Ilustrasi: Edi Wahyono
Meski diguyur air hujan sejak pagi, Karsad masih mondar-mandir di pematang sawahnya. Sejak tiga hari lalu, dia dan lima penggarap mulai memanen padi yang mereka tanam empat bulan lalu.
Akhir September 2017, Karsad memulai musim tanam dengan perasaan cemas. Dia masih dihantui hasil buruk pada panen sebelumnya. Ternyata, pada musim panen ini, dia kembali kurang beruntung.
"Sudah dua kali musim panen, padi di bawah standar. Normalnya kami bisa dapat 7 ton gabah per hektare, tapi akhir-akhir ini tak pernah lebih dari 5 ton," kata Karsad saat ditemui detikX di area persawahan Desa Ciranggon, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Kamis, 18 Januari 2018.
Selain jumlah gabah yang merosot, kualitas tanaman padi di sawah Karsad kurang baik. Petani berumur 47 tahun itu mengaku sudah setahun terakhir dihantui oleh penyakit aneh yang menyerang tanaman padi. "Orang sini menyebutnya zonk," ujar Karsad.
Dia bercerita, padi yang terserang zonk dapat dilihat secara kasatmata, yang ditandai dengan perubahan warna daun menjadi merah dan batangnya kecil-kurus seperti lidi. Bulirnya tak keluar, lalu lama-kelamaan akan mati. Meski begitu, pada tumbuhan padi yang terserang zonk, beberapa bulir lain dalam satu helai masih berisi. "Cuma padinya kecil-kecil," kata dia.
Karsad, petani Desa Ciranggoj, Kecamatan Majalaya, Karawang, di depan lahan sawah
Foto: Luthfiana Awaludin/detikX
Seingat Karsad, sejak mengenal sawah puluhan tahun lalu, ia tak pernah melihat penyakit padi seperti zonk itu. "Dulu nggak pernah nemu penyakit seperti ini. Paling-paling masalah petani cuma hama wereng, tikus, standar saja," ujarnya.
Penyakit zonk mulai mewabah sejak akhir 2015. Namun kian hari penyebarannya makin luas, bahkan sampai Karawang Selatan. Wilayah ini dialiri air dari Gunung Sanggabuana, yang belum terkontaminasi limbah industri. "Informasi dari kawan, sawah di Loji saja kena zonk," kata Karsad.
Ia mengaku sudah berkonsultasi dengan penjual obat-obatan tanaman di Karawang. Sayang, baik penjual obat maupun pihak penyuluh pertanian belum tahu apa obat dan penyebab penyakit zonk.
“Belum ada yang tahu penyebab zonk, apakah faktor alam atau dari hama. Saya sudah tanya penjual obat, mereka bilang insinyur pun belum tahu obatnya. Katanya sih penyebab zonk dari wereng juga," tutur Karsad.
Saat ini Karsad sedang berupaya memilah-milah padi yang bisa dipanen. Dia pun berencana menanam ulang padi di sawahnya dalam waktu dekat.
Alasannya tetap memanen padi adalah saat ini harga gabah sedang bagus. Dia mengatakan tengkulak sampai berani membayar Rp 6.500 untuk 1 kilogram gabah. "Itu harga bagus, cuma sayang, produksi kurang," ucapnya.
Petani mempersiapkan lahan untuk ditanami padi.
Foto: Luthfiana Awaludin/detikX
Alasan lainnya, agar musim panen ini Karsad tak rugi lebih banyak. Apalagi biaya yang dikeluarkan untuk menanam dan merawat padi empat bulan terakhir mencapai Rp 7 juta.
"Bisa dibilang tenaga dan waktu kami tidak terbayar,” ujar pria yang memiliki sawah seluas 1,2 hektare ini. Kalau normal, ia bisa menghasilkan gabah padi sampai 9 ton.
Buruknya hasil panen padi di Karawang, Jawa Barat, ini berdampak pada cadangan beras nasional. Karawang sebagai lumbung beras nasional tak bisa diharapkan. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, pemerintah berencana mengimpor 500 ribu ton beras.
Menanggapi rencana itu, Karsad mengaku tak mempermasalahkannya. Dia memahami kenapa pemerintah sampai mengimpor beras, juga memahami kesulitan masyarakat lantaran mesti membeli beras dengan harga tinggi.
Tapi dia juga berharap pemerintah memperhatikan petani dengan mengendalikan harga gabah. "Kalau bisa, diatur sekilogram Rp 5.000. Harga itu bagus buat kami. Kalau (harganya) turun, kasihanlah petani," kata dia.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah meminta para petani menanam padi tiga kali dalam setahun untuk menjaga stok beras. Sayangnya, kebijakan itu justru menghasilkan produksi gabah yang kurang bagus. Biasanya petani menanam padi hanya dua kali setahun, yang diselingi dengan menanam palawija.
Aktivitas bongkar-muat di toko beras.
Foto: M Rizal/detikX
"Saya harap Pak Menteri Amran mengkaji ulang kebijakan tanam tiga kali dalam setahun. Itu terlalu dipaksakan," kata Wakil Bupati Karawang Ahmad Zamakhsyari saat meninjau harga beras di Pasar Johar, Karawang, yang sudah mencapai Rp 13 ribu per kilogram untuk beras medium pada Selasa, 16 Januari.
Ahmad mengatakan para petani di Karawang selama ini mempertahankan ajaran bertani dari para leluhur agar menanam dua kali dalam setahun. Ajaran ini merupakan kearifan lokal yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Sebab, setelah diolah dua kali, tanah harus diberi jeda terlebih dulu dengan ditanami palawija.
“Kalau tiga kali dampaknya apa coba? Lihat sekarang, padi kualitasnya tidak sebagus dulu," tutur Ahmad.
Berbeda dengan para petani di Karawang, para petani di Banyuasin, Sumatera Selatan, masih beruntung. Hasil beberapa kali musim panen tahun ini bagus, tak terjangkit hama wereng. “Ya alhamdulillah, tahun ini itu rezekinya petani,” ujar Supriadi Rappe, petani dari Solok, Banyuasin, Sumatera Selatan, kepada detikX, Rabu, 17 Januari.
Supriadi mengatakan kenaikan harga beras banyak berpengaruh terhadap penghasilan petani. Ketika harga beras mencapai Rp 8.900 per kilogram beberapa waktu lalu, gabah petani dibeli Rp 5.000 per kilogramnya. Dengan adanya kebijakan impor, setidaknya diprediksi harga jual gabah menjadi turun, mungkin pada kisaran Rp 4.600 per kilogram. “Itu harga di petani ya, bukan di tengkulak. Kalau di tengkulak, saya nggak tahu, kan macam-macam. Itu kelas petani saja kita, nih,” Supriadi menambahkan.
Secara pribadi, menurut Supriadi, kebijakan impor beras ini sangat merugikan petani. Padahal, suplai beras dari Sumatera Selatan cukup besar dan mencukupi. “Saya menyesalkan. Buktinya kita ada beras, kan? Kita ada panen, kan? Baru saja bisa bayar-bayar utang ke tengkulak, sekarang harga gabah turun lagi,” dia mengeluh.
Beras impor asal Vietnam dibongkar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 2015.
Foto: Alfathir Yulianda/detikcom
Penurunan harga gabah juga dikhawatirkan para petani di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Tanpa impor saja, harga jual petani setiap tahun selalu turun saat musim panen karena Bulog tak mampu menyerap seluruh gabah petani, apalagi impor beras terjadi.
“Kami tidak setuju, karena di sini setiap musim panen saja kadang harga turun, apalagi ada impor beras,” kata seorang petani bernama Muhammad Nur.
Menurut Nur, selama ini petani sudah terbebani oleh ongkos produksi yang sangat tinggi saat menanam padi, mulai harga pupuk, pestisida, hingga sewa traktor. Belum lagi soal ancaman gagal panen akibat hama dan banjir.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (Pispi), gejolak harga beras mulai dirasakan pada November 2017, yang terus merangkak naik. Awal pekan Januari 2018, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan akan mengimpor beras 500 ribu ton dari Thailand dan Vietnam. Beras impor diperkirakan akan tiba di Indonesia pada akhir Januari mendatang. Menteri Perdagangan beralasan impor dilakukan demi mengamankan pasokan beras di pasar.
"Pispi berpandangan seharusnya persediaan beras tidak berkurang, terlebih Bulog masih memiliki persediaan beras di gudang sebesar 800-900 ribu ton untuk menstabilkan harga beras sampai pertengahan Februari ketika awal masa panen raya padi terjadi. Sehingga impor akan berdampak pada penurunan harga gabah dan beras petani pada musim panen Februari-April 2018," sebut keterangan tertulis Pispi, Kamis, 18 Januari.
Wakil Bupati Karawang Ahmad Zamakhsyari saat meninjau harga beras di Pasar Johar, Karawang, Jawa Barat.
Foto: Luthfiana Awaludin/detikX
Serikat Petani Indonesia juga menyatakan tidak setuju terhadap rencana impor beras oleh pemerintah. Sebab, berdasarkan data Kementerian Pertanian, Indonesia mengalami surplus beras. Pada 2017, panen menghasilkan 87 ton beras. Sedangkan konsumsi nasional 77 ton.
“Jadi ada 10 juta ton yang sebenarnya hari ini ada. Karena itu, menurut kita, seharusnya pemerintah memaksimalkan dulu penggunaan gabah yang ada ini. Apakah ini yang di gudang Bulog, di gudang-gudang perusahaan, ataupun yang berada di penggilingan petani,” kata Henri Saragih, Ketua Serikat Petani Indonesia, kepada detikX, Jumat, 19 Januari.
Menurut Henri, seharusnya pemerintah berfokus pada bagaimana mengelola beras yang surplus tersebut. Apakah untuk ekspor atau untuk industri, bukan justru sibuk mengimpor beras. “Kita mengharapkan aparat kepolisian, juga aparat keamanan dan Bea-Cukai, menjaga pelabuhan-pelabuhan kita agar jangan ada penyelundupan-penyelundupan beras,” katanya.
Reporter: Ibad D, Syailendra HW, Luthfiana Awaludin (Karawang)
Redaktur: M. Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim