INTERMESO

Menanam Pakan Favorit untuk Badak Jawa

Badak Jawa antara lain menyukai tanaman putat, bayur, bisoro, dan cijahe. Puluhan hektare lahan di Ujung Kulon kini ditanami tumbuh-tumbuhan pakan itu untuk menjaga keberlangsungan badak.

Foto: Tri Aljumanto/detikX

Selasa, 18 Juli 2017

Langkah kaki lima warga Kampung Cegog begitu ringan. Pikulan berisi logistik di pundak sepertinya tak membebani mereka. Begitu cepat mereka melewati jalan setapak menuju hutan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang menanjak, kadang melewati sungai dan batang-batang pohon besar yang berimpitan.

Sesekali golok yang terselip di pinggang mereka ayunkan untuk menebas ranting dan dahan pohon yang merintangi jalan. Kelimanya harus membawa beban berat itu sejauh 9 kilometer dari kampungnya menuju area eks persawahan Aermokla, yang kini masuk kawasan TNUK.

Mereka inilah yang kerap menjadi portir (pengangkut logistik) yang dipekerjakan oleh Balai TNUK dan World Wildlife Foundation (WWF) Indonesia. Tapi sejak awal 2017, tugas mereka bukan hanya menjadi portir. Kini mereka juga dilibatkan dalam menjaga kelestarian habitat badak Jawa bercula satu (Rhinoceros sondaicus).

Buktinya, selain membawa bahan logistik, mereka membawa ratusan bibit tanaman pakan badak dalam program Newtrees atau Pengayaan Pakan Badak yang dilakukan WWF Indonesia bermitra dengan Balai TNUK.

Kelimanya adalah Suharja, 67 tahun, Herman (30), Ajat (43), Fandi (25), dan Udin (65). Setiap kali ada kegiatan WWF Indonesia dan Balai TNUK, mereka sering dilibatkan. Rumah Suharja pun kerap dijadikan base camp para petugas dan staf kedua lembaga yang mengurusi Taman Nasional dan konservasi itu.

Suharja dkk pun terlibat dalam penanaman berbagai jenis bibit pohon pakan badak. Mereka setiap tiga minggu memonitor pertumbuhan pohon yang kini sudah setinggi 1 meter lebih itu. Area di sekitar tumbuhan baru yang ditanam dengan jarak 5 meter ini pun mereka bersihkan dari gulma atau ilalang yang mengganggu pertumbuhan.

Pentingnya Menjaga Asa Pakan Badak Jawa
Video: Tri Aljumanto


“Kita mah udah kenal sama bapak-bapak itu (dari Balai TNUK dan WWF). Kita sering disertakan di setiap kegiatan,” ungkap Suharja, warga Kampung Cegog, Desa Rancapinang, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten, kepada tim detikXpedition ketika menjelajahi kawasan TNUK pada 30 Mei hingga 2 Juni lalu.

Kampung Cegog begitu terisolasi. Bayangkan saja, infrastruktur jalan masuk menuju kampung ini seolah-olah tak terjamah pembangunan walaupun jaringan listrik sudah terpasang sejak 10 tahun lalu. Hampir 80 persen warga bekerja sebagai petani penggarap dan nelayan. Tak banyak pekerjaan lain yang tersedia. Sering terjadi konflik lahan antara TNUK dan warga.

Hal inilah yang menjadi alasan bagi WWF Indonesia sebagai mitra Balai TNUK untuk merangkul masyarakat Kampung Cegog, yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional. Kedua lembaga ini menilai sudah waktunya masyarakat dilibatkan dalam sejumlah program kerja dengan tujuan ikut melestarikan hutan lindung, termasuk menjaga habitat badak Jawa dan sejumlah flora dan fauna lainnya.

Salah satunya melalui program Newtrees Pakan Badak. Program ini menjadi pintu masuk agar warga kampung meningkatkan kesejahteraan hidupnya, sekaligus ikut melestarikan flora dan fauna yang terdapat di kawasan Taman Nasional.

“Kami sangat berterima kasih atas adanya program kerja sama dengan WWF karena banyak warga yang dipekerjakan di sini, Pak,” ucap Kato, 47 tahun, saat memantau perkembangan penanaman bibit pakan badak di lahan eks persawahan Kampung Aermokla di lahan TNUK.

Sudah tiga tahun, sejak 2014, Kato menjadi petugas Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA), yang didanai Yayasan Badak Indonesia (Yabi) dan Balai TNUK. Ia bersama warga lainnya, yakni Madsupi, Erli, dan Yanto, menjadi petugas JRSCA dengan honor Rp 1,1-1,4 juta per bulan. Dengan nilai honor itu, tentu ada peningkatan ekonomi dibanding hanya jadi petani, yang setiap bulan mendapatkan uang kurang-lebih Rp 500 ribu.

image for mobile / touch device
image 1 for background / image background


Tim berangkat menuju lokasi penanaman pohon.
Foto : Tri Aljumanto/detikX

Warga kampung yang terlibat dalam program WWF Ujung Kulon Project mendapatkan upah Rp 100 ribu per kegiatan. Kato dan warga Kampung Cegog lainnya berharap program ini terus berlanjut, khususnya program pengayaan pakan badak. “Pasti membutuhkan tenaga masyarakat, apalagi penanaman camera/video trap. Saya berharap yang dilibatkan orang dari Desa Rancapinang. Semakin banyak kemitraan, semakin enjoy kita bekerja,” Kato menambahkan.

Program pengayaan pakan badak dilakukan sejak 2011 di Semenanjung Ujung Kulon, yang memang menjadi habitat badak Jawa. Program ini dilakukan di dalam dan luar kawasan TNUK. Di luar kawasan lebih bersifat restorasi lahan, sedangkan di dalam kawasan lebih bersifat penyediaan pakan badak. Misalnya melakukan pemantauan dan monitoring tumbuhan langkap (Arenga obtusifolia), yaitu pohon besar dan tinggi yang menghalangi tumbuhan berbagai jenis pakan badak. Program ini meliputi kawasan seluas 7 hektare.

Sementara itu, program Newtrees di luar kawasan di antaranya dilakukan di Kecamatan Sumur, yaitu di Desa Kertamukti seluas 50 hektare dan Desa Kramat Jaya seluas 17 hektare. Ini merupakan upaya pengayaan tanaman produksi yang bermanfaat buat masyarakat sekitar TNUK. Program yang sama di Aermokla ini baru dilakukan pada awal 2017 dengan luas 15 hektare. Sekitar 1 hektare berada di luar kawasan TNUK, 14 hektare berada di dalam kawasan JRSCA.

Sejak April 2017, di kawasan ini sudah ditanam 12 jenis pohon pakan badak Jawa. Ada 3.118 batang pohon berbagai jenis yang ditanam, di antaranya pohon putat, bayur, cijahe, lampeni, cisegel, burungdahu, Cililin, dan salam. Sebenarnya di Aermokla sudah ada dua pakan badak, yaitu bisoro dan cijahe. Tapi, karena vegetasi tanaman itu berkurang, si Robot dan si Rawing, dua badak jantan dewasa, keluar dari pagar JRSCA mencari makanan lainnya.

“Ini yang kita tanam di Aermokla. Yang ditanam jenis pohon yang vegetasinya sangat kurang. Ini yang kita coba lengkapi walau belum lengkap betul. Ada 22 jenis pohon favorit makanan badak,” kata Community Organizer WWF Ujung Kulon Project Oji Paoji.

Ada 22 jenis tumbuhan yang menjadi favorit badak Jawa.
Foto : dok. WWF Indonesia

Pohon salam yang telah berumur sebulan lebih.
Foto : Tri Aljumanto/20detik

Sebanyak 12 keluarga warga Kampung Cegog dilibatkan dalam program ini. Bukan hanya itu, tim Masyarakat Mitra Polisi Hutan pun dilibatkan dalam program kemitraan WWF Indonesia, Balai TNUK, dan Yabi ini. Harapannya, selain meningkatkan kesejahteraan ekonomi, masyarakat diajak memiliki tanggung jawab menjaga kelestarian alam dan habitat badak di kawasan TNUK.

“Kita jaga badak bersama-sama. Kami pikir program ini akan berhasil. Kalau hanya WWF atau TNUK yang lakukan tanpa disinkronkan dengan warga, ini bohong besar! Perlu kolaborasi semua pihak,” ucap Kang Oji, sapaan akrab Oji Paoji.

Oji melanjutkan, setelah program Newtrees pakan badak ini berhasil, tahun depan akan dibuat Kelompok Pembibitan Newtrees. Artinya, masyarakat tak hanya dilibatkan dalam penanaman, tapi juga dalam pembibitan kayu endemik atau kayu produksi. Diharapkan, ketika Balai TNUK dan WWF melakukan program penanaman, bibit pohon bisa dibeli dari masyarakat.

“Ini salah satu income alternatif juga buat warga. Kita beli, ini coba kita rancang setelah ini,” tuturnya.

Kawasan Aermokla terdiri atas lima blok, yaitu Blok Lope, Blok Ariman, Blok Kalapa Dua, Blok Duriman, dan Blok Herman. Nama blok ini didasari nama warga, yang sebelumnya memiliki lahan garapan di Aermokla. Blok Lope sebelumnya digarap 12 orang. Yang terbanyak adalah Blok Ariman, yang dulu digarap 20 warga. Bukan hanya badak Jawa, kawasan ini juga dihuni habitat banteng dan babi hutan.

Tananam makanan badak terus dipantau pertumbuhanya dan datanya langsung diupload ke website WWF Indonesia dan TNUK .
Foto : Tri Aljumanto/detikX

Kepala Resor TNUK Desa Rancapinang, Tugino, menjelaskan kawasan Aermokla dulu merupakan area sawah huma. Namun sejak awal 1980-an, sejak masuk kawasan TNUK, kawasan ini berubah. Pada 2017, pemerintah melakukan pengukuran untuk surat izin menggarap perorangan buat lahan garapan yang berada lahan TNUK dengan Desa Rancapinang.

Pengukuran ini dilakukan agar setiap penggarap memiliki kejelasan mendapat berapa luas lahan garapannya. Di Desa Rancapinang sendiri ada sekitar 180 hektare kebun dan 154 hektare sawah. Penggarap terbanyak berasal dari Desa Rancapinang, tapi ada dari luar desa, seperti Desa Cibadak dan sekitarnya.

“Kalau yang sudah ada tanaman, silakan diurus saja, tapi nggak boleh meremajakan atau menanam kembali. Silakan ambil buahnya, silakan digarap, tapi tak boleh menambah luasnya,” katanya.


Reporter: Ibad Durohman, Tri Aljumanto, M. Rizal
Redaktur: M. Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE