INTERMESO

40 TAHUN TEATER KOMA

Tak Jera Kritik Penguasa

Saya hanya ingin bilang, ‘Kezaliman ini, sekarang ini, sudah menjadi kelaziman. Apakah pencekalan harus dilakukan?’"

Foto-foto: Ari Saputra/detikcom

Sabtu, 05 Agustus 2017

Pada malam itu, Rabu, 28 November 1990, mestinya Teater Koma memainkan Opera Kecoa di Gedung Kesenian Jakarta. Ratusan penonton setia Teater Koma sudah berjubel di depan pintu gerbang. Tapi pintu tak kunjung dibuka.

Beberapa saat sebelumnya, dua rombongan polisi datang dengan dua mobil Kijang. Tanpa banyak cakap, mereka menutup gerbang dan mengusir orang-orang yang berniat menonton Opera Kecoa. Seorang sersan menemui Nano Riantiarno, penulis naskah dan sutradara Teater Koma, dan melarangnya melanjutkan niat berpentas. “Mengapa?” Nano bertanya penasaran.

“Saya menerima perintah lewat pesawat HT saya. Saudara tidak boleh melakukan kegiatan pertunjukan teater,” kata sersan polisi itu. Nano sempat menolak. Seorang mayor, atasan sang sersan, datang dengan sikap lebih sopan. Dia mengatakan Teater Koma tak punya “surat izin pentas”. Ditembak soal izin khusus itu, Nano lemas. Nano bercerita, ada tiga seniman panggung yang harus selalu mengurus “surat izin pentas” khusus ini setiap kali hendak manggung: dia, Rendra, dan Guruh Sukarno Putra.

Menurut Ratna Madjid Riantiarno, istri Nano yang juga salah satu pendiri Teater Koma, pelarangan pertunjukan itu datang tiba-tiba. Ratna sedang berada di ruang rias saat mendengar kabar pelarangan yang disampaikan pihak pengelola gedung. "Kami sedang makeup. Itu pelarangan yang gila banget," ujar Ratna. Tak sedikit biaya yang dikeluarkan Teater Koma dalam mempersiapkan pergelaran yang sedianya berlangsung sampai 7 Desember 1990 itu. "Saya sampai nangis bercucuran air mata waktu itu."

Tak ada alasan yang jelas dari aparat kepolisian terkait alasan pelarangan itu. Beberapa hari kemudian baru muncul pernyataan dari Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Mayor Jenderal M.H. Ritonga yang menuding lakon yang akan dibawakan itu tak mendidik, bahkan membodohi. "Yang ditonjolkan masalah porno, masalah banci, masalah wanita tunasusila. Untuk apa itu," ujar Ritonga seperti dikutip sejumlah media massa kala itu.

Yang ditonjolkan masalah porno, masalah banci, masalah wanita tunasusila. Untuk apa itu."

Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Mayor Jenderal M.H. Ritonga pada November 1990

Pementasan Opera Kecoa pada akhir 1990 itu sebenarnya dipersiapkan sebagai pemanasan menjelang tur kesenian Teater Koma memenuhi undangan Pusat Kebudayaan ASEAN di Tokyo, Jepang. Pertunjukan di Jepang itu rencananya digelar pada 22 Februari hingga 7 Maret di Kota Tokyo, Fukuoka, Osaka, dan Hiroshima. Pelarangan manggung di Jakarta membuat impian Nano Riantiarno dan Teater Koma untuk pertama kalinya berpentas di negeri orang harus terkubur. "Pihak Jepang sudah sangat serius menyiapkan sampai ke setting panggungnya," ujar Ratna.

Pihak penyelenggara di Jepang tak hanya menonton langsung beberapa pertunjukan Teater Koma dan meminta rekamannya. Namun sekaligus meminta desain panggung sedetail mungkin. Penyelenggara di Jepang juga mengutus sejumlah orang mengukur setting yang dipakai Teater Koma dalam pementasan Opera Kecoa yang akhirnya batal digelar. Terjemahan dalam bahasa Jepang untuk setiap kalimat yang akan ditampilkan melalui teks elektronik di depan panggung pun sudah disiapkan. Sia-sia pulalah segala jerih payah dan keringat mereka mempersiapkan pentas itu selama dua tahun.

* * *

Dilarang pentas dan berurusan dengan intel, polisi, dan tentara sebenarnya bukan hal baru bagi Nano dan teman-temannya. Baru satu setengah bulan sebelum Opera Kecoa dilarang, Teater Koma mementaskan Suksesi. Alkisah, Raja Bukbangkalan kebingungan memilih siapa calon penggantinya di antara lima anaknya. Salah satu anaknya, Raden Roro Diah Suksesi, sangat berambisi menggantikan ayahnya.

Dari menyimak judulnya saja, pada masa itu gampang ditebak, telinga aparat pasti langsung tegak. Pengurusan izin pentas bertele-tele dan lambat sekali. Bolak-balik Nano mesti menemui pejabat intelijen, polisi, dan tentara, meyakinkan mereka bahwa tak ada yang “berbahaya” dari Suksesi. “Bagian mana kira-kira yang dianggap berbahaya?” Nano bertanya kepada mereka. Tak ada yang menunjuk dengan tegas. “Ya, semuanya,” kata seorang kolonel.


Meski bertele-tele, izin prinsip datang juga dari markas polisi. Tapi setiap malam berpentas, Nano mesti “apel” ke kantor mereka. Suksesi sempat dipentaskan selama 10 hari di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Semua kursi penonton penuh terisi. Pada malam pentas ke-11, datang seorang kolonel polisi. Dia memberikan surat penghentian pentas Suksesi. Mestinya masih ada empat malam lagi pentas Suksesi. Menurut versi polisi, pentas Suksesi, ”Tidak sesuai pakem. Tidak mendidik. Vulgar…. Bisa menimbulkan kemungkinan keresahan masyarakat.”

Pencekalan pertama Teater Koma terjadi saat akan mementaskan lakon Sampek Engtay di Medan pada 20 Mei 1989. Kala itu pihak Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Utara menarik surat rekomendasi. Polisi pun akhirnya membatalkan surat izin. Padahal Sampek Engtay sempat dipentaskan bermalam-malam di Jakarta dan Surabaya. Nano juga sudah “lolos” dari proses “silaturahmi” dengan seorang letnan kolonel di Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). "Saya tulis surat yang dimuat media massa. Intinya, saya hanya ingin bilang, “Kezaliman ini, sekarang ini, sudah menjadi kelaziman. Apakah pencekalan harus dilakukan?" ujar Nano kepada detikX.

Pelarangan demi pelarangan yang lalu diikuti pencekalan Opera Kecoa membuat Nano terpukul. "Saya menulis sebuah surat juga, dan ini dimuat di hampir semua surat kabar. Saya ingin berhenti selama dua tahun, tidak ingin bikin teater lagi," kata ayah tiga anak itu.

Rencana vakum itu akhirnya diurungkan setelah Nano merenungkan perjalanan teater yang dirintisnya sejak 1977 bersama 11 seniman lainnya tersebut. Baru masuk pementasan kedua dengan lakon Maaf. Maaf. Maaf pada 1978, Nano dan kawan-kawannya mendapat ganjalan untuk bermain di sejumlah kampus di Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta karena aturan normalisasi kampus. "Jadi Teater Koma memang bernasib seperti itu. Nah, kalau saya berhenti, biarpun cuma dua tahun, artinya saya kalah. Saya tidak boleh kalah," ujar Nano.

Nano memutuskan tetap membuat pementasan lagi dan kali ini diizinkan. Namun, saat mementaskan lakon RSJ pada akhir 1991, ia kembali berurusan dengan aparat. Tiga hari Nano menjalani interogasi di Kodam Jaya. Ia ditanya maksud dan tujuan tersembunyi dari naskah lakon itu. "Saya tidak jera. Karena teater harus tetap berjalan. Apa pun yang terjadi."

Naskah-naskah yang ditulis Nano memang acap kali membawa kehidupan masyarakat bawah sebagai tema. Menurut Nano, masyarakat kelas bawah adalah masyarakat yang kerap dilupakan. Ia hanya ingin mengingatkan penguasa bahwa masyarakat itu juga berhak menikmati kue pembangunan dan bukan sekadar kayu bakar pembangunan. “Bagaimanapun, masyarakat kelas kecoa adalah bangsa kita juga," ujar Nano.

Bukan hanya Nano yang terpukul oleh pencekalan beruntun yang dialami Teater Koma. Salah satu pendiri Teater Koma, Jim Bary Aditya, menuturkan sejumlah anggota dirundung kegalauan, bahkan sempat putus asa melihat kondisi tersebut. "Saya waktu itu menyikapinya ini harus dihadapi. Teater memang harus menyuarakan kondisi riil di masyarakat. Kalau ketemu dengan pemerintah yang otoriter, mau nggak mau kita pasti ribut," ujar Jim.

Pencekalan yang dialami Teater Koma tak hanya mendapat simpati dari kalangan seniman yang melontarkan protes keras. Ratna Riantiarno menyebut sejumlah pengacara papan atas mendukung mereka untuk menggugat putusan pencekalan itu. "Semua tanpa dibayar," kata Ratna. Namun ada sahabat mereka yang memberi masukan. Membawa masalah itu ke jalur hukum memerlukan waktu yang panjang. "Penyelesaiannya akan menghabiskan energi yang banyak. Kami akan sibuk di situ dan justru tidak sempat berkesenian."

Berkali-kali dicekal, Nano justru mendapat Anugerah Seni pada 1993 dan penghargaan sastra 1998 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. "Artinya, ada banyak juga orang pemerintah yang tidak menyetujui pencekalan-pencekalan itu," kata Nano. Ia juga menerima Piagam Kehormatan Satyalancana Kebudayaan dari Presiden RI pada 2012. "Ini adalah sebuah penghargaan. Penting bagi saya dan pemerintah."


Reporter/Redaktur: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE