Ilustrasi : Edi Wahyono
Sabtu, 30 September 2017Bukan hanya kudeta Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang kembali dibahas setiap menjelang tanggal 30 September, tapi juga filmnya. Film Pengkhianatan G30S/PKI garapan sutradara Arifin C Noer selalu menuai kontroversi di tengah masyarakat.
Istri Arifin C Noer, Jajang C Noer, blak-blakan tentang pembuatan film yang digunakan Orde Baru sebagai alat propaganda anti-PKI itu. Jajang mengakui film tersebut pesanan, yang memang dibuat agar rakyat mendapat gambaran tentang kejahatan PKI yang mendalangi kudeta dan pembunuhan para jenderal pada 1965.
“Mas Arifin juga mengalami beberapa hal yang tidak menyenangkan oleh PKI. Waktu itu kan PKI sangat berkuasa. Dan underbouw PKI, yaitu Lekra, sangat berkuasa ketika itu. Jadi seniman yang independen, yang tidak mau bergabung bersama Lekra, suka tersisihkan,” kata Jajang.
Berikut ini wawancara lengkap Ibad Durohman dan Syailendra Hafiz Wiratama dari detikX bersama Jajang C Noer di kediamannya, Jalan Haji Saidi Guru, Cipete, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 28 September 2017:
Jajang C Noer
Foto: Syailendra Hafiz Wiratama/detikX
Masalah riset itu bagaimana dan berapa lama?
Semuanya itu pokoknya dua tahun, karena kami mengalami dua kali Lebaran. Yang membuat lama itu persiapan mencari data dan syutingnya. Karena syuting di tiap rumah ibu-ibu (jenderal) itu memakan waktu seminggu. Satu rumah satu minggu. Karena di rumah jenderal itu macam-macam kan yang mesti di-take. Dan kebetulan sekali, kita sadari kemudian, tiap kali jadwal untuk (adegan) ditembak, diseret, itu malam Jumat. Nggak tahu kenapa. Kan setting pas bagian itu butuh tiga hari, dari mulai tentara turun. Tapi yang pas ditembak atau diseret, itu pasti malam Jumat. Seolah-olah direstui, diridhoi.
Dari mana data-data diperoleh?
Dari pemerintah. Jadi yang mengumpulkan semua data itu Pak Nugroho Notosusanto. Selain menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dia sejarawan. Jadi data itu data yang semua kita tahu pada saat itu. Nggak ada yang kita karang-karang.
Apa target dari pembuatan film tersebut?
Semua orang tahu PKI itu jahat. Nah, itulah target film tersebut. Supaya generasi berikutnya, kalian ini, benci sama PKI. Tahu bahwa PKI itu nggak bener. PKI kan tahun 1948 di Madiun sudah mulai ada aksi. Film ini dibuat horor supaya orang menangkapnya bahwa ini peristiwa horor, peristiwa tragis. Sekarang kalau ditanya film itu pesanan, iya, itu film pesanan. Semua film juga pesanan, pesanan produser.
Bagaimana awalnya Arifin C Noer bisa menjadi sutradara di film tersebut?
Mas Arifin tidak ada tekanan. Dia direkomendasikan oleh Goenawan Mohamad. Jauh sebelum itu, Pak Dipo (Gufran Dwipayana) mau meningkatkan kembali Perum Produksi Film Nasional (PPFN). Jadi tanya sama Mas Goen (Goenawan), karena mereka itu tetanggaan dan teman joging. “Siapa ya sutradara yang andal dan bagus sekarang?”
Mas Goen kasih dua nama, Teguh Karya sama Mas Arifin. Dia pilih Arifin C Noer. Nah, berkenalanlah mereka (Dipo dan Arifin). Mereka sudah buat film Harmonika Ku, terus Pasien Rumah Sakit Jiwa, terus film Serangan Fajar, itu yang terakhir juga film tentang Pak Harto. Nah, namanya juga yang punya duit kan, dia mau dia yang nonjol.
Nah, habis film Serangan Fajar, baru deh film Pengkhianatan G30S/PKI. Sebetulnya Mas Arifin, kalau mau tolak, bisa saja. Toh, nggak ada kontrak atau apa. Tapi lagi-lagi Mas Goenawan meyakinkan, “Fin (Arifin), ini penting buat diketahui bangsa.” Jadi karena itu dia mau bikin.
Jadi sempat diyakinkan kembali oleh Goenawan Mohamad?
Ya, karena Mas Arifin juga mengalami beberapa hal yang tidak menyenangkan oleh PKI. Waktu itu kan PKI sangat berkuasa. Dan underbouw PKI, yaitu Lekra, sangat berkuasa ketika itu. Jadi seniman yang independen, yang tidak mau bergabung bersama Lekra, suka tersisihkan, suka terabaikan, termasuk Mas Arifin juga termasuk yang menandatangani Manikebu untuk meng-counter prinsip-prinsip Lekra.
Jadi karena itu pekerjaan berat pasti. Dan kami sudah berpengalaman dengan film Serangan Fajar, betapa tak mudahnya membuat film ‘beribu’ tahun lalu. Ya gimana ya, bisa nggak ya? Mas Arifin dianggap paling tepat karena dia independen. Dia tidak berafiliasi ke himpunan mahasiswa mana pun, tidak berafiliasi ke politik mana pun, jadi dianggap paling tepat. Jadi, dengan dia menyadari ini demi bangsa dan seterusnya, akhirnya dia mau buat film itu. Dan data-data itu yang dipakai oleh pemerintah yang kita semua tahu saat itu sudah juga dicek di Cornell University dan Cornell Paper waktu itu.
Salah satu adegan rapat pengurus PKI dalam film Pengkhianatan G30S/PKI
Foto: screenshot/YouTube
Butuh berapa lama sampai akhirnya Arifin mau menjadi sutradara film Pengkhianatan G30S/PKI?
Saya lupa. Nggak terlalu substansial itu. Tapi itulah dia, membuat itu landasannya cinta pada bangsa. Dia tahu bahwa ini penting dan Mas Arifin itu orang yang tidak bisa diintervensi, tidak bisa diatur-atur. Dia kan seniman, seniman yang bagus dan unggul lagi. Jadi dia nggak mungkin didikte-dikte. Jadi, setelah dia bikin skenario berdasarkan semua data yang terkumpul, diperlihatkan kepada Pak Harto (Presiden Soeharto), sudah tidak ada masalah. Oke semua.
Ada yang mengatakan kami diawasi oleh tentara, nah itu nggak bener itu. Tentara cuma mengawasi keamanan syuting, bukan mengawasi penyutradaraan. Kenapa? Tim properti waktu itu membuat bendera PKI ketika persiapan. Nah, bendera itu dijemur itu sablonannya, eh ditangkap polisi dia, dilaporkan oleh pak RT, disangka PKI dia.
Karena waktu itu kan menyebut PKI saja itu tabu sekali. Foto Bung Karno saja nggak berani orang pasang. Ketahuan ada foto Sukarno itu dicap Sukarnois. Dan waktu itu Bung Karno dianggap berafiliasi ke PKI. Nah, karena ada kejadian tim properti kami ditangkap itulah akhirnya kami dijaga tentara dan kami diberi kartu pengenal bahwa kami sedang membuat film. Akhirnya kami semua dan kru pakai itu, kartu pengenal itu dari Setneg.
Memang ketika itu lokasi syuting di mana saja?
Di rumah-rumah jenderal. RRI-nya itu dipindahkan ke Bogor karena RRI di sini sudah berubah bentuk. Jadi dibikin set dari tripleks, interior dan eksteriornya. Rumah-rumah jenderal itu masih sama semua, kecuali rumah Pak Suprapto di Jalan Basuki, itu sudah lain. Yang lainnya masih sama. Ibu Nas (AH Nasution) di Jalan Teuku Umar masih sama, mungkin sekarang juga masih sama. Waktu itu ya masih sama persis luar-dalam.
Pak Harto sempat berkunjung ke lokasi syuting?
Nggak pernah. Pak Dipo paling sekali. Itu juga cuma membawa cokelat buat saya, ha-ha-ha….
Apa respons Arifin ketika film itu selesai dibuat?
Kami juga mengikuti editing, kan. Cuma kemudian memang setelah film itu jadi, pas di televisi itu, ada tambahan deh kayaknya, tambahan narasi atau tulisan itu, di belakang atau di depan, saya lupa. Nah, itu ditambahkan kemudian, untuk tahun-tahun berikutnya, tahun pertama mungkin tidak. Dan Mas Arifin itu tidak menyangka bahwa itu akan diputar setiap tahun. Apalagi sekarang ya tahun setelah Reformasi jadi sesuatu yang kontroversial terus.
Soalnya pada tahun 2000 itu ada informasi dan data-data lain, dari Cornell juga ada data lagi. Jadi dimasalahkan kan sekarang. Kayak pencongkelan mata. Di data waktu itu ada, pemotongan alat kelamin, disiksa itu ada. Karena itu, Mas Arifin menggambarkan ada darah-darah. Tapi Mas Arifin nggak bikin yang pencongkelan mata. Dia bilang, “Nggak masuk akal. Ngapain bisa sesadis itu kayak dendam banget, kayak dendam pribadi.”
Jadi nggak mungkin, nggak masuk akal. Makanya nggak bikin. Nah, itu kalau di data ada. Nah, tahun 2000 baru itu tim forensik yang ketika tahun 1965 memeriksa jenazah baru berani ngomong nggak ada itu disiksa, sama sekali itu nggak ada, bahwa jenazah itu rusak, itu karena lima hari di lubang, jadi sudah busuk. Kata dia semua utuh, kok. Mata ada semua, nggak dicongkel atau apa.
Adegan pengambilan jenazah tujuh jenderal yang dibunuh.
Foto: screenshot/YouTube
Jadi memang data awal itu yang tidak valid?
Nah, saya nggak tahu tuh, itu data valid yang kita tahu. Sekarang kan ada ini-itu, tambahan. Orang forensik bukan dari dulu kek omongnya. Nggak berani. Setelah Reformasi, setelah Pak Harto nggak ada, baru deh dikemukakan.
Kabarnya Arifin menyesal membuat film Pengkhianatan GS30/PKI?
Sama sekali tidak. Kalaupun dia menyesal, itu ya karena kawan-kawan dia yang anti-PKI atau yang pro-PKI nggak suka Mas Arifin membuat film itu. Dalam hidup kita kan banyak juga yang cocok atau nggak cocok sama kita. Jadi itu karena beberapa kawannya yang menyayangkan Pak Arifin buat itu. Mas Arifin itu tidak pernah mengerjakan sesuatu yang tidak dia yakini. Jadi nggak mungkin (menyesali). Dia bertanggung jawab.
Kabarnya, Arifin pernah bersurat dengan Ajip Rosidi. Dalam suratnya, Arifin menyatakan menyesal membuat film itu dan ingin berhenti membuat film, benarkah itu?
Saya nggak tahu, yang mana itu? Saya mau tanya dulu sama Ajip, yang mana dan apa. Itu nggak mungkin. Itu asal omong kali. Buktinya, setelah itu bikin film Catatan 66.
Berapa biaya produksi film Pengkhianatan G30S/PKI?
Saya nggak tahu. Rp 800 juta itu nggak mungkin. Siapa yang omong begitu? Dia kredibel nggak tuh omong begitu? Karena sudah mati semua para pimpinan produksi. Sumantri, Edi Suryono, itu sudah mati semua, jadi kata siapa? Jadi zaman sekarang itu banyak juga yang asal omong dan sok tahu. Ketika itu keuangan bukan urusan saya. Sekarang pun saya tidak tahu dan itu nggak penting juga buat saya. Dan itu sebetulnya nggak penting orang tahu.
Menurut Anda, PKI akan muncul kembali?
PKI sudah nggak ada. PKI nggak mungkin muncul. Di Rusia dan China sudah nggak ada. Tulis tuh, bilang kata Jajang, nggak usah dihiraukan lagi deh, nggak usah diurusi lagi PKI ini. Yang harus diurusi ancaman terbesar kita apa? Radikalisme Islam. Mau kita menjadi negara Islam? Kita ini sudah 90 persen Islam, apa lagi yang ditakutkan? Dan karena itu harus menjalankan syariah Islam? Ya nggaklah. Itu justru yang mengancam kita sekarang. ISIS dan underbouw-nya. Bilangin ya, Jajang bilang begitu, PKI sudah nggak ada, yang mengancam itu radikalisme Islam.
Masalah Panglima TNI yang memerintahkan menonton film Pengkhianatan G30S/PKI?
Mau nonton kek, mau kagak kek, itu film sudah ada begitu dan secara teknis artistik itu bagus, semua orang mengakuinya. Jadi ya sudah, itu sebuah film, sebuah karya. Dan membuat film sejarah itu bisa bermacam-macam versi, bisa macam-macam cara. Ini saja baru-baru ini ada film tentang Perang Dunia II, film Dunkrik. Itu lain lagi sudut pandangnya. Jadi sah saja mau nonton atau tidak. Dan apa kata Presiden, harus buat yang baru lagi, boleh juga. Nah, itulah sejarah. Film itu demi kepentingan yang berkepentingan, ya kan?
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo
Foto: Lamhot Aritonang/detikcom
Masih ada nggak sih properti bekas syuting film itu?
Nggak ada. Udah nggak tahu di mana. Karena kami merasa itu biasa-biasa saja. Sebuah film disebut semacam arsip, itu aja, that’s it. Dan nggak menyangka sekarang jadi heboh. Saya itu kan pencatat adegan, itu sudah nggak ada, sudah saya buang. Kalau naskah aslinya masih ada. Itu ketikan Mas Arifin sendiri. Nah, judulnya dulu masih S.O.B, itu bahasa Belanda, Staat van Oorlog en Beleg (Negara dalam Keadaan Bahaya).
Kami membuat film itu sangat detail, kita buat bikin adegan ngelap-ngelap darah misalnya, kita wawancara ibu-ibu jenderal detail sekali, mulai dari mana ngepel-nya, atas atau bawah dulu, pakai lap apa, embernya seperti apa, dan lain-lain. Jadi nggak asal ngepel, titik. Kita tanya ngepel dari mana dan bagaimana ngepel-nya.
Redaktur: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban