INTERMESO

Jakarta Tak Sekejam Ibu Tiri

Mereka datang ke Jakarta hanya bermodal “dengkul”. Mereka bisa bertahan hidup, bahkan sebagian jadi pengusaha sukses.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Sabtu, 15 Juli 2017

Alkisah, Ateng sudah benar-benar lelah tinggal di rumah. Buat Ateng, rumahnya bukan lagi rumah baginya setelah ayahnya menikah lagi. Ibu tirinya, yang diperankan oleh Doris Callebaute, memperlakukan Ateng bak pembantu. Sialnya lagi, ayahnya tak banyak membantu.

Suatu hari, Ateng bertemu dengan kawan masa kecilnya, Iskak, yang baru pulang dari perantauan. Iskak datang dari Jakarta dengan gaya luar biasa. Ke mana-mana, headset menempel di telinganya. Iskak bercerita betapa enak hidup di Jakarta. Termakan bualan Iskak, Ateng berangkat ke Jakarta. Apa yang dia temui di Ibu Kota sangat jauh dari cerita Iskak. Kesialan demi kesialan dia alami.

“Ternyata kejamnya ibu tiri tak sekejam Ibu Kota,” kata Ateng dalam film Kejamnya Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota. Film yang disutradarai oleh Imam Tantowi dan dibintangi oleh Ateng, Iskak, dan Doris itu tayang di bioskop-bioskop sudah lebih dari 35 tahun lalu. Entah benar atau tidak bahwa Jakarta lebih kejam daripada “ibu tiri”, nyatanya setiap tahun ribuan orang dari seluruh Indonesia merantau ke ibu kota negara. Kata orang, di mana ada gula, ke sanalah semut menuju.

Karyono, kini 39 tahun, adalah salah satu “semut” yang datang dari daerah untuk ikut berebut “gula” di Jakarta. “Saya dari keluarga tak mampu. Ayah saya meninggal saat saya baru 3 tahun,” Karyono menuturkan kisah hidupnya. Dua tahun kemudian, gantian sang ibu yang menyusul ayahnya. Karyono, yang yatim-piatu, tumbuh besar dalam asuhan kakek dan neneknya. Dia masih ingat seperti apa rumahnya waktu kecil dulu di Kampung Gardu, Desa Bendungan, Kecamatan Pagedan Barat, Subang, Jawa Barat. “Kalau hujan, air hujan masuk semua ke dalam rumah.”

Dengan susah payah, kakek dan neneknya menyekolahkan Karyono hingga lulus dari Sekolah Teknik Menengah Negeri Purwakarta. Karyono tahu diri kakek dan neneknya tak punya uang. “Saya sekolah seadanya saja. Seragam sudah lusuh, tas sekolah jelek, bolong-bolong pula…. Cewek tak ada yang mau dekat-dekat dengan saya,” kata Karyono. Kadang, kalau haus, dia minum air mentah dari sumur sekolah.


Foto : Melisa Mailoa


Foto : Melisa Mailoa

Mang Yono perantau subang
Foto : Melisa Mailoa

Bertekad hidup lebih baik, Karyono pergi ke Ibu Kota Jakarta. Inilah bekal dia saat pergi merantau pada 1996: ijazah STM, empat setel baju, sabun, sikat gigi, sisir, cermin, dan uang Rp 26 ribu. “Ternyata di Jakarta nggak seenak yang saya bayangkan,” kata Karyono. Untuk bertahan hidup di Jakarta, segala macam pekerjaan dia ambil, mulai kuli proyek hingga tukang bersih-bersih di kantor. Gaji pertama yang dia dapat sebagai kuli di proyek pembangunan Menara BII di Jalan M.H. Thamrin sebesar Rp 200 ribu per bulan. “Untuk mengirit ongkos, saya tidur di bedeng proyek.”

Kadang Jakarta memang kejam, tapi Jakarta juga memberi tempat bagi para perantau yang bersedia banting tulang dan memeras keringat. Selama lebih dari 20 tahun menjadi perantau di Jakarta, Karyono tak gengsi mengerjakan apa pun. Jadi kuli bukan masalah, jadi pesuruh kantor dia kerjakan, disuruh menyikat WC dia kerjakan, jadi staf administrasi pun tak ada soal. Yang penting anak, istri, dan kakek-neneknya di kampung bisa makan dan bisa bersekolah.

Sekarang Karyono bekerja untuk perusahaan kontraktor milik satu keluarga. Sama seperti sebelum-sebelumnya, di perusahaan ini dia merangkap banyak pekerjaan: kadang jadi juru gambar, kadang jadi pesuruh kantor, kadang jadi staf pembelian barang, ada kalanya pula dia ikut jadi juru hitung. Banyaknya pekerjaan yang diberikan kepada dia justru memberi kesempatan bagi Karyono untuk belajar banyak hal.

Sejak empat tahun lalu, di sela-sela waktu luangnya, Karyono mulai menulis di blog. Mulanya dia menulis soal isu-isu pertanian. Dia memang tertarik belajar bertani. Di kampungnya, Karyono sempat menyewa 1,2 hektare sawah. Awalnya iseng, blog ini malah jadi sumber tambahan penghasilan. Dari iklan Google yang dipasang di blog miliknya, mangyono.com, setiap bulan dia rata-rata mendapat tambahan penghasilan US$ 300 atau sekitar Rp 4 juta. Sekarang Karyono sudah membeli sawah yang dulu dia sewa. Meski tak besar, dia juga sudah membangun rumah di atas tanah pemberian mertua di kampungnya.

* * *

Samsul Daeng Ngawing
Foto : Pasti Liberti Mapappa

Tangan Samsul Daeng Ngawing cekatan memotong-motong daging yang ditusuknya dengan garpu, lalu memasukkannya dalam mangkuk berukuran kecil. Potongan daging berbentuk persegi lalu disiramnya dengan kuah cokelat dan ditaburi irisan daun bawang dan seledri. Siapa sangka tangan yang cekatan meracik coto itu pernah merasakan kerasnya dunia preman di kawasan Kalijodo. "Saya teman seperjuangan Daeng Aziz," ujar Samsul kepada detikX sambil tertawa di Warung Coto Makassar miliknya di kawasan Senen, Jakarta Pusat.

Samsul hijrah ke Jakarta sejak 1991. Darah mudanya bergejolak ketika kawan-kawannya mengajak merantau ke Jakarta. "Saya ingin merasakan hidup di perantauan. Mumpung masih muda," katanya dengan logat Makassar yang kental. Rupanya Kalijodo menjadi tujuan Samsul dan kawan-kawannya. Di kawasan itu Samsul mengaku tak punya pekerjaan tetap. "Saya cuma terima jatah preman dari tempat perjudian dan bar-bar."

Empat tahun Samsul menggantungkan hidupnya pada pungutan di kawasan Kalijodo. Hingga suatu saat seorang kawannya memberi nasihat. "Lebih baik buka usaha makanan. Kamu kan punya kelebihan," Samsul menirukan temannya. Sebelum merantau ke Jakarta, Samsul memang membantu ayahnya berjualan coto Makassar di depan Rumah Sakit Dadi, Makassar. Dia sudah terlatih meramu bumbu coto Makassar sejak masih belia. "Sebelumnya, kakek saya juga jualan coto keliling."

Kawannya itu memberi modal Rp 200 ribu. Samsul lantas membuka warung coto di bagian dalam kawasan Kalijodo. "Warung bongkar-pasang," katanya. Sayang, warungnya tak bertahan lama. Hanya lima tahun usahanya sudah gulung tikar. "Tahu sendiri di sana tempatnya kayak begitu. Kadang ada yang tidak bayar." Kawasan Pesing menjadi tujuan selanjutnya. Ia mendirikan warung di depan sebuah tempat hiburan malam. Cuma nasib baik masih belum berpihak. Pelan-pelan tempat hiburan itu tutup. "Warung saya ikutan sepi."

Pada 2003 ia pindah ke kawasan Senen. Samsul mengontrak satu gerai di kawasan kuliner Senen. Kali ini dia memilih tempat yang tepat. Penggemar coto racikannya semakin banyak. Dalam waktu empat tahun ia mengambil alih hak pakai dua gerai lagi di sebelah warung miliknya. Coto Makassar racikannya pun menjadi langganan sejumlah pejabat. "Terakhir Pak Jusuf Kalla memesan 300 porsi," ujar pria berdarah Takalar, Sulawesi Selatan, yang kini berusia 49 tahun itu.

Jakarta memang hanya memberi tempat bagi mereka yang pantang menyerah. Bermodal ijazah SMA, Leles Sudarmanto, kini Ketua Paguyuban Masyarakat Wonogiri, meninggalkan kampungnya dan merantau ke Jakarta pada 1980. Ia mengikuti abangnya yang memiliki usaha instalasi listrik untuk gedung-gedung perkantoran. "Tak lama ikut kakak, saya masuk jadi pegawai honorer di bagian Litbang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan," katanya. Leles mengaku hanya dibayar Rp 15 ribu per bulan.

"Pokoknya saya ini tipe multiwirausahawan, ada peluang sedikit saya masuk."

Leles Sudarmanto, Ketua Paguyuban Masyarakat Wonogiri

Leles Sudarmanto, Ketua Paguyuban Masyarakat Wonogiri
Foto : Pasti Liberti mapappa

Penghasilannya yang terbatas membuatnya memutar otak mencari tambahan. Segala macam usaha dimasukinya, mulai menjual jaket dan batik sampai jadi calo surat-surat. "STNK kantor saya urus, paspor pejabat, sampai KTP," kata Leles. Ketika Universitas Terbuka dibuka di kawasan Rawamangun pada 1984, Leles ikut pindah. Tapi usaha sampingannya tak berhenti bahkan ketika ayah dua anak itu diangkat menjadi pegawai negeri sipil empat tahun kemudian.

Leles justru menaikkan level bisnisnya dengan mendirikan perusahaan. Tentunya dengan memakai nama istrinya. Perusahaannya masuk dalam bidang percetakan sampai distribusi alat tulis kantor dan komputer. Setelah usahanya mapan, kecintaannya pada musik membuatnya mendirikan studio rekaman. "Saya juga bikin klip-klip video untuk sejumlah lagu," ujarnya. Komedian Topan-Leysus dikontraknya untuk menjadi model klip video. "Topan bahkan tinggal di rumah saya dan istri saya jadi manajernya."

Melalui rumah produksi miliknya, Leles pun menggagas acara “Campur Sari” yang ditayangkan TVRI. "Pokoknya saya ini tipe multiwirausahawan, ada peluang sedikit saya masuk," ujarnya. Enam tahun lalu ia pun meluncurkan TV Streaming untuk pembelajaran jarak jauh di Universitas Terbuka. Namun, karena infrastruktur internet yang belum merata di Indonesia, gagasannya tersebut kandas. TV Streaming miliknya diubah menjadi TVLink. "Saya jadikan media advertorial untuk instansi pemerintahan."

Bakat bisnis pria kelahiran 57 tahun lalu itu menurun dari ayahnya. Leles bercerita ayahnya dulu merupakan pengusaha pembakaran batu gamping. Usaha ayahnya bangkrut ketika meletus peristiwa G-30-S. Mulai saat itu perekonomian keluarga Leles merosot tajam. Agar tak terlalu bergantung pada ayahnya, Leles mendirikan usahanya sendiri. "Saya buka usaha tambal ban sendiri dan jualan bensin waktu masih SMP," katanya.

Masuk sekolah teknik menengah, Leles menyewa sebuah kios di pasar untuk dijadikan studio foto. "Saya juga keliling di sekolah-sekolah dan perkantoran untuk bikin pasfoto," katanya. Leles akhirnya memutuskan mundur dari Universitas Terbuka setelah mengabdi 15 tahun. "Rektor waktu itu meminta saya mengurungkan niat." Setelah pensiun, Leles memutuskan terjun ke dunia politik. Dua kali dia mencoba peruntungannya dalam pemilu legislatif. Namun keduanya gagal.


Reporter/Redaktur: Pasti Liberti Mappapa/Melisa Mailoa
Redaktur: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE