INTERMESO

LAWAN KORUPSI

Mengapa Korupsi
Tak Mati-mati

“Tak perlu diragukan lagi : Saya memimpin langsung pemberantasan korupsi.”

Ilustrasi : Edi Wahyono

Minggu, 10 Desember 2017

Hari itu, Ahad 16 Agustus 1970, persis sehari sebelum peringatan ulang tahun Kemerdekaan Indonesia yang ke-25, Presiden Soeharto berpidato di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR). Itu lah pidato keempat Presiden Soeharto di depan Sidang DPR-GR sejak diangkat Sidang MPRS sebagai Presiden RI pada Maret 1968.

Dalam pidatonya, Presiden Soeharto terang-terangan mengkritik rezim lama, rezim Presiden Sukarno, yang dia gantikan. Dengan dalih untuk kepentingan revolusi, dengan semboyan-semboyan revolusioner, prinsip-prinsip ekonomi dan organisasi ditinggalkan. “Masalah-masalah ekonomi diabaikan, sehingga negara kita menjadi salah satu negara yang ekonominya paling buruk di seluruh dunia,” Presiden Soeharto berpidato. “Yang paling buruk — seperti penilaian MPRS pada tahun 1966 — ialah kemerosotan moral dan akhlak.”

Satu di antara banyak sekali masalah yang disinggung Presiden Soeharto adalah masalah klasik, korupsi. “Saya tidak memberi angin kepada koruptor. Korupsi memang masih ada dan harus diberantas. Siapa pun, tidak pandang bulu,” kata Presiden Soeharto, kala itu. Tak cuma merugikan keuangan negara, menurut Presiden, korupsi juga membahayakan pembangunan dan bertentangan dengan moral. Presiden Soeharto memberikan janji, “Tak perlu diragukan lagi : Saya memimpin langsung pemberantasan korupsi.”

Seperti yang Presiden Soeharto tekankan dalam pidatonya, Orde Baru merupakan koreksi total atas segala hal yang ‘bobrok’ pada masa rezim sebelumnya. Pada masa-masa awal pemerintahan Orde Baru, sesuai yang Presiden Soeharto janjikan, tampak bersemangat sekali memburu tikus-tikus yang menggangsir keuangan negara. Tapi tanda-tanda loyonya pemberantasan korupsi semasa Presiden Soeharto ini sebenarnya sudah tercium sejak awal.

Lewat Keputusan Presiden nomor 228 tahun 1967, Presiden Soeharto menunjuk Jaksa Agung Sugih Arto untuk memimpin Tim Pemberantasan Korupsi. Salah satu kasus besar yang sempat masuk di kantor Jaksa Agung Sugih adalah permainan bantuan valas dari pemerintah. Alih-alih dipakai untuk mengimpor barang-barang yang diprioritaskan pemerintah, sekelompok pengusaha yang dekat dengan lingkaran kekuasaan kala itu, memakai dolar murah dari pemerintah itu untuk mendatangkan barang-barang yang lebih menguntungkan.

Tersangka yang juga Ketua DPR Setya Novanto (tengah) menuju mobil tahanan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (5/12). KPK menyatakan berkas perkara tersangka kasus korupsi proyek KTP Elektronik itu sudah lengkap atau P21.
Foto : Agung Pambudhy/detikcom

Jaksa Agung Sugih, dikutip Harold Crouch dalam bukunya, The Army and Politics of Indonesia, menaksir duit yang sudah diputar oleh pengusaha-pengusaha nakal ini pada 1968 berkisar US$ 100 juta. Keuntungan yang mereka keruk, sudah pasti tak masuk kas pemerintah. Tapi kasus ini, berakhir cincay, tak pernah sampai ke pengadilan. Orang-orang yang terlibat, kata Jaksa Agung Sugih, sudah bersedia membayar denda dan mengimpor barang prioritas yang sudah ditentukan pemerintah.

Walhasil, meski punya wewenang mencegah dan menindak kejahatan korupsi, Tim Pemberantasan Korupsi tetap tak punya gigi. Banyak kasus kakap, terutama terkait pejabat tinggi dan militer, tak pernah tuntas diusut. Dari 144 perkara korupsi yang mereka tuntaskan, hanya ada segelintir ‘ikan kakap’ yang terjerat, di antaranya adalah korupsi dengan tersangka Letnan Jenderal Siswadji, mantan Wakil Kepala Polri.

Bukannya memperkuat Tim Pemberantasan Korupsi, Presiden Soeharto malah membentuk Komisi 4 pada 1970. Komisi 4 yang diketuai mantan Perdana Menteri Wilopo, dengan anggota I.J. Kasimo, Prof. Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto, tak punya wewenang menindak. Komisi ini hanya jadi semacam penasehat bagi Presiden dalam kebijakan pemberantasan korupsi.

Sebelum dibubarkan pada Juni 1970, Komisi 4 menyampaikan laporan kepada Presiden Soeharto. Di antara isi laporannya, adalah rekomendasi untuk menindaklanjuti kasus dugaan korupsi di Pertamina, Bulog, dan Perhutani. Kala itu, Pertamina dan Bulog sering disorot sebagai salah satu ‘tempat basah’. Tapi tak ada kabar kelanjutan kasus itu. Dan sejarah mencatat, hingga turun dari kekuasaan setelah 30 tahun berkuasa, Presiden Soeharto, sama halnya dengan rezim Orde Lama yang dia kritik, gagal total menyingkirkan tikus-tikus yang menggerogoti keuangan negara.

* * *

Kantor Depot Logistik (Dolog) Kalimantan Timur di Balikpapan mendadak riuh ketika kedatangan "tamu" dari Kejaksaan Tinggi Kaltim. Pejabat-pejabat penting kantor itu diminta berkumpul. Tak butuh waktu lama, belasan pejabat termasuk Kepala Dolog Kaltim, Budiadji digelandang masuk ke kendaraan untuk dibawa ke rumah tahanan.

Andi Narogong dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Andi Narogong diyakini jaksa terbukti terlibat kasus korupsi proyek e-KTP.
Foto: Agung Pambudhy/detikcom


Peristiwa pada Jumat, 26 November 1976 itu menjadi ironi bagi Budiadji. Ia dikenal memiliki reputasi baik di kantor yang mengurusi bidang logistik pangan tersebut. Dua tahun berturut-turut pada 1974 dan 1975, bekas Kadolog Sulawesi Tenggara itu membawa Dolog Kaltim menjadi yang terbaik karena paling tertib administrasi dan keuangan.

Sehari sebelum penangkapan Presiden Soeharto memanggil Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Bustanil Arifin sebagai bos Budiadji dan Jaksa Agung Ali Said di Bina Graha secara terpisah. Menurut laporan keduanya pada Suharto, Budiadji diduga kuat melakukan penyelewengan sebesar Rp 7,6 miliar dengan memalsu dokumen-dokumen Bank Indonesia. Jumlah yang sangat fantastis pada waktu itu.

Vonis yang dijatuhkan pada Budiadji pun terbilang fantantis. Budiadji diganjar hukuman penjara seumur hidup oleh hakim Sof Larosa pada Juni 1977. Namun akhirnya, ia mendapat grasi dari Soeharto. Hukumannya pun diubah menjadi 20 tahun penjara yang dijalaninya hanya 12 tahun karena tiap tahun ia memperoleh remisi dan remisi istimewa.

Tiga bulan setelah Budiadji divonis bersalah, pemerintah mencanangkan Operasi Tertib. Suharto menunjuk Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara Johannes Baptista Sumarlin sebagai koordinator pelaksana. Operasi ini juga melibatkan Laksamana Sudomo yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Staf Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kaskokamtib).

Sumarlin punya pamor cemerlang untuk urusan pemberantasan korupsi. Ia pernah menyamar untuk membongkar kasus pungutan liar yang berakibat penyunatan gaji karyawan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 1974. Berperan sebagai Ahmad Sidik pegawai administrasi RSCM, Sumarlin menangkap basah petugas Kantor Bendahara Negara yang meminta uang pelicin untuk memudahkan pencairan gaji.

Bondan Winarno dalam buku biografi J.B. Sumarlin : Cabe Rawit yang Lahir di Sawah menuliskan sepak terjang Sumarlin tak berhenti di situ. Setahun setelah menjadi "Sidik", ia menggerebek Kantor Pajak yang ketahuan melakukan pungli. Sumarlin pun disebut-sebut titisan Raja Harun Al Rasyid dalam "Kisah 1001 Malam" yang sering menyamar untuk memantau kondisi rakyatnya.

Terpidana Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum saat menjalani sidang putusan perkara tindak pidana korupsi dan pencucian uang proyek Hambalang di Tipikor, Jakarta, Rabu, 24 September 2014. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta menjatuhkan vonis 8 (delapan) tahun penjara dan denda 300 juta rupiah. CNN Indonesia/Safir Makki
Foto : Safir Makki/CNN Indonesia

Dulu Pak Nas gagal dalam melaksanakan penertiban, karena tidak berani dan tidak mendapat dukungan rakyat”

Sudomo, Kepala Staf Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban

Pengadilan menjadi salah satu institusi pertama yang menjadi target Opstib. Dalam waktu relatif singkat, 15 hakim dari tingkat pengadilan negeri hingga pengadilan tinggi dari beberapa provinsi terjaring untuk diinterogasi Opstib. Bondan mencatat, 8 bulan Opstib berjalan, 2.116 pejabat dari seluruh provinsi dinyatakan terlibat dalam 1.290 kasus. "Rata-rata setiap hari 15 pejabat terjaring operasi penertiban ini," tulis Bondan.

Kinerja Opstib mendapat kritik dari Abdul Haris Nasution. Seharusnya korupsi ditangani secara secara menyeluruh dengan suatu sistem dan konsepsi. "Jika mempunyai sistem, Sudomo tidak perlu turun lapangan sendiri, tapi cukup mengatur dari ruang operasi, dan lain-lainnya dapat dikerjakan aparatnya," ujar Nasution seperti yang dikutip harian Sinar Harapan pada 3 Agustus 1977. Nasution juga menyinggung pemberantasan korupsi yang seharusnya dimulai dari atas.

Pendapat bekas Kepala Staf Angkatan Darat itu membuat Sudomo tersinggung dan bereaksi keras. Ia memberi tanggapan di Bina Graha sesaat sebelum dimulainya Sidang Dewan Stabilisasi Ekonomi. Sudomo menyebut pendapat Nasution itu asbun (asal bunyi). Bahkan pendapat itu dituding memiiki tujuan politik tertentu.

Tak berhenti di situ, Sudomo menyindir kegagalan Jenderal Nasution memberantas korupsi dengan Operasi Budi. "Dulu Pak Nas gagal dalam melaksanakan penertiban, karena tidak berani dan tidak mendapat dukungan rakyat. Kalau kita gagal, janganlah kita tepuk dada, lebih baik kita diam diri," ujar Sudomo seperti yang dikutip dari buku Biografi Jendral Besar Dr.A.H. Nasution Perjalanan Hidup Dan Pengabdiannya.

Namun akhirnya, beberapa minggu kemudian Sudomo mengalah dan mendatangi kediaman Nasution di Jalan Teuku Umar. Sudomo menjelaskan rencana kerjanya dan menanyakan saran-saran dari Nasution. Nasution menegaskan tukang Opstib haruslah menjalani opstib lebih dulu. Caranya dengan mengumumkan kekayaan pribadinya.

Gubernur Banten (non aktif) Ratu Atut Chosiyah dikawal petugas usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (28/11). Atut diperiksa sebagai tersangka terkait dugaan korupsi dengan pemerasan proyek pengadaan alat-alat kesehatan (Alkes) di lingkungan Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Banten tahun anggaran 2012-2013.
Foto : Reno Esnir/Antara

Nasution merupakan inisiator terbentuknya sejumlah lembaga antikorupsi pada masa Orde Lama. Saat menjadi KSAD, ia mengeluarkan berbagai Peraturan Penguasa Militer diantaranya Peraturan Penguasa Militer atas Daerah Angkatan Darat di Seluruh Wilayah Indonesia No.Prt/PM/06/1957 tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Korupsi.

Untuk melaksanakan aturan tersebut dibentuk Badan Koordinasi Penilik Harta Benda yang salah satu wewenangnya dapat menyita dan merampas harta benda seseorang yang kekayaannya setelah diselidiki dianggap tak seimbang dengan penghasilan mata pencahariannya.

Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra Hamzah menuturkan lembaga ii hadir karena Nasution melihat adanya kecurangan yang dilakukan dalam proses nasionalisasi aset-aset asing. "Nasution melihat ada orang yang tak bermoral mengoper perusahan asing dengan mendapatkan keuntungan," ujar Chandra dalam diskusi "Membaca Sejarah, Merayakan Antikorupsi: Diskusi Buku Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia" di Jakarta, Jumat lalu.

Dua tahun kemudian, Nasution mengusulkan pada Presiden Sukarno untuk membentuk lembaga yang khusus mengawasi kinerja aparatur negara. Akhirnya terbentuklah Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan). Sri Sultan Hamengkubuwono IX diangkat menjadi pimpinannya dengan kedudukan setaraf menteri. Baru berusia 3 tahun, institusi ini dibubarkan Sukarno tanpa penjelasan.

Anehnya saat Bapekan masih bekerja, Sukarno justru membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) pada 1960. Paran dipimpin A.H. Nasution dibantu M. Yamin dan Ruslan Abdulgani. Tugasnya terbilang berat, karena harus mendata kekayaan pejabat. Hampir semua pejabat menolak mengisi formulir yang akhirnya memandulkan fungsi Paran.

Terpidana kasus Wisma Atlit Nazarudin kembali menjalani pemeriksaan di KPK, Jakarta, Rabu (08/10/2014). Nazar kembali diperiksa KPK terkait korupsi Wisma Atlit Hambalang, Sentul, Bogor, dengan tersangka Mahfud Suroso.
Foto : Grandyos Zafna

Paran akhirnya berubah nama menjadi Operasi Budi pada 1963. Jenderal Nasution yang saat itu menjabat Menkohankam/Kasab kembali diangkat menjadi ketua. "Saat itu sasarannya adalah para menteri, anggota DPR, politisi yang menurut banyak tiba-tiba terlihat lebih kaya," ujar Nasution dalam wawancara dengan penulis buku Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai. "Dalam proses itu banyak yang melarikan diri."

Kerja Operasi Budi tak berjalan mulus. Saat ingin memeriksa Dirut Pertamina Ibnu Sutowo, untuk menghindari pemeriksaan Ibnu meminta pada presiden untuk menugaskannya ke luar negeri. Direksi Pertamina yang ain pun menolak diperiksa dengan alasan tidak mendapat surat kuasa. Operasi Budhi dibubarkan setelah mengembalikan uang negera sebesar Rp 11 miliar dan diganti Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KOTRAR), dipimpin langsung Presiden Sukarno dibantu Menteri Luar Negeri Soebandrio dan Jenderal Ahmad Yani. Meski dipimpin Presiden, KOTRAR tak memberikan hasil apapun. KOTRAR tenggelam dalam kekalutan politik kala itu.


Penulis: Pasti Liberti M
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]
SHARE