INTERMESO

40 TAHUN TEATER KOMA

Nano yang
Tak Kenal Titik

"Selama masih ada korupsi, saya akan tetap membahasnya dalam berbagai pentas."

Foto: Ari Saputra/detikcom

Sabtu, 5 Agustus 2017

Alkisah, karena satu kebetulan, Jimat Kalimasada, yang sangat dikeramatkan oleh Pandawa, jatuh ke tangan Petruk. Terprovokasi hasutan Kaladurgi dan Kanekaratena, Petruk memanfaatkan tuah Jimat Kalimasada untuk menaklukkan Kerajaan Loji Tenggara dan menobatkan diri sebagai rajanya. Petruk memilih gelar Prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot.

Naik takhtanya Petruk mengembuskan “reformasi politik” di Loji Tenggara. Reformasi ala Prabu Tongtongsot ini berarti segala hal jadi halal. Korupsi, asalkan tak ada yang tahu, oke-oke saja. Semua senang, semua bergembira. “Sekarang ini mungkin ada yang bilang, aku pahlawan reformasi. Sebab, akulah yang menghangatkan dinamika demokrasi,” Petruk alias Prabu Tongtongsot berbicara sendiri. “Yes. Kubikin dunia politik jadi tidak boring, tidak garing, penuh warna. Unik. Menarik.”

Itulah sepenggal dialog dalam naskah lakon Republik Petruk yang ditulis Nano Riantiarno. Teater Koma mementaskannya di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Januari 2009. Lakon ini merupakan penutup dari trilogi Kisah-kisah Republik. Dua lakon sebelumnya adalah Republik Bagong dan Republik Togog. Lakon-lakon ini, kata Nano, adalah cermin buram dari demokrasi di negeri ini.

Sekarang Teater Koma sudah menjelang paruh baya, masuk usia 40 tahun. Ada Nano, maka ada Teater Koma. Para pemain Teater Koma boleh saja menolak bintang di antara mereka, tapi kelompok teater itu memang tak bisa dipisahkan dari sosok Nano Riantiarno. Hampir seluruh naskah lakon yang dipentaskan Teater Koma berasal dari tangan Nano, anak pasangan Soemardi Wirjohoetomo dan Artini kelahiran Cirebon, Jawa Tengah.

Nano Riantiarno
Foto: Tia Agnes/detikHOT

Sejak remaja, bakat Nano memang tampak dalam hal tulis-menulis. Saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, tulisannya dimuat oleh koran Berita Indonesia yang terbit di Jakarta. Pada usia remaja itu pula, rasa senangnya terhadap dunia kesenian mulai tumbuh. Syaeful Anwar dalam buku N. Riantiarno: Dari Rumah Kertas ke Pentas Dunia menyebut persahabatan Nano dengan Toto Supriyanto membuatnya tertarik pada seni. Toto saat itu jago membaca sajak dan sering menang lomba di Cirebon. Sepasang sahabat ini kemudian bergabung dengan perhimpunan seniman muda Cirebon, Tunas Tanah Air.

Grup ini mengadakan kegiatan dan bersanggar di gedung RRI Cirebon. Sebelum Nano masuk, sastrawan Ajip Rosidi dan Arifin C. Noer pernah menjadi anggota Tunas Tanah Air. Saat Arifin bersama Teater Muslim mengadakan pementasan di Cirebon pada 1965, Nano menonton. Nano kagum betul kepada Arifin sebagai sesama Wong Cirebon. "Nano memimpikan suatu saat bisa sehebat reputasi Arifin," tulis Syaeful.

Nano lantas berkenalan dengan Indra Suradi, yang menangani grup drama, salah satu unit kegiatan di Tunas Tanah Air. Kebetulan grup ini sedang menyiapkan sebuah pementasan yang berjudul Aria Pangembanan. Di situlah Nano pertama kali terlibat dalam produksi sebuah pementasan. Digelar pada 17 Agustus 1966 dengan durasi tiga jam, pentas itu menjadikan Nano sebagai hulubalang dan mendapat jatah mengucapkan dialog satu-dua patah kata saja. 

Tahun berikutnya Tunas Tanah Air menyiapkan pementasan lakon Caligula. Kali ini Nano diberi tugas menyiapkan tempat latihan serta konsumsi bagi para pemain. Peran lainnya adalah menjadi pembisik bagi pemain yang lupa dialog. Tentu saja tugas itu menuntutnya wajib hafal seluruh dialog tokoh dalam naskah dan semua posisi pergerakan pemain.

Seminggu menjelang pementasan, pemeran tokoh Scipion ambruk karena terserang penyakit lever. Indra mengambil keputusan Nano orang yang tepat mengisi posisi tersebut. Tak ingin tampil mengecewakan, Nano berlatih keras. Pagi, siang, malam dilewatinya dengan latihan demi latihan. Selama seminggu Nano tak pulang rumah.

Foto: Ari Saputra/detikcom

Kerja kerasnya memang terbayar. Pentas lakon tersebut berlangsung sukses. Nano memainkan peran Scipion dengan baik. Kelak Scipion dari Cirebon ini berguru kepada Scipion dari Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) Jakarta, Teguh Karya. Cinta Nano pada dunia teater makin dalam saat menyaksikan aksi aktor Pietrajaya Burnama dan Soekarno M. Noer. Menurut Nano, keduanya merupakan aktor watak yang kuat.

Latar belakang pendidikan keaktoran keduanya dari ATNI membuat Nano terinspirasi masuk akademi yang sama. Selepas lulus SMA pada 1967, Nano pindah ke Jakarta. "Ia menegaskan kepada orang tuanya agar tidak perlu memikirkan biaya pendidikannya di ATNI," tulis Syaeful. Ia berangkat bersama sahabatnya, Toto, yang berniat melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Publisistik.

Nano lalu mendaftar ke ATNI pada awal 1968. Dia seangkatan dengan Slamet Rahardjo dan Boyke Roring. Kondisi ATNI waktu itu sangat menyedihkan. Tak punya gedung sendiri membuat tempat perkuliahan harus berpindah-pindah. Pendiri ATNI, sutradara kondang Usmar Ismail, mati-matian berupaya agar ATNI tak mati. Meski kondisi ATNI itu amat payah, staf pengajarnya sangat mumpuni, di antaranya Wahyu Sihombing dan Teguh Karya.

Selain menjadi pengajar resmi di ATNI, Teguh Karya membuka kursus akting. Nano bersama beberapa mahasiswa ATNI lainnya, termasuk Slamet Rahardjo, ikut bergabung dalam kursus tersebut. Teguh, yang juga Manajer Artistik Hotel Indonesia, dan sejumlah muridnya kembali mengaktifkan Teater Populer Hotel Indonesia. Nano mengisi hari-harinya dengan kuliah di ATNI pada sore hari, sementara pagi dan malam hari berlatih teater di HI dilanjutkan diskusi di kamar mes Teguh Karya sampai dini hari.

image for mobile / touch device
image 1 for background / image background





Foto: Ari Saputra/detikcom

Agar tak terlambat latihan, setelah diskusi, Nano bersama Boyke Roring dan Franky Rorimpandey sering menginap di salah satu sudut lantai bawah gedung Sarinah. Di situ banyak kotak kardus milik pedagang bunga. Kardus itu pun dijadikan alas tidur. Lakon Jangan Kirimi Aku Bunga karya Norman Barash pada Oktober 1968 menjadi pementasan pertama kali Nano di Jakarta. Tahun-tahun berikutnya ia kerap dipercaya memegang peran utama dalam lakon yang dipentaskan Teater Populer.

Ketika dipentaskan lakon Djajaprana karya Jeff Last pada 1970, Teguh Karya memintanya berperan sebagai Djajaprana. Nano betul-betul mempersiapkan diri dengan serius. Tak hanya menghafal naskah, Nano minta tolong kepada Ratna Madjid, penari Bali dari Yayasan Seni Budaya Saraswati, mengajarinya gerak tari yang cocok dengan peran Djajaprana. Delapan tahun kemudian, Ratna Madjid, putri politikus Partai Nasional Indonesia Abdul Madjid, dipersuntingnya menjadi istri.

Beberapa tahun berkarya di Teater Populer, Nano sangat gelisah melihat kondisi teater Indonesia. Media-media ramai dengan lintas pemikiran teater, namun pementasan teater sangat sepi. Maestro-maestro teater sibuk dengan produksi film. W.S. Rendra, pemimpin Teater Bengkel, yang disebut Nano sebagai guru ketiganya, setelah Teguh Karya dan Arifin C. Noer, dipenjara penguasa Orde Baru. Kekosongan inilah yang membuatnya membulatkan niat membuat kelompok teater baru yang akhirnya berdiri pada 1 Maret 1977 dengan nama Teater Koma.

Foto: Rengga Sencaya/detikcom

Selama 40 tahun teater ini bisa konsisten terus berkarya, menurut Ratna Riantiarno, karena kode etik yang terus dipegang semua anggotanya. "Meski seseorang kami lihat berbakat, kalau tak punya disiplin, tak punya toleransi, saya memilih tidak memasukkannya," ujar Ratna. Teater Koma sudah menetapkan jalan hidupnya. Selama 40 tahun, menurut Nano, tak ada yang berubah dalam konsep pentas teater yang dibawakan Teater Koma. "Selama masih ada korupsi, saya akan tetap membahasnya dalam berbagai pentas."

Begitu juga dengan musik, tarian, dan goro-goro, yang selalu hadir dalam pentas Teater Koma, tak akan berubah. Hanya, khusus untuk lakon Warisan, yang akan digelar pada 10-20 Agustus mendatang, Nano mencoba hal baru. "Saya akan bikin penonton menonton sastranya saja. Hanya dialog. Suasana dan peristiwa," ujar Nano.


Reporter/Redaktur: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE