Pawai pemuda merayakan Proklamasi 17 Agustus 1945 melewati depan rumah Bung Karno, 18 Agustus 1945.
Foto: Yayasan Idayu via Perpusnas
Kamis, 17 Agustus 2017Hari itu sungguh hari yang istimewa bagi Mohammad Hatta. Hari itu, Ahad, 12 Agustus 1945, adalah hari ulang tahunnya yang ke-43. Tapi ulang tahun bukan hal yang istimewa amat bagi Hatta. Situasi di Indonesia, juga dunia, sedang sangat genting.
Baru beberapa hari sebelumnya Hatta bersama Sukarno dan Radjiman Wedyodiningrat disertai dr Soeharto, dokter pribadi Sukarno, terbang dari Lapangan Udara Kemayoran, Jakarta, meninggalkan Indonesia. Mereka diundang ke Vietnam oleh Marshal Hisaichi Terauchi, Komandan Ekspedisi Selatan, komando tertinggi tentara Jepang di Asia Tenggara.
Sukarno dan Hatta diundang sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sedangkan Radjiman adalah Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang baru saja dibubarkan. Mereka didampingi dua perwira Jepang di Indonesia, Letnan Kolonel Nomura dan penerjemah Kapten Miyoshi.
Setelah sempat transit di Singapura, rombongan itu terbang kembali menuju Saigon (kini Ho Chi Minh City), Vietnam. Lantaran Saigon sedang banjir, pesawat mereka terpaksa mendarat darurat di lapangan udara kecil, Rontan. Dari kota kecil ini, mereka melanjutkan perjalanan ke Da Lat, kota sejuk di dataran tinggi Langbian, sekitar 300 kilometer ke arah timur laut Saigon. Sudah beberapa bulan Marshal Terauchi beristirahat di Da Lat setelah terkena serangan jantung.
Tepat pukul 10.00, Marshal Terauchi menemui Sukarno, Hatta, dan Radjiman. Sukarno, Hatta, dan Radjiman mengenakan jas panjang yang dijahit oleh ibu-ibu di Kedutaan Jepang. Meski sudah mengubek-ubek sejumlah toko, Miyoshi mengaku tidak berhasil mendapatkan jas untuk tiga pemimpin Indonesia tersebut.
Meski tak banyak bicara lantaran belum sehat benar, seperti dikutip Deliar Noer dalam bukunya, Mohammad Hatta, Biografi Politik, Terauchi sempat berkelakar. Dia bertanya kepada Hatta kapan akan menikah karena Indonesia tak lama lagi akan merdeka. Hatta, yang masih membujang, memang sempat berujar tak akan menikah sebelum negerinya bebas dari penjajah. Muka Hatta, Kapten Miyoshi menulis dalam memoarnya, kontan merona merah.
Pada saat revolusi, kami rupanya tak bisa membawa Bung turut serta. Bung tidak revolusioner.”
Salah satu pemuda aktivis kemerdekaan RI Rapat raksasa di Lapangan Ikada menyambut Proklamasi Kemerdekaan RI di Jakarta.
Foto: dok. IPPHOS via Perpustakaan Nasional
Dalam pertemuan itu, Marshal Terauchi menyampaikan bahwa pemerintah Jepang di Tokyo sudah setuju untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sukarno sempat bertanya kapan berita itu bisa disampaikan kepada rakyat Indonesia. “Terserah kepada Tuan-tuan di Panitia Persiapan. Kapan saja boleh. Itu sudah menjadi urusan Tuan-tuan,” kata Terauchi, dikutip Hatta dalam biografinya, Menuju Gerbang Kemerdekaan: Untuk Negeriku.
Bagaimana Indonesia akan memproklamasikan kemerdekaan, dalam pertemuan di Da Lat ini diputuskan akan dibahas dalam sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan pada 18 Agustus 1945. Kabar dari pertemuan selama dua jam dengan Terauchi itulah, kata Hatta, yang menjadi hadiah terindah untuk ulang tahunnya.
* * *
Hari-hari itu adalah hari-hari yang menentukan nasib Indonesia. Kondisi tentara Jepang, yang menjajah Indonesia lebih dari tiga tahun, sedang babak belur hampir di semua medan tempur. Pada 26 Juli 1945, Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman, Perdana Menteri Inggris Clement Attlee, dan pemimpin China Chiang Kai-shek menyepakati Deklarasi Postdam, yang memuat syarat-syarat penyerahan diri Jepang. Jika penguasa di Tokyo menolak, Jepang harus bersiap menghadapi penghancuran.
“Ancaman” itu tak main-main. Pada 6 Agustus, pesawat Amerika menjatuhkan bom atom di Kota Hiroshima, disusul tiga hari kemudian di Kota Nagasaki. Kabar soal kehancuran Jepang itu didengar oleh Sutan Sjahrir, salah satu pemimpin pergerakan kemerdekaan yang menolak bekerja sama dengan Jepang. Sebelum Sukarno-Hatta terbang ke Vietnam, George McTurnin Kahin menulis dalam bukunya, Nationalism and Revolution in Indonesia, Sjahrir sempat menemui Hatta dan mendesak supaya Hatta dan Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tapi Hatta dan Sukarno menolak.
Dua hari setelah bertemu dengan Marshal Terauchi, pada Selasa pagi rombongan Sukarno, Hatta, dan Radjiman mendarat di Lapangan Udara Kemayoran. Di landasan sudah menunggu sejumlah petinggi tentara Jepang dipimpin Jenderal Yamamoto dan beberapa pemimpin pergerakan. Juga tak sedikit rakyat yang menunggu kabar dari Da Lat. “Apabila dulu aku katakan bahwa Indonesia akan merdeka sesudah jagung berbuah, sekarang dapat dikatakan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga,” kata Sukarno singkat. Pernyataan Sukarno disambut pekik gemuruh ”Indonesia merdeka”.
Bung Karno memberikan penjelasan kepada wartawan-wartawan asing di Jakarta soal Proklamasi Kemerdekaan RI pada Agustus 1945.
Foto: dok. Yayasan Idayu via Perpustakaan Nasional
Mereka tak lama di Kemayoran. “Aku sebenarnya ingin langsung pulang ke rumah,” kata Hatta dalam otobiografinya. Tapi petinggi Gunseikan, pemerintah tentara pendudukan Jepang, meminta mereka menghadap. Dalam jamuan makan siang, pemimpin Jepang di Indonesia mengucapkan selamat kepada Sukarno, Hatta, dan Radjiman atas rencana kemerdekaan Indonesia.
Hatta tiba di rumah menjelang sore dan menjumpai Sjahrir yang sudah menunggunya. Rupanya Sjahrir sudah mendengar kabar soal niat pemerintah Jepang menerima Deklarasi Postdam. “Bagaimana soal kemerdekaan kita?” Sjahrir bertanya kepada Hatta. Hari itu, tanggal 14 Agustus. Hatta menjelaskan, soal kemerdekaan Indonesia sekarang ada di tangan mereka dan Panitia Persiapan Kemerdekaan.
Sjahrir tak setuju dengan Hatta dan Sukarno. Menurut Sjahrir, pengumuman kemerdekaan bangsa ini tak semestinya dilakukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan yang dibentuk oleh pemerintah penjajah Jepang. Jika Panitia Persiapan yang mengumumkan, kata Sjahrir, Indonesia merdeka akan dicap sebagai negara bentukan Jepang. Sukarno-Hatta, dia mengusulkan, harus memproklamasikan kemerdekaan Indonesia selekas-lekasnya atas nama rakyat negeri ini, bukan atas nama Panitia Persiapan. Tentara Jepang akan mereka lucuti dan diserahkan kepada tentara Sekutu.
Belum sempat rehat sejenak, sore itu pula Hatta bersama Sjahrir sepakat menemui Sukarno. Benar seperti diduga Hatta, Bung Karno menolak usul Sjahrir. Selain khawatir terjadi pertumpahan darah jika tentara Jepang di Indonesia melawan, ada pertimbangan lain. “Aku tidak berhak bertindak sendiri. Hak itu adalah tugas Panitia Persiapan Kemerdekaan…. Alangkah janggalnya di mata orang setelah kesempatan itu terbuka untuk mengucapkan Kemerdekaan Indonesia, aku bertindak sendiri melewati Panitia Persiapan Kemerdekaan yang aku ketuai,” kata Sukarno. Upaya Sjahrir membujuk dan mendesak Sukarno-Hatta sia-sia belaka.
Desas-desus soal menyerahnya Jepang makin santer beredar di kalangan pejuang kemerdekaan. Sukarno dan Hatta disertai Achmad Soebardjo, tokoh pergerakan yang bekerja di Angkatan Laut Jepang, mendatangi kantor Gunseikanbu, tapi tak menjumpai pejabat Jepang. Rupanya semua petinggi dipanggil ke markas besar Angkatan Perang Jepang. Dari Laksamana Muda Tadashi Maeda, Kepala Penghubung Angkatan Laut Jepang, dan perwira Jepang lain pun mereka tak mendapatkan kepastian soal kabar itu.
Peringatan 1 tahun Kemerdekaan Indonesia di Tugu Proklamasi, Jakarta.
Foto: dok. Yayasan Idayu via Perpustakaan Nasional
“Orang-orang Jepang tak memberikan keterangan lebih dari apa yang sudah kami ketahui. Tapi tindak-tanduk dan sikap menahan diri mereka memberi kesan bahwa berita soal penyerahan diri Jepang sudah sampai kepada mereka. Mereka tampak lesu tak bersemangat dan terus-menerus minum minuman keras,” kata Soebardjo, dikutip Sidik Kertapati dalam bukunya, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Melihat perkembangan itu, Hatta mengusulkan agar rapat Panitia Persiapan dimajukan menjadi 16 Agustus.
Para aktivis pemuda tak sabar lagi menunggu. Pada 15 Agustus petang, mereka menyambangi rumah Hatta. Soebadio Sastrosatomo dan Subianto Djojohadikusumo—paman Prabowo Subianto—datang ke rumah Hatta. Mereka mengulang kembali permintaan Sjahrir. Mereka menolak proklamasi disampaikan oleh Panitia Persiapan. “Itu harus dihalangi…. Bung Karno sendiri atas nama rakyat Indonesia yang harus mengucapkannya di corong radio,” kata Soebadio. Lebih dari setengah jam Hatta dan dua pemuda itu berdebat sengit. Tapi sampai akhir tak ada kata sepakat.
“Pada saat revolusi, kami rupanya tak bisa membawa Bung turut serta. Bung tidak revolusioner,” kata salah satu pemuda, dikutip Hatta dalam biografinya. Hatta menjawab kalem. “Tindakan yang engkau adakan itu bukan revolusi, tapi putsch, seperti yang dilakukan Hitler di Muenchen pada 1923, tapi gagal.”
Hingga 15 Agustus malam lewat, proklamasi kemerdekaan seperti yang diinginkan Sjahrir dan pendukungnya tak pernah terlaksana. Dan terjadilah peristiwa Rengasdengklok keesokan harinya.
Redaktur/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.