INTERMESO

MEMORI FILM PENGKHIANATAN G30S/PKI

Sehari Jadi ‘Anak’ Jenderal Ahmad Yani

Idon dan Itus memerankan Emmy Yani dan Yuni Yani, putri Jenderal Ahmad Yani. Tidur betulan saat adegan Ahmad Yani diberondong pasukan Tjakrabirawa.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Jumat, 29 September 2017

Doni Arita dan adiknya, Itus Casyavera, tak menyangka bisa menjadi bintang figuran dalam film Pengkhianatan G30S/PKI. Mereka bangga diminta memerankan dua anak Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, walau honor yang diberikan Rp 2.000-3.000 pada 1982 itu.

Memang adegan yang diperankan Doni Arita dan Itus Casyavera tidak lama dalam film dengan durasi lebih dari empat jam tersebut. Doni, yang biasa disapa Idon, saat itu memerankan Emmy Yani, sementara Itus memerankan Yuni Yani. Keduanya adalah putri pertama dan kedua pasangan Jenderal Yani dan Yayu Rulia Sutowiryo.

Idon kini sudah berumur 52 tahun, sementara Itus berusia 46 tahun. Saat memerankan Emmy Yani, Idon masih berumur 16 tahun dan baru lulus SMA. Sedangkan Itus baru berumur 10 tahun ketika memerankan Yuni Yani. Keduanya memang aktif dalam seni peran di Sanggar Teater Prakarya pimpinan Torro Margens, yang sering manggung di Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat.

Selain teater, keduanya aktif mengikuti sesi pemotretan untuk event peragaan busana remaja. Dari foto-foto itulah keduanya dilirik Mustafa dari Perum Produksi Film Nasional (PPFN). Keduanya lalu ditawari memerankan sosok Emmy Yani dan Yuni Yani dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, yang tengah diproduksi PPFN.

Hah! Main film? Kita bisa apa, ya? Gitu, he-he-he…. Namanya juga kita masih SMP, kakak baru lulus SMA. Bisanya juga kan paling drama-drama saja kan, cerita anak-anak gitu,” Itus mengenang, yang didampingi Idon, saat berbincang dengan detikX di rumahnya, Cempaka Putih Tengah, Jakarta Pusat, Rabu, 27 September 2017.

Adegan Emmy dan Yuni terbagun ketika mendengar bunyi tembakan pasukan Tjakrabirawa menembus tubuh ayahnya, Ahmad Yani.
Foto: screenshot/YouTube

Itus masih ingat saat itu pertengahan 1982. Sepulang sekolah, di rumahnya sudah ada beberapa orang perwakilan dari PPFN. Mereka tengah meminta izin kepada kedua orang tuanya, Amir Rajo Itan dan Latini. Setelah mendapatkan restu, Idon dan Itus lalu dibawa ke kantor PPFN. Tak disangka, ternyata mereka dipertemukan dengan sutradara kenamaan Arifin C Noer. “Kita tambah gemeter, dong. Kita tahu bener itu sutradara terkenal, Om Arifin,” ucap Itus.

Pengkhianatan G30S/PKI merupakan pengalaman pertama bagi Itus bermain film layar lebar. Sedangkan Idon sudah beberapa kali ikut syuting film sebagai pemain figuran. Keduanya juga biasanya main drama di atas panggung di dalam gedung. Film Pengkhianatan G30S/PKI membuat keduanya bermain outdoor.

Setelah mendapat restu dari kedua orang tuanya, Idon dan Itus pagi keesokan harinya langsung dijemput menuju rumah kediaman Jenderal Ahmad Yani, yang kini telah menjadi Museum Ahmad Yani, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat. Saat tiba, keduanya langsung disodori naskah cerita.

Di lokasi juga sudah ada Ibu Yani dan beberapa putra-putrinya. Keluarga Ahmad Yani menyaksikan proses syuting dan mengoreksi sejumlah adegan yang dirasa kurang pas atau tak sesuai dengan kejadian pada 1965. Adegan Idon dan Itus lebih banyak di ruang kamar dan ruang tamu. “Saat itu ada Ibu Yani, Ibu Emmy, Ibu Yuni juga ada. ‘Oh… kamu mirip aku kecil, ya?’ Gitu katanya. Kita yang masih SMP cuma senyum-senyum saja,” cerita Itus.

Karena proses rekrutmen pemain yang singkat, Idon dan Itus mengaku awalnya tak terlalu menjiwai peran yang diberikan. Namun Arifin C Noer cukup piawai mengarahkan keduanya, yang akhirnya bisa menjiwai peran yang dibawakan dalam tempo singkat.

Jenderal Ahmad Yani ketika dijemput oleh pasukan Tjakrabirawa dalam film Pengkhianatan G30S/PKI
Foto: screenshot/YouTube

“Kita harus menjiwai. Nggak ngerti apa-apa, pokoknya bisa tahu aja. Itu karena didikan Om Arifin. Dengan cara dia, kita sampai bisa menjiwai. Jangan sampai, ini ya, gue ngalamin seperti ini, gitu kan? Karena masih SMA kan ya waktu itu, ngeliat darah itu saya gimana itu, ya,” kata Idon.

Sebagai sutradara, Arifin C Noer memang dinilai keras, disiplin, dan sangat memperhatikan detail. Begitu juga soal detail pakaian yang dikenakan anak jenderal pada 1960-an yang akan dipakai Idon dan Itus. Keduanya saat itu awalnya canggung. “Ini, itu, begini…. Itu seperti ini. Kamu itu ini, lo! Kamu anak jenderal, lo! Bangga dong jadi anak jenderal. Kayak kita dimasukin ke sukma,” ucap Itus mengulang perkataan Arifin C Noer ketika memberikan motivasi.

Walau datang sejak pagi di rumah Ahmad Yani, Idon dan Itus kebagian syuting pada malam hari. Pada pukul 23.00-24.00 WIB, keduanya mulai berakting diawali mengobrol di ruang kumpul keluarga di ruang belakang rumah. Emmy membaca majalah. Saat bersenda gurau itu, tiba-tiba ibu mereka datang dan memarahi karena ayahnya (Ahmad Yani) tengah menerima tamu.

Sampailah adegan puncak ketika Ahmad Yani dijemput paksa oleh pasukan Tjakrabirawa. Tergambar dalam film itu, 30 September 1965, Ahmad Yani bersitegang dengan sekelompok tentara yang akan membawanya ke hadapan Presiden Sukarno. Karena Ahmad Yani berkeras hendak mandi lebih dulu, senjata pun meletus dan memecah keheningan subuh.

Anak-anak Ahmad Yani seketika bangun dan panik mendengar bunyi rentetan senjata itu. Menurut Idon dan Itus, mereka benar-benar tidur pada saat itu, bukan sekadar akting. Pascapengambilan gambar Idon dan Itus, Arifin bilang syuting telah selesai dan keduanya disuruh istirahat dan tidur. Ternyata itu hanya cara Arifin agar adegan terlihat alami.

Doni Arita
Foto: Gresnia Arela F/detikX

“Kita itu tidur, itu dengar suara tembakan. Bapak kita ditembak saja itu. Kita bener-bener bangun, shock! Kaget gitu kan, ya. Lompat-lompatanlah kita. Gimana sih kalau kita kaget itu bunyi tembakan,” ucap Idon sambil mengacungkan jempol atas trik Arifin C Noer itu.

Adegan mereka menangis pun bukan air mata buatan, melainkan air mata sebenarnya akibat ‘diceramahi’ oleh sang sutradara. Apalagi ketika keduanya ditanya bagaimana perasaannya kalau kedua orang tuanya ditembak orang. “Ya, sampai menangis. Bener-bener panik itu, saya nangis,” kata Itus.

Menurut Idon, wajar bila sampai saat ini film tersebut masih sering ditonton orang walau sudah puluhan tahun lalu produksinya. Padahal, sejak selesai syuting, Idon dan Itus kembali beraktivitas sekolah seperti biasa, tak ingat lagi pada adegan syuting yang mereka jalani. Setelah proses produksi, film tersebut baru bisa mereka tonton pada 1984.

Disinggung berapa honor sebagai pemain figuran dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, Itus mengatakan, “Ya memang ada, ada uang lelahnya. Zaman itu buat kita dapat uang Rp 2.000-3.000 itu bangga. Bangganya gimana ya, karena saya main film untuk negara. Sejarahnya itu.”

Jajang C Noer, istri Arifin C Noer (almarhum), mengungkapkan butuh berbulan-bulan untuk mencari sejumlah pemain film yang mirip dengan tokoh yang akan dimainkan. Saat itu suaminya menugasi lima orang untuk merekrut para pemain. Mereka adalah Budi Setiawan (asisten sutradara I), Edi Deronde (asisten art), Hadi Purnomo (asisten casting), serta Sumantri dan Edi Suryono (bagian produksi).

Itus Casyavera
Foto: Gresnia Arela F/detikX

Kelima asisten Arifin C Noer inilah yang mencari pemain yang mirip dengan Sukarno, Soeharto, tujuh jenderal Pahlawan Revolusi, para menteri, dan keluarga jenderal korban PKI. Tim rekrutmen ini bahkan setiap hari Jumat mencari ke masjid-masjid. Hari Sabtu dan Minggu tim mencari ke gereja-gereja, baik Katolik maupun Protestan. Tim dibekali foto-foto tokoh untuk dicocokkan dengan orang yang mirip.

“Kami ada foto rujukan, setengah mati mencarinya. Kalau ada yang mirip dari yang kita kenal, bisa cepat,” kata Jajang ketika ditemui detikX di kediamannya di bilangan Cipete, Fatmawati, Jakarta Selatan, Kamis, 28 September 2017.

Jajang menambahkan, ada sejumlah artis cilik yang sempat dibidik untuk memerankan putra-putri tujuh jenderal korban PKI. Ria Irawan, misalnya, sempat diminta memerankan beberapa tokoh anak-anak. Tapi, karena nggak mau potong rambut, diganti Susana Herman. Yang paling sulit adalah mencari sosok yang mirip dengan Bung Karno.


Reporter: Gresnia Arela F, Ibad Durohman, Syailendra Hafiz Wiratama
Redaktur: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]
SHARE