo, dan Joscev Audivacx, mendirikan Komunitas Tarot Jakarta. Sekarang anggota komunitas ini sudah 473 orang, dari anak SMP hingga orang tua. Dari peramal sekadar hobi sampai peramal ‘profesional’ seperti Dedy dan Arif Hidayat.
Sebagai satu profesi, menurut Dedy, pembaca kartu tarot bisa menghasilkan duit lumayan besar. Dedy, misalnya, pasang tarif konsultasi pribadi Rp 500 ribu per jam. Lebih mahal dari ongkos konsultasi dokter spesialis di rumah sakit besar di Jakarta sekalipun. “Ada beberapa temanku yang tak mau diekspos, kaya luar biasa,” dia bercerita.
Pelanggan peramal-peramal ini memang tak cuma anak gadis atau remaja galau, juga bukan hanya ibu-ibu rumah tangga yang curiga suaminya punya ‘simpanan’ di luar sana, tapi juga para pengusaha dan calon kepala daerah, bahkan ada pula perusahaan yang jadi pelanggan tetap.
“Bahkan ada klien mau kirim e-mail atau mau kirim WhatsApp ke rekan bisnisnya saja sampai harus konsultasi dulu,” ujar Dedy. Urusan yang tampak remeh-temeh pun kadang ditanyakan kepada peramalnya. “Mereka tanya, 'Aku mau ketemu klien besok, pakai baju ini cocok nggak?’ Atau, 'Aku mau kirim kontrak, kalau kata-kata di WhatsApp-nya begini pas nggak?’”
Komunitas Tarot Jakarta
Foto: dok. pribadi via Instagram
Arif Hidayat kuliah di jurusan teknik dan pernah bekerja di pabrik. Tapi sekarang dia meninggalkan semua ilmu yang pernah dia pelajari di kampus dan memilih menjadi peramal dengan kartu tarot sejak 2014. Arif punya metode sedikit beda dalam meramal. Lantaran pernah belajar sulap dan hipnosis, kadang dia mengkombinasikan ramalan tarot dengan sulap.
Semula, sama seperti rata-rata orang, dia juga beranggapan ramalan tarot tak ada manfaatnya. Baru setelah mendalami teknik membaca tarot, dia percaya ramalan tarot bisa membantu orang. Suatu kali, ada orang datang kepadanya dan bertanya, “Apa solusinya, saya bunuh diri saja, ya?” Tentu saja dia tak mengiyakan. Arif berusaha memberikan penjelasan dengan rasional dan menyuntikkan semangat agar orang itu tak memilih jalan bunuh diri.
Reporter/Redaktur: Melisa Mailoa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim