INTERMESO
“Saya menemukan gimbot jadul dan tulisan di stiker alamatnya dari Irian Jaya…. Gila, ternyata gimbot juga ada yang dari Irian Jaya.”
Ilustrasi: Luthfy Syahban
Sewaktu Abby Bona masih kecil, Nintendo Game Boy merupakan satu barang mewah. Walaupun Abby terus merengek, ibunya tetap tak kunjung mau keluar duit untuk konsol game buatan perusahaan Jepang itu.
Apa boleh buat, supaya bisa mencicipi Game Boy, Abby harus rela nebeng bermain di Game Boy milik seorang teman sekolah. Namanya nebeng, kapan dapat giliran bermain tentu bergantung pada kemurahan hati empunya konsol. Biasanya Abby baru kebagian bermain ketika temannya itu telah capek bermain. “Tahu-tahu sudah magrib dan disuruh segera pulang,” dia menuturkan pekan lalu.
Nintendo pertama kali memperkenalkan konsol game Game Boy pada 1989. Konsol game ini sukses besar. Hingga digantikan oleh Nintendo DS, Game Boy telah terjual lebih dari 200 juta unit di seluruh dunia. Nintendo sudah bertahun-tahun lalu menghentikan produksi Game Boy. Tapi tak berarti para penggemarnya berhenti mencari Game Boy.
Facebook-lah yang mempertemukan kembali Abby dengan konsol-konsol game dari masa kecilnya. Delapan tahun lalu, ketika pengguna layanan jejaring sosial itu masih sedikit, Abby bertemu dengan Emir Dhani Babeheer. Emir juga memiliki ketertarikan terhadap game dan konsol jadul. Bermula dari iseng-iseng diskusi soal game masa lalu, Emir dan Abby membentuk komunitas pencinta konsol game klasik.
Game Boy
Foto: Wikipedia
“Pertama dibentuk namanya Penggemar Gembot Jadul. Tahun 2012, kami ubah menjadi Organisasi Retro Games Indonesia atau biasa disingkat ORGI,” kata Abby, kini 29 tahun. Syarat masuk kategori retro alias jadul ini sederhana saja, yakni setidaknya waktu rilis game atau konsol tak lebih dari tahun 2002. “Komunitas ini kami bentuk bukan cuma ajang nostalgia saja, tapi juga sebagai wadah diskusi dan jual-beli.”
Bermula dari hanya diskusi kecil-kecilan, jumlah anggota komunitas ini menggelembung hingga lebih dari 5.000 orang. Mereka tak hanya tersebar di seluruh Indonesia, bahkan ada pula anggota yang berasal dari negara lain, seperti Malaysia, Italia, dan Spanyol. Game jadul, seperti Mario Bros dan Tetris, juga konsol-konsol “antik”, seperti Atari Lynx dan Sega Game Gear-lah yang mempersatukan mereka: kolektor, orang-orang yang hanya ingin mengenang hobi masa kecil, dan pedagang.
Kalau sudah “kalap”, kolektor-kolektor fanatik game dan konsol jadul tak segan merogoh dompet hingga puluhan, bahkan ratusan juta, rupiah hanya untuk menebus konsol dan game. Ada di mana pun barang itu, di Papua atau di satu negara di Eropa, tak jadi soal. Menurut Adnan Ilham Mauludi, salah satu anggota ORGI, kadang persaingan dan adu gengsi antarkolektor tak dapat dihindari.
“Kayak game Chrono Trigger, awalnya ada yang posting foto dusnya doang untuk difoto. Tapi nggak lama kemudian ada kolektor lain malah kirim foto kaset lengkap dengan bungkusnya,” Adnan, 35 tahun, menuturkan. Saling pamer koleksi seperti itu bisa bikin panas hati. “Kejadian seperti itu memancing kolektor untuk mengoleksi lebih banyak lagi.” Dan tentu saja, makin eksklusif satu barang, makin tinggi gengsinya.
* * *
Game Boy Pocket
Foto-foto: dok. ORGI
Super Nintendo
Game Watch
“Kalau sudah ketemu barang yang dicari, kalau nggak dibeli nanggung juga. Kesempatan nggak datang dua kali.”
Ramadani Mulyono, anggota ORGISementara Abby memilih mengoleksi Nintendo Game Boy, Ramadani Mulyono, 32 tahun, menyimpan banyak kenangan dengan Nintendo NES. Generasi pertama NES diperkenalkan Nintendo pada Juli 1983 di Jepang. Saat itu namanya masih Famicom, singkatan dari Family Computer. Dua belas tahun kemudian, Nintendo menghentikan produksi Nintendo NES. IGN dan PCMagazine menempatkan Nintendo NES sebagai salah satu konsol game terbaik sepanjang masa.
Ayah Ramadani membelikan konsol NES lantaran dia saat masih kecil agak susah bergaul. Berkat konsol NES, Dani mendapatkan banyak teman. “Dari game itu gua malah dapat teman. Kan nggak perlu omong. Gua lihatin saja dia main,” kata Dani. Hingga saat ini, dia masih menjalin pertemanan dengan kawan-kawan main game itu.
Selain bernostalgia, Dani menganggap aktivitas mengoleksi konsol jadul sebagai investasi. Barang yang kini dimilikinya kadang bisa dihargai berkali lipat dari harga semula. Bahkan Dani, yang suka berburu hingga ke luar negeri, seperti Inggris, Amerika, Jerman, dan Jepang, kerap menemukan harga jual tak masuk akal. Bahkan ada sebuah kaset edisi terbatas yang dijual di atas seratus juta rupiah.
Namun bukan berarti game dan konsol jadul ini selalu dibanderol selangit. “Kayak Nintendo NES Mario Bros edisi pertama hanya dijual Rp 100 ribu sudah dapat lengkap, konsol dan kaset. Tapi, kalau untuk kelas kolektor, harga barang yang dusnya masih bagus dan lengkap dengan buku manualnya memang bisa mahal,” Ramadani menuturkan.
Atari
Foto: Wikipedia
Sebagai kolektor Game Boy, Abby punya cara sendiri untuk mendapatkan konsol dengan harga miring. Tak perlu membeli barang di luar negeri. Menurutnya, Jakarta masih menyimpan banyak “harta karun”. Biasanya Abby mengincar toko game yang sudah bangkrut namun masih menyimpan stok konsol game di gudangnya. Misalnya toko-toko di Pasar Glodok di Jakarta Barat. Kalau sedang mujur, dia kadang menemukan Game Boy yang belum laku terjual dan bisa ditebusnya dengan harga murah. Biasanya barang di gudang toko ini kondisinya masih bagus, lengkap dengan buku manualnya.
Abby punya pengalaman unik saat membeli gimbot Casio keluaran tahun 1990-an di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. “Saya menemukan gimbot jadul dan tulisan di stiker alamatnya dari Irian Jaya…. Gila, ternyata gimbot juga ada yang dari Irian Jaya,” Abby terheran-heran. “Saya sampai heran dia dapatnya dari mana. Ternyata gimbot nggak cuma ada di kota saja, ya.”
Lantaran kadang “gelap mata”, Ramadani sampai kewalahan mengurus barang koleksinya yang terus bertambah. Sekarang dia punya lebih dari 50 konsol dan handheld lawas. Dulu, saat memutuskan membeli, kadang dia tak sempat mikir lagi soal di mana mesti menyimpan barang koleksinya. “Kalau sudah ketemu barang yang dicari, kalau nggak dibeli nanggung juga. Kesempatan nggak datang dua kali,” Ramadani berkilah. Dia pun rela merogoh dana hingga puluhan juta rupiah demi menebus satu game lawas.
Padahal, menurut Hermanto Tan, anggota ORGI sekaligus penjual game lawas, mengoleksi game semacam ini juga butuh komitmen untuk merawatnya. Permainan jadul tidak seperti barang antik yang ujung-ujungnya cuma jadi pajangan di lemari. Konsol semacam ini justru harus rutin dimainkan agar tidak cepat rusak. ORGI punya beberapa kenalan “dokter spesialis” yang jago menangani konsol dan kaset yang “sakit”, misalnya layar yang buram, perangkat mati, dan sebagainya.
Nintendo
Foto: Wikipedia
Supaya urusan di rumah lancar, Hermanto menyarankan, hobi ini mesti didiskusikan dengan keluarga. Sehingga tak perlu main petak umpet dengan istri atau orang tua. Dari pengalaman Hermanto berjualan, beberapa pelanggannya sengaja menyembunyikan koleksi konsol game dari orang di rumah. Misalnya dengan menitipkan mesin dingdong di rumah teman atau menyimpannya di kantor.
Jangan sampai ada kejadian seperti yang menimpa seorang kolektor game jadul asal Jepang belum lama ini. Semua koleksinya, 1.000 game Famicom, hilang dalam sekejap lantaran dijual sang istri. Lebih menyedihkan lagi, istrinya menjual game langka itu dengan harga murah. “Karena istrinya nggak tahu…. Jadi nyesek banget, kan,” kata Abby.
Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.