INTERMESO

PESAWAT PUNYA INDONESIA

Jalan Panjang Pesawat Habibie

Proyek pesawat R80 sudah siap masuk fase kedua. Butuh dana sangat besar.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Minggu, 26 November 2017

Hingga Sabtu 25 November 2017 menjelang tengah malam kemarin, gerakan saweran yang digalang PT Regio Aviasi Industri (RAI) lewat Kitabisa.com untuk proyek pesawat R80 sudah berhasil mengumpulkan dana Rp 6,44 miliar. Jumlah yang besar untuk satu gerakan saweran di Indonesia.

Ada lebih dari 16.000 orang yang menyumbangkan uang untuk proyek R80 ini, mulai dari puluhan ribu sampai puluhan juta rupiah. Satu penyumbang yang mengaku dari satu sekolah di Bandung menulis, “Bukti cinta putra-putri Sekolah Binar Indonesia Bandung untuk Indonesia.” Anak-anak Sekolah Binar ini menyumbang Rp 2.478.200,- untuk proyek pesawat R80.

Uang yang digalang dari gerakan saweran ini memang lumayan besar. Tapi jika dibanding dengan total kebutuhan duit hingga pesawat baling-baling R80 yang dirancang para insinyur Indonesia ini mendapatkan sertifikasi dan siap dijual, uang hasil saweran itu masih sangat jauh dari cukup. Agung Nugroho, Presiden Direktur RAI, menuturkan, mereka masih terus menggalang modal untuk proyek R80.

Proyek pesawat R80 ini paling tidak butuh US$ 1,6 miliar, kurang lebih Rp 21,6 triliun. “Kalau sebagian dana sudah terkumpul, pertengahan tahun depan kami akan masuk fase kedua,” kata Agung kepada DetikX, beberapa hari lalu. Fase pertama proyek R80 yakni desain konseptual R80 dan studi kelayakan sudah tuntas semua. Artinya, semua faktor, dari struktur pesawat, sistem kendali, hingga aspek aerodinamika, sudah selesai digambar dan dihitung di atas kertas.

Pada tahap kedua, yakni rancang bangun detail, semua gambar dan hitung-hitungan di atas kertas itu diwujudkan dalam bentuk fisik hingga komponen terkecil. “Sampai tingkat mur dan bautnya,” kata Agung. Kontrak-kontrak pengadaan komponen ditandatangani dengan pemasok, kemudian komponen dipasang dan diuji berkali-kali. Untuk mesin, pilihannya ada dua yakni Rolls Royce dan Pratt & Whitney. “Kami buat mainframe, pemasok siapkan mesin, sistem avionik, sistem kontrol, dan sebagainya.”

Agung dan anak buahnya berencana membuat enam prototipe pesawat R80. “Empat untuk diuji terbang, dua purwarupa untuk diuji di darat,” kata Agung. Regio pasang target, fase kedua ini bisa tuntas dalam empat tahun. Jika semua sesuai rencana, maka prototipe itu akan kelar pada 2022 nanti. Untuk proses sertifikasi, dari Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPP) Kementerian Perhubungan dan Badan Keamanan Penerbangan Eropa (EASA), Agung menaksir, akan selesai dalam dua tahun. Sehingga pada 2025, pesawat R80 sudah siap dilepas ke pasar.

Konferensi media proyek penggalangan dana pesawat R80 di kediaman Presiden RI ke-3 B.J Habibie di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (28/9).
Foto : Ervina Anggraini/PCNN Indonesia

“Bahkan ada beberapa mantan insinyur N-250 yang siap membantu tanpa dibayar.”

Agung Nugroho, Presiden Direktur Regio Aviasi Industri

Sertifikasi dari EASA diperlukan, kata Agung, lantaran R80 tak mau hanya jadi ‘jago kandang’, tak cuma hendak dijual untuk pasar domestik, tapi juga ke negara-negara tetangga, bahkan kalau mungkin juga ke negara-negara Timur Tengah, Eropa, Afrika, dan Amerika. Jika R80 berniat menembus pasar Amerika, maka RAI harus mendapatkan satu sertifikasi lagi dari Badan Administrasi Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA).

Biasanya, menurut Agung, jika satu pesawat sudah mengantongi sertifikasi dari EASA, maka tak akan terlampau sulit untuk mendapatkan sertifikasi FAA. “Standarnya kurang lebih sama,” ujar Agung. Untuk proses produksi, manajemen RAI sudah berbicara soal kerjasama dengan ‘saudara tuanya’, PT Dirgantara Indonesia. Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga sudah menawarkan Bandara Kertajati, lapangan terbang yang sedang dibangun pemerintah di Majalengka, sebagai basis produksi pesawat R80.

Direktur Produksi PT Dirgantara, Arie Wibowo, mengatakan mereka sudah berkali-kali bicara soal proyek R80 dengan Regio Aviasi. “Kesepakatannya ya bisnis….Kalau mereka bertanya bisa nggak Dirgantara bikin ini, ya kami akan lihat kemampuan,” kata Arie. Proyek R80, menurut dia, bukan saingan bagi Dirgantara. “Justru akan mendatangkan pekerjaan kalau kami mampu.”

* * *

Agung punya jam terbang panjang di industri pesawat terbang. Setelah lulus pada 1983 dari Teknik Penerbangan Institut Teknologi Bandung (ITB), dia bergabung dengan Industri Pesawat Terbang Nurtanio yang dipimpin oleh B.J. Habibie. Saat dia bergabung, para insinyur Nurtanio tengah sibuk menggarap proyek kerjasama pengembangan pesawat CN-235 dengan perusahaan Spanyol, CASA.

Sejak 1979, ribuan insinyur Nurtanio dan CASA kerja keras merancang pesawat dengan kapasitas angkut sekitar 40 penumpang, bermesin baling-baling, irit biaya operasi, dan mampu melayani penerbangan hingga jarak sekitar 500 kilometer. Para insinyur CASA dapat tugas mendesain dan membangun rangka bagian depan dan sayap bagian dalam, sementara insinyur-insinyur di Bandung dapat bagian membuat rangka belakang dan sayap luar.

Miniatur Pesawat R80
Foto: Ervina Anggraini/CNN Indonesia


Sukses dengan proyek CN-235, Habibie mencanangkan proyek yang lebih ambisius pada 1989 yakni pesawat N-250 yang dirancang sepenuhnya oleh insinyur-insinyur Indonesia. Di proyek N-250, pesawat bermesin baling-baling dengan kapasitas 50-70 penumpang itu, Agung menjadi Chief Aerodynamicist. Sudah mengumpulkan hampir 1000 jam terbang dan tinggal selangkah untuk mengantongi sertifikasi dari FAA, proyek pesawat N-250 ‘dikubur’ pemerintah atas perintah Dana Moneter Internasional (IMF) saat Indonesia tersuruk dalam krisis ekonnomi pada 1998.

Padahal Agung dan teman-temannya sangat yakin, seandainya proyek N-250 terus berlanjut, Gatotkaca – nama yang diberikan oleh Presiden Soeharto kepada N-250 -- akan jadi lawan serius bagi pesawat-pesawat ATR dan Bombardier yang kini menguasai pasar pesawat bermesin baling-baling.

Paling tidak, di pasar domestik ATR bakal punya lawan berat. “Sekarang Indonesia adalah pasar terbesar ATR,” kata Agung. Sudah beberapa tahun grup Lion Air dan Garuda Indonesia mengoperasikan puluhan pesawat ATR, dan mulai tahun ini, Sriwijaya Air mengikuti dua jejak Lion dan Garuda.

Pada 2005, Menteri Negara Riset dan Teknologi Hatta Rajasa sempat membentuk tim untuk mengkaji kemungkinan menghidupkan proyek N-250. Anggotanya antara lain Agung Nugroho, Ilham Habibie, Said D. Jenie, dan Alex Supeli. Kesimpulannya, N-250 perlu dirancang ulang agar bisa bersaing dengan pesawat-pesawat sekelasnya. Namun kelanjutan upaya ini tak ada kabar lagi.

Kurang lebih lima tahun lalu, B.J. Habibie mendirikan Regio Aviasi Industri. Saat itu, pendiri Nurtanio dan mantan Presiden Indonesia ini sudah berusia 76 tahun. Tapi rupanya cita-cita Habibie agar negeri ini punya pesawat hasil rancangan sendiri tak pernah pupus. Bersama putranya, Ilham Habibie, dia mengumpulkan kembali para insinyur yang dulu jadi anak buahnya di Nurtanio seperti Agung Nugroho, Agung Banu Ismadi dan Tjahjo Kartiko. Hasilnya adalah rancangan R80.

Ilham Akbar Habibie, Komisaris PT Regio Aviasi Industri.
Foto : Dok. Kominfo

Meski sama-sama pesawat bermesin baling-baling, menurut Agung Nugroho, R80 ini bukanlah versi lebih besar dan hasil pengembangan semata dari N-250. “Ini pesawat yang benar-benar baru,” kata Agung. Tapi karena tim yang mendesain R80 sudah berpengalaman dengan proyek N-250, fase pertama bisa dituntaskan lebih cepat. “Kami sudah melewati 300.000 jam kerja. Kalau tim yang belum pengalaman mungkin butuh 500 ribu jam kerja.”

Dirancang hampir 25 tahun setelah N-250, R80 mesti menyesuaikan dengan teknologi pesawat yang sudah jauh berkembang. Apalagi pesawat ini dipersiapkan untuk terbang setelah tahun 2025. Dirancang berkapasitas 80-90 penumpang, menurut Agung, di atas kertas kapasitas angkut R80 mungkin bisa diperbesar hingga 100 penumpang. Tapi apakah R80 bisa dirancang untuk 100 penumpang harus diuji saat pesawat itu sudah terbang.

Beberapa bulan lalu, pemerintah memasukkan R80 dan pesawat N245 dari PT Dirgantara dalam proyek strategis nasional. Meski tak dapat suntikan dana dari pemerintah, Agung dan timnya menyambut positif kebijakan pemerintah itu. Menurut Agung, pemerintah telah banyak memberikan kemudahan kepada Regio, misalnya dalam pemakaian fasilitas laboratorium.

Agung dan anak buahnya mesti bergerak cepat mengumpulkan modal sebab di luar sana ada lawan-lawan kelas berat. Di belakang ATR, ada dua raksasa yakni Airbus dan perusahaan Italia, Leonardo. Beberapa waktu lalu, EASA sudah menyetujui pesawat ATR 72-600 dengan kapasitas 78 penumpang. Beredar kabar pula, Embraer dari Brasil juga berminat masuk ke pasar pesawat baling-baling.

“Sama sekali tidak mudah,” kata Agung soal bagaimana upaya mereka mengumpulkan modal US$ 1,6 miliar. Manajemen Regio sudah berkeliling ke pelbagai negara dari Singapura, Malaysia, negara-negara Timur Tengah hingga Eropa. Satu hal yang membesarkan hati mereka, banyak pihak menyatakan tertarik dengan konsep R80. Ada beberapa pemasok komponen misalnya, bersedia dibayar setelah pesawat diproduksi. Beberapa maskapai, seperti Kalstar dan NAM Air, juga sudah menyatakan siap membeli R80 jika sudah berproduksi.

Melihat kebutuhan dana proyek R80, pengamat penerbangan Gerry Soedjatman agak sangsi dengan masa depan proyek itu. “Sekarang dananya belum ada…..Saya lihat ada reality gap,” kata Gerry. Meski tak gampang mencari investor, Agung dan teman-temannya jalan terus. “Bahkan ada beberapa mantan insinyur N-250 yang siap membantu tanpa dibayar,” kata Agung.


Reporter/Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]
SHARE