INTERMESO

Stephen Hawking Mencari ‘Tuhan’

Meski mengaku seorang ateis, sampai akhir hayat Hawking tetap menjadi anggota Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan.

Foto: dok. Getty Images

Sabtu, 17 Maret 2018

Jika ada fisikawan yang popularitasnya bisa menandingi Albert Einstein dan Isaac Newton, dia barangkali adalah Stephen William Hawking. Buku yang ditulisnya, A Brief History of Time, yang menjelaskan rupa-rupa masalah fisika yang kompleks, terjual laris manis seperti novel fiksi.

Maka tak aneh, ketika Hawking datang menjadi pembicara di California Institute of Technology (Caltech) beberapa tahun lalu, mahasiswa dan para fisikawan antre mengular sangat panjang demi mendapatkan kursi dalam acara itu, nyaris tak ada beda dengan antrean pembeli iPhone seri terbaru.

Acara digelar malam hari, tapi sejak pagi orang sudah datang dan antre. Dua jam sebelum acara, panjang antrean itu sudah beberapa ratus meter. Bahkan ada beberapa calo yang menawarkan kursi seharga US$ 1.000 untuk acara tersebut. Ruangan acara itu menampung 1.000 undangan.

Hawking memulai pidatonya dengan mengutip mitos penciptaan alam semesta dari Afrika, dan langsung melontarkan pertanyaan besar. “Mengapa kita ada di sini?” tanya Hawking seperti dikutip Guardian. Menurut Hawking, orang-orang masih mencari solusi ilahiah untuk 'melawan' solusi fisika. “Jika orang percaya bahwa ada awal mula semesta, apa yang Tuhan lakukan sebelum tercipta alam semesta? Apakah mempersiapkan neraka bagi mereka yang melontarkan pertanyaan seperti itu?”

Stephen Hawking berpidato dalam pembukaan London Paralimpik pada Agustus 2012.
Foto: dok. Getty Images

Dengan panjang-lebar, Hawking memaparkan pelbagai debat sepanjang sejarah dan rupa-rupa teori fisika soal penciptaan alam semesta, mulai teori Steady State yang dilontarkan Fred Hoyle dan Thomas Gold puluhan tahun silam. Menurut Hoyle, tak ada permulaan, juga tak ada akhir, bagi alam semesta. Dunia tercipta secara spontan. Tapi, menurut Hawking, teori Hoyle ini keliru.

Hawking memaparkan, teori relativitas umum tak cukup untuk menjelaskan proses kelahiran alam semesta. Teori relativitas bisa menjelaskan lebih baik asal-muasal alam semesta jika dikombinasikan dengan teori kuantum.

Bersama fisikawan Roger Penrose, Hawking membuktikan bahwa alam semesta tak bisa kembali setelah mengalami kontraksi. Dan waktu dimulai pada momen singularitas yang hanya terjadi sekali. Menurut model Hawking, umur alam semesta ini sekitar 13,8 miliar tahun.

Stephen Hawking menutup pidatonya dengan memaparkan teori M yang dilontarkan fisikawan dari Caltech, Richard Feynman. Menurut dia, teori Feyman inilah satu-satunya teori yang bisa menjelaskan teori-teori Hawking secara gamblang. Feyman mengatakan alam semesta tercipta dalam pelbagai kondisi.

“Karena ada hukum, di antaranya hukum gravitasi, alam semesta bisa tercipta dari ruang kosong, nothing,” kata Hawking. Namun ada sejumlah pertanyaan yang belum terpecahkan dari model Hawking. Menurut dia, penemuan boson Higgs akan semakin melengkapi lubang-lubang dalam model penciptaan alam semesta. Misteri lain yang belum terjawab adalah soal keberadaan dark energy dan dark matter.

Walaupun Hawking meyakini bahwa Dentuman Besar alias Big Bang yang mengawali alam semesta bisa terjadi tanpa campur tangan Tuhan, menurut Alex Filipenko, astrofisikawan dari University of California, Berkeley, bukan berarti Tuhan tak ada. “Aku pikir, kita tak bisa menggunakan sains untuk membuktikan keberadaan Tuhan.”

Stephen Hawking dan Paus Yohanes Paulus I.
Foto: dok. Casina Pio IV via Twitter

Lebih dari dua dekade lalu, Paus Yohanes Paulus II menyampaikan pesan di depan majelis Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan (Pontifical Academy of Science). Umat Katolik, Paus yakin akan dapat menikmati manfaat dari dialog penuh kepercayaan antara gereja dan dunia sains.

Sains dan kitab suci, menurut Paus, kadang memang tampak seperti bertolak belakang. “Tapi, jika hal itu terjadi, pasti ada jalan keluarnya. Sebab, kebenaran tak akan bertentangan dengan kebenaran,” kata Paus Yohanes. Dia memberi contoh kasus Galileo. “Penemuan Galileo soal cara kerja sistem tata surya telah mengilhami gereja mencari interpretasi baru atas kata-kata itu.”

Selama berabad-abad, hubungan antara otoritas agama dan sains memang mengalami pasang-surut. Sains kadang dipandang dengan penuh curiga sebagai suatu ‘ancaman’ bagi doktrin agama. Paus Yohanes, yang bertakhta di Vatikan sejak 1978 hingga 2005, berusaha merekatkan hubungan gereja dengan komunitas ilmuwan.

Hukum itu mungkin saja diciptakan oleh Tuhan, tapi Tuhan tak campur tangan untuk mempengaruhi kerja hukum sains itu.”

Stephen W Hawking (1942-2018)

Stephen Hawking di Beijing, China, pada Juni 2006.
Foto: dok. Getty Images

Pada ulang tahun Akademi Kepausan ke-50 pada 1986, Paus Yohanes menyampaikan khotbah bahwa tak ada kontradiksi antara sains dan agama. “Sains dapat memurnikan agama dari kesalahan dan takhayul, sementara agama dapat memurnikan sains dari kemusyrikan,” ujar Paus Yohanes pada kesempatan lain. Pada masa Paus Yohanes inilah, pada 1986, Stephen Hawking diangkat sebagai anggota Akademi Kepausan. Sepuluh tahun sebelumnya, Akademi Kepausan memberikan penghargaan Medali Pius XI kepada Hawking.

Pada 14 Maret lalu, fisikawan paling kondang di dunia setelah Albert Einstein dan Isaac Newton itu berpulang. Di akun Twitter resminya, Akademi Kepausan menulis, “We are deeply saddened about the passing of our remarkable Academician Stephen #Hawking who was so faithful to our Academy.” Hingga meninggal, Hawking masih menjadi anggota Akademi Kepausan. Padahal Hawking bukanlah seorang Katolik, bukan pula orang yang religius.

Tiga puluh tahun silam, Hawking menerbitkan bukunya yang sangat kondang, A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Hole. Meski Hawking sudah menyetip hampir semua persamaan matematika dalam bukunya, sebenarnya tak gampang untuk memahami buku fisika populer ini. Namun tetap saja, buku ini laris manis bak novel cinta-cintaan. Sampai sekarang, buku ini sudah terjual lebih dari 10 juta eksemplar.

Stephen Hawking dan Paus Yohanes Paulus II.
Foto: dok. Casina Pio IV via Twitter

Dalam bukunya itu, Hawking tak tegas menyatakan sikapnya soal Tuhan. Seandainya manusia bisa memahami bagaimana alam semesta tercipta, bagaimana mekanisme kerja semesta, dia menulis, mungkin manusia bisa membaca ‘pikiran’ Tuhan. Saat bertamu ke Vatikan untuk menghadiri pertemuan anggota Akademi Kepausan pada 2008, Hawking masih menyebut peran Tuhan. “Aku percaya, alam semesta diatur oleh hukum-hukum sains…. Hukum itu mungkin saja diciptakan oleh Tuhan, tapi Tuhan tak campur tangan untuk mempengaruhi kerja hukum sains itu,” ujar Hawking seperti dikutip Reuters.

Baru bertahun-tahun kemudian, lewat bukunya yang ditulis bersama Leonard Mlodinow, The Grand Design, sikap Hawking tentang Tuhan makin terang. Hukum-hukum fisika, Teori Relativitas dan Teori Mekanika Kuantum, menurut Hawking, sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana proses penciptaan alam semesta. Tak perlu ada keterlibatan Tuhan.

Dalam sebuah wawancara dengan harian Spanyol, El Mundo, hampir empat tahun lalu, Hawking menegaskan sikapnya soal Tuhan. “Pada masa lalu, sebelum kita memahami sains, percaya bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam semesta merupakan hal yang masuk akal. Tapi sekarang sains memberikan penjelasan yang lebih meyakinkan…. Aku seorang ateis,” Hawking menegaskan ‘agama’-nya kepada El Mundo.

Bagaimana seorang ateis seperti Hawking bisa menjadi anggota Akademi Kepausan? Akademi Kepausan memang tak menjadikan beragama Katolik sebagai syarat bagi anggotanya. Bahkan Presiden Akademi ini pernah dijabat oleh seorang Kristen Protestan: Werner Arber. Maka tak mengherankan jika ada seorang ateis seperti Hawking, ilmuwan muslim seperti Abdus Salam dan Ahmad Zewail, pernah jadi anggota Akademi Kepausan.


Redaktur/Editor: Sapto Pradityo

[Widget:Baca Juga]
SHARE