Foto: Ari Saputra/detikcom
Sabtu, 5 Agustus 2017Pekan depan Teater Koma bakal kembali manggung di Gedung Kesenian Jakarta. Memang bukan cerita baru bagi Nano Riantiarno dan teman-temannya naik panggung. Warisan, lakon yang akan dipentaskan Teater Koma, merupakan produksi ke-149 sejak teater ini berdiri 40 tahun lalu. Tak ada yang membantah, Teater Koma merupakan satu-satunya kelompok teater di negeri ini yang sanggup menggelar pentas secara rutin dan tiketnya hampir selalu laris manis.
Kisah dalam lakon-lakon yang ditulis Nano biasanya memang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, diramu dengan bumbu komedi dan sentilan-sentilan kritik segar, membuat seorang presiden, seperti Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, betah menonton hingga layar ditutup. Resep itulah yang membuat mereka punya penggemar yang terus setia menonton pentas Teater Koma selama puluhan tahun.
Teater rakyat, teater populer, itulah bentuk Teater Koma yang dipilih Nano dan kawan-kawannya. “Saya tidak punya impian yang muluk-muluk, misal berniat mencipta ‘seni adiluhung’. Bukan itu tujuan saya. Saya hanya ingin menyajikan Hiburan, dengan H besar,” kata Nano dalam wawancara dengan Ian Jarvis Brown, hampir 20 tahun lalu. Seperti ditulis Nano pada 1980 dalam “Kode Etik Teater Koma”, setiap anggotanya harus “percaya bahwa teater adalah Jalan Menuju Kebahagiaan dan setia kepada tujuan: Kebahagiaan”.
Nano tak terlalu risau terhadap apa kata para kritikus yang menganggap Teater Koma mengabaikan “tugas mulia” dalam berkesenian dan menurunkan derajatnya menjadi teater rakyat. “Saya berkesenian bukan hanya untuk para kritikus…. Apa pula yang dimaksud dengan ‘tugas mulia’? Apakah Anda setuju jika ada yang menyatakan Srimulat lebih rendah mutu seninya dibanding Rendra? Setujukah Anda jika ada yang menghakimi seni jalanan sebagai kurang mutunya dibanding seni adiluhung di keraton atau seni modern?” kata Nano.
Meski memberikan “Hiburan” jadi cita-cita Nano dan teman-temannya dalam berkesenian, kadang bukan cuma para kritikus yang “tak terhibur”, tapi ada kalanya juga pertunjukan mereka membuat penguasa “alergi”. Selama 40 tahun, entah sudah berapa kali Nano mesti berurusan dengan intel, polisi, dan tentara. Paling tidak sudah empat kali lakon Teater Koma gagal naik pentas lantaran tak turun izin dari pemerintah Orde Baru.
Foto: Ari Saputra/detikcom
Mereka juga berhak menikmati kue pembangunan. Mereka bukan sekadar kayu bakar pembangunan.”
Nano Riantiarno, penulis naskah dan sutradara Teater KomaSuatu pagi pada 24 Maret 1990, persis menjelang pentas perdana lakon Konglomerat Burisrawa, Nano mendapat telepon dari seorang kolonel tentara. Dengan nada sopan, sang kolonel bertanya, ”Apa sandiwara Saudara merupakan kritik terhadap Pak Harto dan anak-anaknya, seputar harta kekayaan mereka?” Pak Harto yang dimaksud kolonel itu tentu saja Presiden Soeharto.
Sembari berusaha menenangkan diri, Nano menjelaskan lakon itu merupakan adaptasi dari kisah wayang Sumbadra Larung. “Dalang-dalang wayang masih sering memainkannya,” kata Nano dikutip dalam bukunya, Membaca Teater Koma (1977-2017). Kolonel itu belum puas atas jawaban Nano. Dia masih bertanya lagi soal sikap dan pendapat Nano terhadap Presiden Soeharto dan rupa-rupa bisnis anak-anaknya.
Kejadian seperti itu sudah seperti rutinitas bagi Teater Koma selama Orde Baru. Walaupun Nano tak berniat berpolitik, apalagi menggantikan peran partai politik, tema-tema yang dipilih Nano kadang seperti mewakili suara rakyat yang tak punya suara di lingkaran kekuasaan sana. “Mereka juga berhak menikmati kue pembangunan. Mereka bukan sekadar kayu bakar pembangunan,” Nano menjelaskan sikapnya. Tema-tema seperti itulah yang dulu sering membuat telinga penguasa “gatal-gatal”.
Tapi rezim itu sudah lama tumbang, dan Teater Koma masih hidup sampai hari ini.
* * *
Azan magrib baru saja selesai terdengar saat satu per satu anggota Teater Koma berdatangan ke sanggar di bagian belakang rumah Nano Riantiarno di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan. Setelah bertegur sapa sejenak, mereka mengerubungi meja makan bundar yang berisi beragam menu makanan dan penganan tradisional.
Beberapa dari mereka kemudian memilih menyantap makan malamnya di dekat meja makan. Sebagian lagi di samping panggung sambil berbincang. "Kebiasaan kami itu makan malam bareng sebelum latihan dimulai," ujar Ratna Riantiarno, Pemimpin Produksi Teater Koma, kepada detikX, Kamis (20/7) malam.
Foto: Grandyos Zafna/detikcom
Sementara yang lain menghabiskan makan malamnya, dua orang masih terlihat sibuk mengepel lantai panggung tempat mereka berlatih. Sebenarnya malam itu latihan untuk pergelaran lakon Warisan pada 10-20 Agustus mendatang sengaja dikosongkan karena salah seorang tetangga sebelah sanggar baru saja meninggal. "Setiap hari kami latihan kecuali akhir pekan," kata Ratna.
Teater Koma merupakan salah satu teater tertua di Indonesia yang sampai hari ini masih konsisten menggelar pementasan. Teater yang sedang mempersiapkan produksi ke-149 itu didirikan Nano dan 11 seniman teater lainnya di Jakarta 40 tahun lalu. Saat itu para pendirinya masih aktif di teater masing-masing.
Nano, Zaenal Bungsu, Titi Qadarsih, dan Rima Melati masih bergabung dengan Teater Populer pimpinan Teguh Karya. Sedangkan dari Teater Kecil ada Jajang Pamoentjak, Cini Gunarwan, Charlie Sahetapy, dan Ratna Madjid. Ada pula Syaeful Anwar dari Teater Mandiri. Jim Bary Aditya dan Agung Dauhan dari Teater Remaja serta Roedjito.
Kegamangan mereka melihat sepinya pementasan-pementasan teater memantik niat untuk membentuk kelompok teater baru. Teguh Karya lebih disibukkan dengan produksi-produksi film mulai 1970. Padahal sebelumnya Teguh sangat marah jika mengetahui anggota Teater Populer terlibat dalam produksi film. Langkah Teguh masuk dunia film itu kemudian disusul bos Teater Kecil, Arifin C. Noer, pada 1973.
Masuknya Teater Populer dalam produksi film membuat Nano mau tidak mau ikut kecemplung di dalamnya. Nano, yang dilimpahi bakat besar dalam bidang penulisan, banyak terlibat dalam pembuatan skenario. Ia bahkan menjadi asisten Teguh Karya dalam produksi film Perkawinan dalam Semusim. "Bagi saya, film adalah pembelajaran. Tapi sejak awal, saya ke Jakarta ingin menjadi orang teater dan tidak ingin menjadi orang film," ujar Nano kepada detikX.
Ratna Riantiarno
Foto: Ari Saputra/detikcom
Niat ingin tetap menjadi orang teater memunculkan hasrat Nano mendirikan kelompok teater baru. Keinginannya itu pun disampaikan kepada Teguh Karya pada 1974. "Beliau sangat mendukung," ujar Nano terkait respons Teguh saat itu. Setahun kemudian, kembali ide itu dilontarkannya kepada sang guru. Respons Teguh tak berubah. Akhirnya pada tahun itu juga Nano memutuskan tidak ikut dalam kegiatan produksi film Teater Populer.
Nano memutuskan berkeliling Indonesia, menonton dan mempelajari teater rakyat dan teater tradisi. Pulang dari keliling selama 6 bulan, ia menyampaikan kepada Ratna Madjid, waktu itu belum menjadi istrinya, dan Syaeful Anwar, keinginan mendirikan kelompok teater. Namun keinginan itu baru terwujud sekitar dua tahun kemudian.
Dalam sebuah pertemuan di rumah Abdul Madjid, aktivis Partai Nasional Indonesia yang juga ayah Ratna, di Jalan Setiabudi Barat 4, pada 1 Maret 1977, terbentuklah Teater Koma. Nano didaulat membuat naskah sekaligus menyutradarai kawan-kawannya. "No, kamu kan bisa bikin naskah. Sutradarain kita, deh," ujar Ratna menirukan suara-suara saat pertemuan tersebut.
Kelompok baru ini lantas memilih nama Teater Koma. Jim Bary Aditya menuturkan nama tersebut diusulkan Nano. "Harapan kami saat itu, kelompok ini terus bergerak berkarya, tanpa henti dan tak mengenal titik," ujar Jim Bary kepada detikX. Nano pun menyiapkan naskah pertama untuk grup ini yang diberi judul Rumah Kertas. Pentas direncanakan digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Namun, saat itu ada aturan, kelompok teater baru yang bisa berpentas di TIM hanya yang memenangi Festival Teater Remaja Jakarta. Dengan alasan anggota Teater Koma bukan lagi aktor-aktris pemula, aturan itu akhirnya dieliminasi. "Akhirnya Teater Koma diberi syarat khusus, sutradaranya harus mendapat persetujuan dari tiga sutradara teater senior bahwa layak tampil," ujar Ratna.
Foto: Ari Saputra/detikcom
Nano selaku sutradara kemudian menghadap Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta: Wahyu Sihombing, Teguh Karya, dan Arifin C. Noer. Ketiganya memberi restu kepada Teater Koma untuk manggung di Teater Tertutup TIM. Teguh Karya pun didaulat menjadi penasihat produksi. "Saya bilang, ‘Eh, Arifin C. Noer harus nonton dan kasih evaluasi juga, dong. Arifin kan guru gua,’" kata Ratna.
Tak ingin tampil mengecewakan di pentas perdana, anggota Teater Koma berlatih spartan. Tidak adanya tempat membuat mereka harus latihan berpindah-pindah tempat. Kadang mereka harus latihan di garasi rumah Abdul Madjid, kemudian pindah ke halaman restoran Le Bistro milik pasangan Rima Melati dan Frans Tumbuan. "Belakang panggung teater di TIM juga tempat kami latihan," kata Jim Bary.
Soal konsumsi saat latihan biasanya ditanggung Rima Melati atau Titi Qadarsih. "Rima Melati bawanya hamburger. Anak-anak bilang begini, ‘Mbak, mending tahu-tempe deh daripada hamburger,’" ujar Ratna sambil tertawa.
Setelah melalui latihan berbulan-bulan, pertunjukan lakon Rumah Kertas digelar tiga malam berturut-turut mulai 3 Agustus 1977. Di luar dugaan, tiap pertunjukan, kursi penonton hampir terisi penuh, meski pada pertunjukan pentas perdana ini Nano harus menombok sekitar Rp 300 ribu. Kondisi itu tak banyak berubah, bahkan 40 tahun kemudian. Teater Koma masih tetap harus pontang-panting mengongkosi produksinya.
Reporter/Redaktur: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.