INTERMESO

Sejuta Harapan di Lahan Gambut

“Karena ini dikerjakan ramai-ramai, bisalah target yang dicanangkan Presiden sekitar 2,4 juta hektare itu tercapai.”

Foto-foto: Dok. BRG

Senin, 15 Januari 2018

Indonesia merupakan negara keempat yang memiliki lahan gambut atau peatland di dunia, setelah Kanada, Rusia, dan Amerika Serikat. Luas lahan gambut di Indonesia 15-20 juta hektare. Sedangkan luas lahan gambut di Kanada sekitar 170 juta hektare, Rusia 150 juta hektare, dan 40 juta hektare di Amerika.

Tanah gambut terbentuk karena proses geogenik, yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi. Ini berbeda dengan pembentukan tanah mineral, yang pada umumnya dengan proses pedogenik.

Tanah gambut di Indonesia terjadi pada 6.800-4.200 tahun yang lalu. Berdasarkan penelusuran umur gambut menggunakan teknik radioisotop (carbon dating), tanah gambut di Kalimantan Tengah lebih tua lagi, yaitu sekitar 6.230 tahun lalu pada kedalaman 100 cm sampai 8.260 tahun lalu pada kedalaman 5 meter.

Perusakan gambut akibat bencana kebakaran tahun 2015.
Foto: dok BRG

Lahan gambut di Indonesia terdapat di dataran rendah dan dataran tinggi. Pada umumnya, lahan rawa gambut di dataran rendah terdapat di kawasan rawa pasang-surut dan rawa pelembahan. Ciri-ciri gambut memiliki kubah gambut besar dan berhutan (woody peat). Lahan ini terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

Mengapa lahan gambut begitu penting? Sifat lahan gambut seperti spons, mampu menyerap air 13 kali lipat dari bobotnya. Setelah kelebihan air, lahan gambut akan mengalirkan air ke wilayah sekitarnya. Karena itu, lahan gambut akan menjadi sumber air tanah yang baik pada saat kemarau, juga mencegah terjadinya banjir.

Lahan gambut tropis Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna yang khas serta mempunyai nilai ekologi tinggi. Dari 258.650 spesies pohon tinggi yang tercatat di dunia, 13-15 persen terdapat di lahan gambut Indonesia, yaitu 35-40 ribu spesies pohon tinggi. Pohon langka, seperti meranti, durian lai, mangga kesturi, pampakin, dan buna palem, serta anggrek juga tumbuh di gambut.

Selain itu, terdapat 35 spesies mamalia, 150 spesies burung, dan 34 spesies ikan di lahan gambut. Beberapa fauna merupakan spesies endemik dan dilindungi International Union for Conservation of Nature (IUNC) dengan memasukkannya dalam Red List sejak 2012, seperti buaya senyulong, langur, orang utan, harimau Sumatera, beruang madu, dan macan dahan.

Hutan gambut rumah bagi habitat satwa dan tumbuhan langka
Foto: dok BRG

Ironisnya, beberapa tahun ini lahan gambut kerap mengalami kerusakan. Gangguan ekosistem di lahan itu dipicu oleh kegiatan penebangan kayu, alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan permukiman yang disertai pembangunan jaringan kanal drainase yang berlebihan.

Tak jarang pengembangan pertanian dan perkebunan dilakukan dengan cara membakar lahan. Inilah yang menimbulkan bencana kebakaran di lahan gambut. Selain menyebabkan kerusakan lingkungan, kebakaran menimbulkan polusi asap seperti yang terjadi pada kebakaran hutan dan lahan gambut hebat pada 2015.

Kebakaran itu menjadi tragedi bagi Indonesia. Kabut asap yang pekat menutupi beberapa provinsi, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Bahkan beberapa negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, ikut terpapar kabut asap pekat ini.

Guna menangani kerusakan dan kebakaran hutan dan lahan gambut, Presiden Joko Widodo pada Januari 2016 membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG), yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 1/2016. Badan ini beroperasi dengan menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara.

Gambut sebagai sumber ekonomi
Foto: dok BRG

Nazir Foead, mantan aktivis lingkungan hidup dan lama bekerja di World Wide Fund of Nature (WWF) Indonesia ditunjuk memimpin BRG. Tugasnya mengkoordinasikan dan memfasilitasi pemulihan kondisi hidrologis dan membenahi kerusakan lahan gambut di tujuh provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua, seluas 2,4 juta hektare pada 2016-2020 dengan anggaran Rp 10,9 triliun.

Jadi tidak hanya menangani bencana alam, tapi bagaimana bisa memanfaatkan (lahan gambut) untuk kesejahteraan masyarakat.”

Nazir mengatakan, dalam melakukan restorasi lahan gambut, BRG punya waktu relatif singkat. Namun ia optimistis dalam waktu cepat bisa merestorasi kerusakan gambut karena melibatkan lintas instansi, seperti Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Belum lagi keterlibatan pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang menggunakan dana APBD. Sejumlah LSM dalam dan luar negeri pun ikut berpartisipasi, juga dengan kemitraan sejumlah perusahaan swasta melalui dana hibah.

“Karena ini dikerjakan ramai-ramai, bisalah target yang dicanangkan Bapak Presiden (Jokowi) sekitar 2,4 juta hektare itu tercapai,” kata Nazir kepada detikX, Jumat, 15 Desember 2017.

Ada tiga prinsip restorasi gambut yang dicanangkan BRG. Pertama, pembasahan (rewetting), yaitu suatu tindakan atau upaya secara aktif untuk melakukan pembasahan kembali gambut yang kering. Ini dilakukan dengan membangun infrastruktur pembasahan gambut, seperti membuat sekat kanal, penimbunan kanal, dan pembuatan sumur bor.

Perusakan gambut dengan alih konvensi ke perkebunan atau pemukiman
Foto: dok BRG

Per 30 November lalu, sudah terealisasi 5.668 sumur bor, 1.574 sekat kanal, dan 44 penimbunan kanal. Semua dikerjakan di sejumlah lahan gambut di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan dengan luas pembasahan 103.476 hektare.

Manfaat rewetting dalam jangka pendek dan panjang adalah mengurangi risiko kebakaran lahan dan hutan gambut, mengurangi laju penurunan atau pengamblesan tanah gambut (land subsidence), mengurangi laju emisi gas rumah kaca (greenhouse gasses emission), memulihkan fungsi hidrologis lahan gambut, dan mempercepat proses restorasi.

Prinsip kedua, penanaman kembali (revegetasi). Tahap ini memiliki tantangan yang lebih berat, karena tujuan akhirnya bukanlah berapa jumlah tanaman yang ditanam, melainkan berapa tanaman yang bertahan hidup. Revegetasi itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu persemaian, penyiapan bibit, serta penanaman dan pemeliharaan.

Prinsip ketiga, peningkatan kesejahteraan masyarakat (revitalisasi). Tujuan restorasi gambut seperti yang dicanangkan BRG melalui skema revitalisasi penghidupan masyarakat di suatu Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) adalah mencari sumber perekonomian baru yang bisa memberi keuntungan masyarakat desa yang tinggal di sekitar kawasan gambut.

Pada 2018, ujar Nazir, selain tetap berfokus pada pembasahan lahan gambut, BRG akan membuat program untuk kesejahteraan bagi masyarakat. Sebab, banyak warga yang menggunakan lahan gambut untuk pertanian tapi kurang optimal. Juga ada lahan gambut yang sudah dibuka tapi terbakar sehingga belum bisa dimanfaatkan. Selain itu, BRG berusaha melindungi lahan gambut konservasi. “Jadi tidak hanya menangani bencana alam, tapi bagaimana bisa memanfaatkan (lahan gambut) untuk kesejahteraan masyarakat,” ucap Nazir.

Program pemberdayaan masyarakat itu bernama Desa Peduli Gambut. Rencananya program ini akan diikuti 1.205 desa atau kelurahan di 2,9 juta hektare area restorasi. Namun, sampai 2017 (per 30 November), baru terealisasi sekitar 75 desa atau kelurahan di 18 kabupaten.

Sepuluh desa masing-masing ada di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Jambi. Sebanyak 16 desa di Kalimantan Barat, 15 desa di Sumatera Selatan, 11 desa di Riau, dan 3 desa di Papua. Ke-75 desa ini menempati luas total lahan gambut 1.180.446 hektare. Di antaranya ada yang masuk lahan hutan tak dibebani izin sekitar 550.360 hektare.

Pembuatan sumur bor untuk pembasahan lahan gambut.
Foto: dok BRG

Sebanyak 75 desa atau kelurahan yang masuk program Desa Peduli Gambut ini pada 2017 ini menerima dana bantuan Rp 360 juta per desa per tahun atau total keseluruhan Rp 27 miliar per tahun, yang diambil dari APBN. Dana itu tak langsung diserahkan ke desa, tapi lebih dimanfaatkan untuk peningkatan kapasitas, pelatihan, penempatan fasilitator desa, pengunjungan, pembuatan demplot (plot penelitian masyarakat).

“Yang dilakukan di situ untuk pengembangan ekonominya, memfasilitasi pembentukan atau penguatan usaha milik desa. Ini kendaraan penting untuk perekonomian desa,” kata Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna Asnawati Safitri kepada detikX.

BRG menargetkan membentuk 500 badan usaha milik desa atau badan usaha milik antardesa, membentuk 101 kelompok pembudi daya ikan rawa gambut, membuat 10 proyek percontohan pembangunan pengolahan palet biomassa, menyiapkan ekowisata desa gambut, dan menciptakan 100 wirausaha sosial gambut. “Kalau sudah ada BUMD, tinggal kita kuatkan. Kalau belum, kita bentuk,” ujar Myrna.

Kedua, BRG mengembangkan alternatif sumber pendapatan masyarakat. Misalnya membentuk kelompok perajin perempuan di enam provinsi, juga mencarikan pasar produk-produk kerajinan. Juga membuat lebih dari 60 mini-plot buat penelitian masyarakat untuk menguji coba berbagai tumbuhan yang akan ditanam di lahan gambut. “Kan petani harus dikasih contoh dulu, ini bisa tumbuh atau nggak, segala macam,” ucap Myrna lagi.

Penanaman kembali di lahan gambut
Foto: dok BRG

Ada beberapa jenis pohon dan tanaman yang cocok dibudidayakan di lahan gambut. Untuk jenis pepohonan antara lain kayu jelutung, karet, gelam, dan meranti. Untuk buah-buahan di antaranya buah naga, bengkuang, dan semangka. Sedangkan untuk jenis sayur-sayuran seperti jagung, cabai, jahe, dan lidah buaya.

Masyarakat desa yang sudah berhasil bertani di lahan gambut salah satunya di Sungai Beras, Jambi, yang menanam kelapa dan pinang. Bahkan mereka sudah mengekspor kelapa ke luar negeri. Begitu juga dengan petani di Tanjung Jabung Barat, Jambi, yang sukses membudidayakan tanaman kopi di lahan gambut seluas 2.500 hektare.

Menurut Myrna, kendala program ini adalah soal akses pasar yang berkelanjutan dan adil. Apalagi selama ini penentuan harga masih banyak dikuasai pihak ketiga, “Itu yang masih dihadapi masyarakat,” tuturnya.

Selain untuk pertanian, lahan gambut digunakan untuk mengembangkan peternakan ikan air tawar dan kerbau rawa, seperti di Kalimantan. Tahap berikutnya memulai kerja sama ekonomi antardesa. Kerja sama antardesa ini juga merupakan bagian dari kerja sama untuk melindungi lahan gambut.


Reporter/Redaktur: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

[Widget:Baca Juga]
SHARE