INTERMESO

Lari di Jakarta Lebih Kejam Dari Amerika

“Nggak tahu kenapa, aku ngerasa kayak mau mati. Menggigil, gelap dan lemas banget badannya”

Tokyo Marathon 2007
Foto: GettyImages

Sabtu, 04 November 2017

Ada banyak alasan untuk mulai berlari. Ada yang berlari untuk merontokkan kelebihan berat badan, ada yang berlari karena ikut teman, ada yang berlari biar badan bugar sepanjang hari, ada pula Abdi Utama.

Bey, Abdi biasa disapa teman-temannya, mulai berlari bukan lantaran ingin tinggi kurus seperti tiang bendera. “Sebenarnya waktu itu gua ikutan lari karena ada cewek yang ditaksir. Cuma mau ngeceng, karena kebetulan dia juga hobi lari,” Bey, 38 tahun, menuturkan alasannya mulai berlari. Lantaran tak sungguh-sungguh punya niat, berlari, terutama di pagi hari, jadi beban amat berat bagi dia. “Awalnya berat banget karena motivasinya salah.”

Padahal, Bey sebenarnya bukan orang yang sama sekali tak berolahraga. Sejak SMA, ia rajin mengikuti kejuaraan taekwondo. Pemegang sabuk biru ini juga memiliki badan kekar berkat rajin nge-gym. Berlari di treadmill hingga berputar di Stadion Gelora Bung Karno, semua sudah dia jajal. Namun Bey cepat merasa jenuh. Dia perlu penyuntik motivasi.

Lantaran niatnya hanya untuk menempel gebetan, saat ikut lomba lari kategori 5 kilometer, Bey sudah ngos-ngosan. “Padahal ujung-ujungnya, saya nggak jadian juga sama dia karena ditolak,” Bey mengisahkan pengalamannya. Meski niatnya berlari hanya untuk mencari pacar, dia merasakan efek positif rutin berolahraga.

Pekerjaannya sebagai konsultan manajemen di sebuah perusahaan firma jasa multinasional memiliki jam kerja yang tidak menentu. Sejak hobi lari, tubuhnya menjadi lebih fit dan tidak gampang sakit meski kerap kerja lembur. Bey juga tak menyangka jika lari juga dapat membantunya menyalurkan hobi jalan-jalan. “Sekarang kalau mau menentukan tujuan jalan-jalan, gua ikutin saja ajang lomba larinya diadakan di negara mana. Nanti habis lari baru jalan-jalan,” kata Bey.

Abdi Utama (Bey), Berlin Marathon 2016
Foto : Dok. pribadi

Makanya lari itu fisik bisa dibilang cuma 40 persen, sisanya faktor mental”

Vonny Anggraini

Dasar memang orang yang suka menantang diri sendiri, dari semula hanya ‘pelari abal-abal’, Bey makin serius berlari. Dari hanya kelas 5K, ‘naik kelas’ ke 10K, hingga akhirnya ikut maraton. “Saya nggak yakin kalau langsung ke full marathon. Saya kan pelari abal-abal,” kata Bey. Virgin marathon, maraton perdana bagi Bey adalah Berlin Marathon di Jerman pada 25 September 2016.

Dia mengongkosi sendiri semuanya, dari visa, tiket pesawat, hotel, sampai biaya pendaftaran. Menurut Bey, ada sejumlah alasan mengapa orang Indonesia lebih suka menyelesaikan maraton pertama di luar negeri. Salah satunya karena suhu udara di lokasi World Major Marathon – Berlin, Tokyo, London, Chicago, New York, dan Boston -- lebih dingin daripada Jakarta. Bey sempat terserang kram kaki saat beberapa kali mengikuti lomba lari di Jakarta.

Lantaran sibuk dengan urusan kantor, Bey tak bisa mempersiapkan diri dengan baik untuk Berlin Marathon 2016. Karena waktu latihan yang kurang memadai, Bey mengalami cedera sebelum berangkat menuju Berlin. “Gua sok-sokan nggak pakai peregangan, jadinya malah cedera. Ditambah lagi, gua pakai sepatu baru buat lari 25 kilometer. Akhirnya otot tendon kaki kiri robek,” kata Bey. Dokter berpesan dia tak boleh berlari. Padahal dia sudah mengurus semua kebutuhan untuk terbang ke Jerman.

Tapi dia tetap pergi dan berlari di Berlin Marathon 2016. Dan ajaib, Bey sanggup menuntaskan lari dengan catatan waktu 5 jam 50 menit. Dia sendiri tak membayangkan bakal bisa berlari sejauh 42 kilometer. “Gua sampai nangis. Ada yang bilang, ‘Ah elo cengeng banget sih pake nangis segala.’ Tapi gila ya, gua nggak boleh lari oleh dokter tapi bisa finis. Rasanya bangga banget,” ujar Bey. Dengan melewati garis akhir, dia merasa berhasil mengalahkan sesuatu. “Dengan lari, aku bisa mengalahkan diri sendiri.”

Meski berhasil menyelesaikan Berlin Marathon, Bey kapok berlatih seorang diri. Untuk menghindari cedera, Bey menyewa jasa pelatih menjelang persiapan Chicago Marathon 2017 pada awal Oktober lalu. Bey juga bergabung dengan komunitas Fakerunner. Bersama beberaa teman-temannya di grup mereka menyewa jasa pelatih untuk latihan bersama. Biayanya Rp 500 ribu per orang per bulan. Menurut Bey ongkosnya ini lebih murah ketimbang menyewa pelatih pribadi.

Vonny Anggraini, Lombok Marathon 2016
Foto : Dok. pribadi

Sesi latihan bersama pelatih ini dilakukan dua kali dalam seminggu. Pelatih memberikan arahan latihan beraneka ragam jenis lari. Salah satu tujuannya untuk memperbesar kapasitas paru-paru menyimpan oksigen sehingga saat berlari dapat mengatur ritme napas dengan baik. Latihan ini tak sia-sia.

Bey dapat memangkas waktu berlarinya di Chicago Marathon 2017 menjadi 5 jam 18 menit. Di seanjang jalan menuju garis finish di Grant Park, banyak warga lokal yang menyemangati para pelari dengan membawa papan dengan tulisan lucu. Tulisan yang membuat Bey tertawa meski tengah kelelahan. Satu papan, Bey masih ingat, bertuliskan, “Please run like your ex is chasing after you.” Ada juga yang bawa tulisan, “Please run like millenial run from commitment.” “Itu gua banget…..Habis ketawa ya lanjut lari lagi,” Bey mengenang pengalamannya di Chicago Marathon.

Bey bukan satu-satunya orang yang terbang jauh-jauh dari Jakarta ke Chicago untuk ikut maraton. Ada pula Doddy Hardianto dan Maulana Indraguna Sutowo, suami artis Dian Sastrowardoyo. Seusai lari maraton, umumnya para peserta dari seluruh penjuru dunia ini masih mengenakan medali kebanggaannya. Kebiasaan ini yang menurut Bey belum ditemukan di lomba lari di Jakarta. “Bahkan setelah dua hari, masih banyak yang pakai medali. Warga sana sangat menghargai para pelari. Mereka nggak sungkan mengucapkan selamat. Bahkan beberapa toko kasih diskon khusus untuk kami yang pakai medali,” kata Bey.

Berlari di Jakarta Marathon, menurut Doddy Hardianto, memang lebih berat dari pada sejumlah lomba maraton yang pernah ia ikuti di luar negeri. Di bandingkan Tokyo dan Chicago Marathon, berlari di Jakarta bak berlari di atas kompor. Doddy mengalami sendiri betapa beratnya Jakarta Marathon 2016. Selain suhu udara dan cuaca yang tak ramah, jalan lintasan lari juga tak benar-benar steril. Doddy bahkan pernah mendengar keluhan warga Jakarta yang menganggap pelari sebagai penganggu dan penyebab kemacetan.

Saat mengikuti Jakarta Marathon 2016, Doddy dan para pelari sempat diguyur hujan deras di kawan Kota Tua. “Badan basah kuyup sampai sepatu…..Masuk ke kawasan Kuningan menuju ke Senayan, saya mulai kram dan matahari tiba-tiba panas banget. Jadi habis basah kuyup, kami kayak dikeringin,” Doddy menuturkan perubahan ekstrim cuaca saat itu. “Nggak tahu kenapa, aku ngerasa kayak mau mati. Menggigil, gelap dan lemas banget badannya.”

Rock 'n' Roll Marathon Chengdu 2017 di Chengdu, Tiongkok.
Foto : GettyImages

Doddy yang berlari di Jakarta Marathon demi memenuhi keinginan sang istri yang tengah hamil memaksakan diri hingga garis akhir. Dia berhasil melewati garis finis dengan catatan waktu 4 jam 5 menit. “Jakarta Marathon jadi pengalaman paling berat saya selama ikut maraton,” ujar Doddy.

Berbeda dengan Bey dan Doddy, Vonny Anggraini justru belum pernah lari di luar negeri. Ia lebih banyak menghabiskan waktu berlari di beberapa kota Indonesia seperti Lombok, Toraja, Samosir dan beberapa daerah lainnya. Tak hanya marathon, Vonny bahkan juga berlari dalam kategori ultra maraton, lomba lari di atas 50 kilometer.

Lari di dalam negeri, justru bisa menikmati hal lain sepanjang jalan. Selain lanskap indah ada pula sajian budaya seperti tarian tradisional. Tak jarang pelari rela menurunkan kecepatannya hanya untuk berswafoto. “Makanya jangan di Jakarta terus. Kalau bisa di luar kota biar pemandangannya beda-beda. Waktu ke Samosir, ada tanjakan sejauh 15 kilometer, di samping ada Danau Toba bagus banget….Ya Tuhan sampai mau nangis,” kata Vonny, 41 tahun.

Vonny telah beberapa kali mengikuti lomba ultra maraton dalam rangka mengumpulkan donasi. Seperti ajang NusantaRun Chapter 4 yang digelar tahun lalu. Salah satu lomba lari untuk amal terpanjang di Indonesia ini Vonny ikuti dengan menempuh jarak 145 km, dimulai dari Balaikota Cirebon pada hari Jumat hingga menyentuh garis akhir di Alun-Alun Purwokerto di hari Minggu. Vonny berhasil menggalang donasi sebesar Rp 32 juta dari target Rp 30 juta dan disumbangkan ke Yayasan Permata Hati untuk membangun sekolah inklusif di Purwokerto.

“Bagi gua lari ratusan kilo harus ada tujuan yang jelas. Karena kalau nggak nanti jadi sia-sia. Yang ada cuma capek doang. Kalau bukan buat anak-anak sekolah itu, ngapain lari malam hari, kurang tidur sampai berhari-hari,” ujar Vonny. Dia berencana akan mengikuti NusantaRun Chapter 5 dari Purwokerto menuju Dieng sejauh 127 km akhir tahun ini.

Melbourne Marathon di Australia, 2017
Foto : GettyImages

Pertama kali menempuh ultra marathon menjadi pengalaman tak terlupakan bagi Vonny. Selama perjalanan banyak tantangan yang harus ia hadapi. Mulai dari jalan rusak hingga seramnya berlari di malam hari tanpa penerangan. Vonny harus membekali diri dengan lampu penerangan. Ia juga membawa hingga tiga pasang sepatu lari sebagai cadangan. Belum lama aba-aba di garis start berbunyi, sudah banyak peserta yang tumbang. Vonny tambah grogi setelah mendengar bahwa temannya sendiri yang berjatuhan.

“Nggak banyak yang sampai garis finis. Panasnya saja 41 derajat. Ada beberapa yang pingsan. Baru 30 kilometer sudah ada 18 orang yang gagal. Padahal mereka saya kenal bukan pelari biasa tapi pelari profesional,” kata Vonny. Saking beratnya lomba, peserta ultra marathon paling tidak sudah pernah ikut beberapa kali marathon. Dari 200 peserta NusantaRun 4, Vonny merupakan satu dari tujuh peserta yang berhasil menyelesaikan lomba kategori full ultra marathon.

Dibandingkan persiapan fisik, kekuatan mental bagi Vonny tak kalah penting. Vonny pernah menemui seorang pria yang menyerah ketika telah menempuh kilometer ke-80 dengan alasan mengantuk. “Buat aku sih jadinya sori, cemen….Karena nggak sakit, nggak cedera. Pas sudah selesai, dia bilang menyesal. Makanya lari itu fisik bisa dibilang cuma 40 persen, sisanya faktor mental,” kata dia.


Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]
SHARE