INTERMESO

SAMBUT HARI BHAYANGKARA

Karena Hartini, Klenik, atau Komunis

“Pak Kanto mengajarkan spiritualisme supaya polisi jujur dan tak melulu memikirkan masalah duniawi.”

Ilustrasi: Edi Wahyono

Sabtu, 23 Juni 2017

Bagi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, kejadian yang menimpanya menjelang akhir 1959 bukan hanya cobaan bagi dirinya, tapi juga untuk Kepolisian Negara Indonesia, yang dia pimpin selama 14 tahun. Hingga puluhan tahun kemudian, Soekanto masih menyimpan naskah pidato dan kliping-kliping koran yang memberitakan masa-masa akhir jabatannya sebagai Kepala Kepolisian Negara Indonesia.

Semua dokumen itu dia simpan dalam map hijau dan dia beri judul “Cobaan Polisi Negara 1959”. Kliping-kliping koran itu menjadi saksi bisu atas akhir “ironis” pengabdian Soekanto di lembaga Kepolisian Negara Indonesia. Pada 15 Desember 1959 itu, Jenderal Soekanto, Kepala Polri pertama, termuda, dan terlama, dicopot dari jabatannya dengan tidak hormat oleh Presiden Sukarno.

Ada banyak gosip sekitar pencopotan Soekanto. Ada kabar, menurut cerita Mayor Jenderal (Purnawirawan) Toti Soebianto, mantan ajudan Soekanto, dikutip dalam buku Sosok Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo: Melalui Spiritual Membangun Polisi yang Profesional, banyak perwira polisi yang tak suka terhadap kegiatan spiritual dan kejawen Soekanto, yang dianggap berbau klenik. Ada pula yang menduga Soekanto tak disukai lantaran tergabung dalam gerakan Freemason.

Soekanto memang sudah lama menekuni kegiatan spiritual, dari kejawen hingga yoga dari India. Bosnya itu, kata Toti, ingin mengembangkan profesionalisme kepolisian, salah satunya berbasis spiritualisme. Soekanto sangat percaya bahwa kegiatan spiritualisme seperti yang dia tekuni bisa menjadi sarana untuk menjaga mental dan moral polisi.

“Beliau mengajarkan olah batin kepada polisi itu supaya mereka bisa menahan godaan. Pak Kanto mengajarkan spiritualisme supaya polisi jujur dan tak melulu memikirkan masalah duniawi. Jadi arahnya bukan pada masalah kepercayaan,” kata Ambar Wulan, peneliti di Pusat Sejarah TNI dan penulis buku Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo: Bapak Kepolisian Negara RI, kepada detikX. Pada akhirnya hidup Soekanto jadi bukti bahwa dia hidup sangat sederhana, tak korupsi, dan jujur meski 14 tahun berada di pucuk pimpinan kepolisian.

Soekanto memeriksa barak siswa Brigade Mobil di Megamendung, Bogor, Jawa Barat, 1 September 1951
Foto: dok. repro buku Direktorat Sejarah Polri

“Pak Soekanto pernah berpesan bahwa pusaka-pusaka yang kita punya tak boleh menurunkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.”

Toti Soebianto, mantan ajudan Jenderal Soekanto Tjokrodiatmodjo

Toti menuturkan pernah dikirim ke luar negeri guna mempelajari ajaran spiritual untuk dikembangkan di Indonesia. Tapi Soekanto juga seorang muslim yang lumayan taat. “Pak Soekanto pernah berpesan bahwa pusaka-pusaka yang kita punya tak boleh menurunkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” kata Toti. Apa benar Soekanto dicopot karena dianggap mempercayai klenik dan terkait Freemason?

Ada versi lain yang mengatakan Presiden Sukarno tak suka kepada Soekanto lantaran istrinya, Hadidjah Lena Mokoginta, ikut turun ke jalan memprotes pernikahan Bung Karno dengan Siti Suhartini atau lebih dikenal sebagai Hartini, janda asal Salatiga, Jawa Tengah. Presiden Sukarno dan Hartini menikah di Istana Cipanas, Cianjur, pada 15 Januari 1953.

Dalam memoarnya, Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Moehammad Jasin, menulis, bukan soal klenik, bukan pula urusan dengan Hartini yang menjatuhkan Soekanto. Menjelang pencopotan Soekanto, Jasin merupakan Pembantu Utama I Kepala Kepolisian Negara Bidang Operasi. Menurut Jasin, orang-orang Partai Komunis Indonesia-lah yang bermain di balik layar untuk menggusur Soekanto dan menggantinya dengan jenderal polisi yang bisa mereka atur.

Tokoh utama di balik pendongkelan Soekanto ini, Jasin menulis, adalah Sutarto. Manuver Sutarto dimulai dengan menguasai Persatuan Pegawai Polisi (PPP). Dengan mencatut nama Bung Karno, Sutarto bisa terpilih menjadi Ketua Umum PPP. Begitu bisa menguasai PPP, Sutarto mendesak Kepala Kepolisian Negara Soekanto menggelar konferensi kepala kepolisian daerah seluruh Indonesia.

Upaya Sutarto menggiring mosi tak percaya terhadap Soekanto dalam konferensi itu gagal total. “Dengan dukungan kader-kader Brigade Mobil yang ada dalam konferensi itu, saya menolak mosi Sutarto dan menyatakan tetap percaya kepada Soekanto,” kata Jasin. Jasin bisa dibilang merupakan pendiri Korps Brimob. Mosi Sutarto bisa dijegal Jasin dan kawan-kawan, tapi bukan berarti posisi Soekanto sudah aman.

Satuan bermotor Polri pada 1 Juli 1947
Foto: dok. repro buku Direktorat Sejarah Polri

Buah dari konferensi itu adalah Manifes Kepolisian, rumusan kepolisian untuk melaksanakan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Untuk menjabarkan manifes itu, dibentuklah Tim Perencana Pelaksana Manifes Kepolisian alias Tim Sepuluh, dengan anggota antara lain Soekarno Djojonegoro dari Kepolisian Jawa Timur dan Jen Mohammad Soerjopranoto, Kepala Kepolisian Komisariat Jakarta. Soekarno kabarnya merupakan keponakan Sutarto.

Tim Sepuluh merekomendasikan tiga nama untuk menjadi pejabat teras Kepolisian Negara, yakni Soekarno Djojonegoro, Jen Mohammad, dan Soelaiman Effendi. Sedangkan Soekanto mengantongi tiga nama, yakni Jasin, Saleh Sastranegara, dan Soekarno Djojonegoro. Soekanto menolak rekomendasi Tim Sepuluh. Silang selisih antara Soekanto dan Tim Sepuluh inilah yang akhirnya menyeret Presiden Sukarno dan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Jenderal A.H. Nasution.

Beberapa perwira polisi menghadap Nasution dan mendesak supaya Soekanto diganti. Nasution menyarankan supaya urusan ini dituntaskan di lingkup internal Kepolisian. Mendengar kabar itu, Soekanto marah. Dia siap menjatuhkan sanksi kepada anak buahnya yang lancang dan melanggar disiplin komando Kepolisian. Alih-alih mundur, tujuh perwira itu malah pergi ke Istana Negara, menemui Presiden Sukarno. Menurut Soetjipto Danoekoesoemo, mereka tak punya pilihan lain karena Soekanto tak lagi bisa diajak bicara.

Soekanto memanggil tujuh anak buahnya itu untuk menghadap, tapi tak ada satu pun yang datang. Pada 13 Desember 1959, Soekanto diminta menghadap Presiden Sukarno di Istana Bogor. Kepada Soekanto, Presiden menjelaskan soal kedatangan tujuh perwira polisi itu. Bung Karno juga melarang Soekanto menjatuhkan sanksi kepada mereka.

Tapi Soekanto tetap pada pendiriannya. “Prinsipnya sangat keras…. Nggak boleh bawahan melompati atasannya. Kalau tak ditindak, justru akan merusak lembaga Kepolisian,” kata Awaluddin Djamin, mantan Sekretaris Soekanto, kepada detikX. Sore hari itu pula, sepulang dari Istana Bogor, Soekanto memerintahkan Soebroto Brotodiredjo, Sekretaris Kepolisian, mengeluarkan surat skorsing kepada Soetjipto dan teman-temannya.

Satuan polisi lapangan  di sekitar Malang, Jawa Timur, pertengahan 1930
Foto: dok. repro buku Direktorat Sejarah Polri

Keesokan harinya, Soekanto berpidato dan disiarkan oleh RRI. “Ada sekelompok kecil pejabat Kepolisian yang mengingkari tekad dan kesatuan paham serta bermaksud merusak disiplin dan hierarki secara tidak jujur dan rendah dengan menikam Kepolisian dari belakang.”

Istana Negara langsung bereaksi. Hanya sehari setelah pidato Soekanto, Mayor Sabur, ajudan Presiden Sukarno, pagi-pagi datang ke kantor Soekanto dengan membawa sepucuk surat. Surat itu adalah “vonis” hukuman bagi Jenderal Soekanto. Bung Karno menilai jenderal kelahiran Bogor itu telah melanggar perintah Presiden selaku Panglima Tertinggi. Soekanto dilorot dari jabatannya dan digantikan oleh Soekarno Djojonegoro.

Walaupun merasa tak bersalah, Soekanto tidak melawan. Dia hanya bertanya-tanya. “Apakah Presiden tidak membuat kekeliruan besar?” Soekanto segera mengemasi barang-barangnya. Seminggu kemudian, dia mengangkut semua barang miliknya dari rumah dinas di Jalan Diponegoro, Menteng, dan pindah ke rumah sewaan di Jalan Pegangsaan Timur. Jasin, yang diminta menjadi wakil Soekarno, menolak jabatan itu. Dia tak mau mendampingi Soekarno, yang dianggapnya ada di bawah bayang-bayang PKI.


Reporter: Melisa Mailoa, Pasti Liberti
Redaktur: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE