INTERMESO

Saat Nyawa
Dibayar Nyawa

“Dia bodoh. Itulah mengapa dia harus membayar dengan nyawanya.”

Ilustrasi: dok. Aftermath

Jumat, 5 Mei 2017

Yuri Kaloyev sudah lama tahu ada yang salah dengan saudaranya, Vitaly Kaloyev. Sebelum 1 Juli 2002, Vitaly merupakan laki-laki yang berbahagia. Dia punya istri dan dua anak yang masih kecil dan lucu. Merekalah hidup Vitaly.

Tapi, sejak Senin pada awal Juli itu, hidup Vitaly jadi jungkir balik. Berubah jadi kelam. Dia berhenti mandi dan mencukur jenggotnya. Dia juga sangat jarang berganti baju. Vitaly juga tak punya gairah lagi untuk bekerja. “Bahkan kalian bisa menemui Vitaly pukul 2 dini hari menangis di kuburan,” kata Yuri, kepada Guardian, satu setengah tahun setelah Senin kelabu itu.

Makam di Kota Vladikavkaz, ibu kota Negara Bagian Ossetia Utara-Alania, Rusia, itu adalah kuburan istrinya, Svetlana Kaloyeva, serta dua anaknya, Konstantin Kaloyev dan Diana Kaloyeva. Saat meninggal, Konstantin baru berumur 10 tahun, sementara adiknya baru 4 tahun. Mereka menjadi korban tabrakan maut di udara antara pesawat Tupolev Tu-154M milik Bashkirian Airlines dan Boeing 757 milik DHL International.

Ketika pesawat Bashkirian dan pesawat DHL bertabrakan di atas Kota Uberlingen, Jerman, Vitaly sedang menunggu kedatangan keluarganya dengan penuh harap di Bandara Internasional Barcelona-El Prat, Spanyol. Sudah dua tahun Vitaly merantau ke Spanyol. Mereka sekeluarga berencana menghabiskan waktu untuk berlibur bersama.

Sebagai seorang ayah, aku merasakan kehilangan yang sangat menyakitkan. Tak sedikit nyawa anak-anak yang hilang.”

Peter Nielsen, petugas menara kontrol Zurich

Bangkai pesawat setelah tabrakan pesawat Bashkirian Airlines dengan pesawat kargo DHL di atas Kota Uberlingen, Jerman, pada 1 Juli 2002.
Foto: dok. Getty Images

Begitu dia menerima kabar buruk itu, Vitaly langsung terbang ke Jerman dengan pesawat pertama. Dia merupakan keluarga korban yang pertama tiba di Uberlingen. Vitaly menemukan tubuh putrinya masih utuh tergantung di pohon. “Dia dibawa turun ke bumi oleh malaikat,” kata Vitaly. Mayat putranya ditemukan di depan halte bus. Baru beberapa hari kemudian, jenazah Svetlana ditemukan di tengah-tengah ladang jagung dalam kondisi mengenaskan.

“Aku tak sanggup hidup lagi,” Vitaly, saat itu berusia 48 tahun, meratap, dikutip Washington Post. Hidupnya seolah-olah telah tamat pada hari itu. Khazbi Kaloyev, saudara Vitaly lainnya, menyaksikan bagaimana hidup Vitaly seketika menciut. Saudaranya itu bisa dibilang hanya hidup untuk dua hal: mengenang anak-istrinya dan mencari tahu siapa yang salah dalam tabrakan maut di udara itu.

Rumahnya di Vladikavkaz dijadikan Vitaly sebagai “rumah pemujaan” istri dan kedua anaknya. Vitaly menumpuk semua barang milik Svetlana, Konstantin, dan Diana di atas kasur. “Dia akan tumbuh menjadi orang yang baik, terpelajar, dan bermanfaat bagi masyarakat,” Vitaly menulis kenang-kenangan untuk Konstantin. 

Api yang menghidupi Vitaly seolah telah padam, tapi sebenarnya dia masih menyimpan “bara” di kepalanya. Setiap kali bertemu dengan bos-bos Skyguide, perusahaan yang mengoperasikan menara pengatur lalu lintas udara di Zurich, Swiss, Vitaly selalu mencecarnya dengan pertanyaan soal apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu.

Vitaly Kaloyev
Foto: dok. Justin Jin

Kendati berada di wilayah Jerman, kendali lalu lintas udara di Uberlingen ada di bawah koordinasi menara kontrol Zurich. Pada malam itu, hanya ada satu petugas jaga di menara kontrol Zurich, yakni Peter Nielsen. Seorang temannya tidur di ruang sebelah. Peter sendirian mengatur lalu lintas penerbangan.

Dia lumayan sibuk. Selain pesawat Bashkirian Airlines yang dikemudikan Kapten Alexander Gross dan pesawat kargo DHL International yang tengah terbang menuju Brussels, Belgia, ada beberapa pesawat lain yang tengah melintas di wilayah udara Zurich, di antaranya penerbangan THA933 Thai Airways, NMB286 NamibAir, dan pesawat milik MonarchAir. 

Lantaran ada penundaan dalam pengiriman data gara-gara ada perawatan berkala sistem peringatan tabrakan di darat, Peter tak sadar bahwa jarak antara pesawat Boeing 757 milik DHL terbang kelewat dekat dengan posisi pesawat Bashkirian Airlines. Kedua pesawat sama-sama berada pada ketinggian 36 ribu kaki. Ketika dia sadar, jarak antara kedua pesawat tinggal kurang dari satu menit. Tabrakan tak terhindarkan.

* * *



Bangkai pesawat setelah terjadi tabrakan antara pesawat Bashkirian Airlines dengan pesawat kargo DHL di atas kota Uberlingen, Jerman, pada 1 Juli 2002.
Foto: dok. Getty Images

Vitaly, Khazbi, dan saudara-saudaranya tak pernah berhenti bertanya-tanya, bagaimana dua pesawat bisa bertabrakan di udara. Siapa yang punya salah? Mereka yakin petugas di menara kontrol Zurich-lah yang punya andil terbesar dalam kecelakaan itu. “Kami selalu membicarakan orang itu sepanjang waktu,” kata Khazbi.

Hasil penelusuran Badan Investigasi Kecelakaan Penerbangan Jerman (Bundesstelle für Flugunfalluntersuchung/BFU) menyebut ada sejumlah faktor yang menyebabkan dua pesawat itu bertabrakan. Selain faktor peralatan, ada andil kesalahan manusia. Petugas menara Zurich—BFU tak menuliskan nama Peter Nielsen dalam laporannya—terlambat memberi peringatan. Dan ketika dia memberikan rekomendasi manuver, perintah itu berlawanan dengan rekomendasi sistem pencegah tabrakan (TCAS) dalam kokpit.

Semula Skyguide berkelit dari tudingan sebagai pihak yang punya salah dalam kecelakaan itu. “Masalahnya adalah pilot Rusia itu tak segera merespons perintah menara kontrol,” kata Anton Maag, Kepala Otoritas Menara Kontrol Zurich, kepada CNN. Nikolai Ogodai, bos Bashkirian Airlines, balas menunjuk hidung Skyguide. “Kecelakaan itu disebabkan kesalahan petugas menara kontrol yang mengarahkan pesawat ke arah yang sama,” kata Nikolai.

Skyguide terus berkelit dari tanggung jawab. Namun, sebagai satu-satunya pengatur lalu lintas penerbangan malam itu, Peter menanggung beban mental sangat berat setelah kecelakaan di Uberlingen. Selama berbulan-bulan dia menjalani perawatan mental.

Menara kontrol bandar udara
Foto: dok. Thinkstock

“Sebagai petugas menara kontrol, sudah tugasku mencegah kecelakaan seperti itu,” kata Peter kepada wartawan majalah di Jerman. Tapi petaka itu sudah terjadi. “Sebagai seorang ayah, aku merasakan kehilangan yang sangat menyakitkan. Tak sedikit nyawa anak-anak yang hilang dan harapan masa depan yang terhapus.”

Selama berbulan-bulan, Vitaly menunggu penjelasan resmi Skyguide dan permintaan maaf mereka. Dia berharap, ada orang dari Skyguide yang datang menemuinya, menatap matanya, dan menyampaikan penyesalan. Tapi permintaan maaf itu tak kunjung terucap. Dia hanya diminta sabar menunggu dan menunggu. Kesabaran Vitaly makin tipis. 

Lantaran bos Skyguide menolak mengungkap identitas dan alamat petugas menara kontrol, Vitaly menyewa jasa detektif Rusia untuk menelusuri jejak Peter Nielsen. Bukan urusan sulit mencari Nielsen. Dia tinggal di Kloten, hanya berjarak 10 kilometer dari Kota Zurich, bersama istri dan ketiga anaknya.

Satu setengah tahun setelah kecelakaan di Uberlingen, pada akhir Februari 2004 Vitaly terbang dari Moskow ke Zurich. Di sudah memesan kamar di Hotel Welcome-Inn di Kloten. “Dia sangat pendiam. Hampir sepanjang hari hanya tinggal dalam kamar…. Dia tampak seperti turis kebanyakan,” kata karyawan Welcome-Inn. Vitaly sempat tinggal dua hari di hotel tersebut.

Vitaly tak punya niat berwisata di Kloten. Dia hanya ingin bertemu muka dengan Peter Nielsen. Kali pertama pergi, dia hanya berhenti di halte bus tak jauh dari rumah Peter dan balik lagi ke hotel. Baru hari berikutnya dia bertandang ke rumah Peter dan mengetuk pintu. Di tangan Vitaly ada foto anak-anaknya dan istrinya. Saat Peter membuka pintu, Vitaly masih ingat kalimat pertama yang dia ucapkan. “Hai, aku dari Rusia,” Vitaly menuturkan kepada Los Angeles Times.

Serpihan pesawat dalam tabrakan pesawat Bashkirian Airlines dengan pesawat kargo DHL di langit Kota Uberlingen, Jerman, Juli 2002.
Foto: dok. Getty Images

Vitaly berharap Peter akan menyambutnya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Tapi Peter malah menyuruhnya pergi. Dengan bahasa Inggris terpatah-patah, Vitaly berkeras supaya Peter melihat foto keluarganya. Peter tak mau menerima dan mendorong Vitaly. Foto-foto itu berjatuhan dan Vitaly gelap mata.

Kepada polisi dan jaksa, Vitaly mengaku tak ingat lagi apa yang terjadi kemudian. Dari dalam rumah, istri Peter mendengar teriakan suaminya dan bergegas keluar. Dia melihat suaminya sudah terkapar di depan pintu dan bersimbah darah. Majelis hakim Pengadilan Zurich menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara kepada Vitaly atas pembunuhan Peter Nielsen.

Vitaly mengaku tak punya rencana membunuh Peter. Dia hanya ingin mendengar kata maaf dari mulut Peter. “Dia bodoh. Itulah mengapa dia harus membayar dengan nyawanya…. Seandainya dia cukup pintar dan mengajakku masuk ke rumah, pembicaraan akan berjalan lebih lunak dan tragedi itu tak akan terjadi,” kata Vitaly beberapa tahun kemudian. Dia tak menyesali perbuatannya. 


Redaktur/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.





SHARE