INTERMESO
Mereka rela merogoh kantong hingga puluhan juta rupiah demi ikut lari maraton di luar negeri. Apa yang mereka cari?
Pranata Adiwijaya
Foto : Dok. Pribadi
Sudah 30 kilometer Pranata Adiwijaya berlari menyusuri jalan di Gianyar, Bali. Hari itu, 30 Agustus 2015, matahari bersinar sangat terik. Tubuhnya mulai menjerit kelelahan. Pandangan mata Pranata sudah berkunang-kunang, seolah-olah ada bayangan dinding hitam di depannya.
Gel energi yang dia santap sebelumnya menguap entah kemana, tak banyak menolongnya. Jalan yang tak rata jadi ujian berat bagi kaki Pranata yang baru kali pertama ikut lomba maraton. Tapi dia sudah bertekad melepas virgin marathon, sebutan untuk lari maraton perdana bagi pelari. Apapun yang terjadi, dia akan menyelesaikan jarak 42,195 km di depannya.
Ada selintas keinginan Pranata untuk menyerah tapi garis finish sudah seperti di depan mata. Dia sampai seperti berhalusinasi. “Saya sampai meracau, ‘Ngapain saya jauh-jauh ke sini cuma buat berlari….Ngapain udah bayar kok malah disuruh berlari,” Pranata, kini 36 tahun, menuturkan pengalamannya kepada DetikX, pekan lalu. Menurut dia, apapun bisa terjadi saat ikut lomba maraton, termasuk berhalusinasi. “Kalau tanda-tanda itu sudah muncul pasti saya berdoa, berdzikir. Jadi olahraga lari ini semakin mendekatkan kita kepada Tuhan. Kekuatan dari Tuhan itu kan tidak terduga.”
Entah bagaimana caranya, dia sendiri tak ingat persis menit-menit menjelang garis finis, Pranata berhasil menuntaskan Bali Marathon 2015 dengan catatan waktu 5 jam 1 menit 17 detik. Keberhasilan Pranata pada ajang lomba Bali Maraton membuatnya makin ketagihan berlari jarak jauh, hobi yang sempat dipandang aneh orang tuanya. Orang tuanya tak paham buat apa Pranata menyiksa diri dengan lari berjam-jam.
Barangkali memang hanya mereka yang pernah melewati garis finis lomba maraton paham dengan perasaan Pranata. Meski telah lima kali mengikuti ajang full marathon, Pranata selalu diliputi perasaan haru biru kala usai menuntaskan jarak 42 km itu. Selain dua kali ikut Bali Marathon dan Jakarta Marathon, dia juga pernah menuntaskan Fujisan Marathon 2015 di Jepang dan Standart Chartered Kuala Lumpur Marathon 2017 di Malaysia.
Pranata Adiwijaya, Fujisan Marathon 2015 (2)
Foto : Dok. Pribadi
“Jangan jadikan kurus sebagai alasan berlari. Badan jadi kurus itu bonus, bukan tujuan utama”
Doddy HardiantoBekerja sebagai staf di Divisi Teknologi Informasi di perusahaan asuransi di Jakarta, tak pernah terbesit di pikiran Pranata untuk menjadi seorang pelari maraton. Apalagi untuk mengalahkan pelari Dennis Kimetto dari Kenya yang sampai hari ini masih jadi pemegang rekor dunia lari maraton dengan catatan waktu 2 jam 2 menit 57 detik di Berlin Marathon 2014.
Sebenarnya Pranata memang masih belum seberapa lama tergila-gila marathon. Sebelum hobi berlari, dia sudah hobi nge-gym. Hingga suatu hari ia bertemu teman perempuan di kantornya yang rajin memajang fotonya saat berlari dan ikut lomba marathon di sosial media.
“Di kantor saya ada cewek sudah sering banget ikut lari marathon. Dia sering upload foto lari marathon banyak banget. Saya mikir, dia cewek aja bisa, masa saya nggak?” Pranata menuturkan. Sejak 2014, Pranata ‘banting setir’. Dia mulai rajin berlari. “Saya berlari mulai dari jarak 2 kilometer, 3 kilometer, sampai sekarang bisa 42 km.”
Meski sudah terbiasa berolahraga, Pranata tetap sulit membiasakan diri berlari jarak jauh. Saat hendak ikut Bali Marathon 2015 misalnya, dia butuh sembilan bulan untuk mempersiapkan diri. Dalam seminggu Pranata bisa mengisi waktu empat hari untuk tiga kali latihan lari jarak pendek dan satu kali lari jarak jauh. Butuh tekad yang sangat besar untuk menjaga kedisiplinan.
Agar dapat menjaga konsistensi latihan berlari, Pranata mencari teman yang punya hobi serupa. Namanya Doddy Hardianto, umurnya 35 tahun. Berbeda dengan Pranata yang tak punya persoalan dengan berat badan, Doddy rajin berlari lantaran ingin membuang kelebihan berat badan.
Pria asal surabaya ini sebenarnya rajin bermain tenis sejak duduk di bangku SMA. Namun karena tak dapat mengontrol porsi makan, tubuhnya tetap melar. Supaya pinggang tak makin lebar, Doddy iseng menambahkan porsi olahraga dengan berlari di kompleks rumahnya dengans sepatu tennis.
Doddy Hardianto, Bali Marathon 2016
Foto : Dok. Pribadi
“Jangan jadikan kurus sebagai alasan berlari. Badan jadi kurus itu bonus, bukan tujuan utama. Tujuan utama kita berlari ya ingin sehat,” ujar karyawan swasta di perusahaan ekuitas ini. “Awalnya aku nggak berani lari lebih dari 5 kilometer. Karena tujuan saya lari kan cuma mau ngurusin badan.”
Iseng-iseng dia ikut lomba lari 10 kilometer. “Ternyata catatan waktuku 55 menit, lumayan bagus,” ujar Doddy. Dia mulai berani mengikuti lomba lari maraton sejak bertemu dengan Lovy Gelina Wency, kini 44 tahun. Dibanding Pranata dan Doddy, Lovy memang sudah tergolong senior di lintasan lari. Dia sudah ikut lomba maraton sejak tahun 2012.
Ketika mereka bertemu, Lovy membagikan serunya pengalamannya mengikuti Tokyo Marathon di Jepang. Animo warga lokal yang begitu antusias menyambut para pelari dari seluruh penjuru dunia ditambah lagi bagaimana sigapnya panitia penyelenggara lomba menangani sterilisasi area lari membuat Lovy amat terkesan.
Banyak pelari dari Indonesia seperti Lovy yang ingin mengikuti lomba maraton di luar negeri, terutama Abbot World Marathon Majors yang sering diibaratkan sebagai ‘naik hajinya’ para pelari. Terdapat enam kota yang terpilih menjadi penyelenggara lomba maraton utama ini yakni Berlin, Tokyo, London, Chicago, New York, dan Boston. Dapat menuntaskan lari di enam kota ini menjadi sebuah prestasi tersendiri bagi para pelari.
“Sambutannya luar biasa. Warga sekitar sediain makanan dan minuman. Mereka sengaja turun dari apartemen dan bela-belain bangun pagi buat siapin sup miso, dan buah-buahan untuk dikasih kepada pelari yang lewat. Dan yang saya salut, jalannya benar-benar steril. Makanya saya ajak Doddy untuk ikut. Saya bilang,’Kamu nggak bakal nyesel deh,” kata Lovy ‘merayu’ Doddy.
Lovy Gelina Wency, Standchart Kuala Lumpur Marathon 2017
Foto : Dok. Pribadi
Rayuan Lovy berhasil menggugah semangat Doddy. Dia bertekad melepas virgin marathon di Tokyo Marathon. Dia mendaftar di menit terakhir Tokyo Marathon 2016. Peserta Tokyo Marathon dipilih melalui undian. Bagi yang tidak terpilih, mereka bisa tetap ikut serta melalui jalur ‘amal’ yang biayanya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Sementara untuk jalur undian, biaya pendaftaran ‘hanya’ berkisar Rp 3 hingga 5 juta rupiah.
Tak disangka Doddy terpilih menjadi salah satu peserta Tokyo Marathon 2016. Tak mau gagal di maraton perdana, Doddy habis-habisan mempersiapkan diri. Setiap kali latihan, dia bisa berlari menempuh jarak lebih dari 10 kilometer. Pola latihan berlebihan seperti itu justru keliru. Selama 9 bulan persiapan, sudah dua kali ia mengalami cedera Iliotibial Band Syndrome atau ITBS. Setiap kali digerakkan, lututnya terasa sakit sekali.
Cedera itu memaksa Doddy harus rehat selama beberapa bulan. “Kesalahan saya, latihannya sok- sokan,” kata Doddy. Cedera yang kedua terjadi hanya sebulan sebelum lomba. Walhasil, dia mesti berangkat ke Tokyo dalam kondisi kaki masih belum pulih betul. Tapi dia tetap ikut Tokyo Marathon. Jika tak datang, dia khawatir namanya bakal masuk ‘daftar hitam’ lantaran dianggap kurang serius. “Pokoknya selesaiin aja sampai finis.”
Menurut Doddy banyak penyemangat yang membuat dia bisa menyelesaikan lari meski cedera. “Ternyata benar kata mbak Lovy. Di sana pelari disambut wah sekali. Bahkan kalau kita pakai baju berbendera Indonesia, mereka bakal teriak 'Indonesia go… go… go'. Rasanya bangga banget seolah kita membawa nama negara,” kata Doddy. Padahal tak sepeser pun mereka memakai duit negara. Untuk tiket pesawat, visa, hotel, sampai biaya pendaftaran, semua dibayar dengan duit dari kantong sendiri.
Pengalaman berkesan di Tokyo membawa Lovy dan Doddy bersama-sama terbang ke Amerika Serikat untuk mengikuti Chicago Marathon 2017 pada 8 Oktober lalu. Sebelum berangkat, mereka sempat cemas juga mendengar berita beberapa kasus penembakan di Amerika. Namun untungnya perjalanan Doddy dan Lovy menuju Chicago Marathon mulus tanpa masalah.
Doddy Hardianto, Tokyo Marathon 2016
Foto : Dok. pribadi
Ingin sampai garis finis tanpa masalah, Doddy dan Lovy benar-benar mempersiapkan segala hal dengan cermat. Mereka mengenakan pakaian senyaman mungkin. Mereka memakai sepatu yang telah dipakai saat latihan untuk menghindari lecet di kaki.
“Jangan samakan kami dengan atlet. Atlet dari umur belasan tahun sudah berlari. Kami baru mulai lari pada umur 30-an. Makanya persiapan harus betul-betul maksimal,” kata Lovy. Catatan waktu terbaik Lovy dia capai di Tokyo Marathon 2015 yakni 05 jam 09 menit.
Meski segala hal sudah dipersiapkan, faktor cuaca kadang susah diramal. Suhu udara berubah drastis. Pada pagi hari, temperatur udara dingin hampir membeku hingga 6 derajat celcius. Beberapa jam kemudian, suhu udara berubah menjadi 26 derajat celcius. Matahari terasa amat dekat dan panas.
Untuk pertama kali selama ikut maraton, Doddy dan Lovy menyaksikan orang buta mengikuti lomba. Dia dituntun oleh anaknya menuju garis finish. “Menurutku itu sangat luar biasa. Makanya aku malu sama mereka ini yang masih semangat berlari meski dengan kondisi seperti itu. Kalau mereka bisa saya juga harus bisa…..Kami ke sana bukan sekedar lari saja, tapi juga untuk kepuasaan diri dan kebanggaan diri. Paling nggak punya cerita yang bisa dibawa pulang. Lagi pula kami nggak akan pergi ke Amerika kalau bukan karena lari hahaha,” kata Doddy. Dia menyelesaikan Chicago Marathon 2017 dengan catatan waktu 3 jam 58 menit.
Untuk tahun depan, Pranata, Doddy, dan Lovy sudah punya rencana. Mereka akan ikut berlari di ajang Berlin Marathon 2018 di Jerman.
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim