INTERMESO
“Kata Liem, dia mencari seorang pribumi yang cocok untuk bergabung dengan bisnisnya, dan Pak Harto mengusulkan saya."
Ilustrasi: Edi Wahyono
Sudwikatmono barangkali adalah kisah nyata seorang “Raja Midas”. Dalam mitologi Yunani, konon, apa pun yang disentuh oleh Raja Midas dari Phrygia berubah jadi emas.
Dwi, demikian orang-orang memanggil Sudwikatmono, lahir dan besar di Wuryantoro, satu desa di Kabupaten Wonogiri, beberapa puluh kilometer dari Kota Solo, Jawa Tengah. Ayahnya, Prawirowihardjo, seorang pegawai kecil di Kantor Agraria. Ibunya, Sanikem, adalah adik Kertosudiro, ayah Presiden Soeharto.
Soeharto lama tinggal di rumah paman dan bibinya di Wuryantoro itu. Namun, lantaran beda umur lumayan jauh dengan Dwi, Soeharto lebih akrab dengan Sulardi, kakak Dwi. Soeharto dan Sulardi, seperti anak Prawirowihardjo lainnya, sama-sama jadi tentara. Hanya Dwi yang tak diizinkan jadi prajurit. Pada akhir 1950-an, dia diterima menjadi pegawai di PN Jaya Bhakti, perusahaan dagang milik negara di Jakarta.
Dwi tak punya ambisi tinggi. Dia dan istrinya, Sri Sulastri, sudah puas dengan gaji dan sedikit tambahan pendapatan dari berjualan karung goni bekas. Sebagai kepala seksi di Jaya Bhakti, Dwi membawa pulang gaji sekitar Rp 400 per bulan. “Sewa rumah saya di Jalan Lenteng, Menteng, hanya Rp 150 per bulan,” kata Dwi kepada Richard Borsuk, penulis buku Liem Sioe Liong dan Salim Group, Pilar Bisnis Soeharto, beberapa tahun lalu.
Jalan hidup siapa bisa menerka. Saat Dwi merintis karier di Jaya Bhakti, posisi kakak sepupunya, Soeharto, makin kuat. Soeharto, yang sudah berpangkat mayor jenderal, menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Pembunuhan para jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965 mengubah jalan hidup Soeharto, juga berimbas pada nasib Sudwikatmono.
Pada 12 Maret 1967, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menunjuk Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI. Suatu sore, tak berapa lama setelah Sidang MPRS, Soeharto meminta Dwi datang ke rumahnya. “Dia mengatakan sedang menunggu tamu pada pukul 5 sore dan meminta saya menemaninya. Saya mencatat nama tamu itu: Liem Sioe Liong,” Dwi mengenang pertemuan “bersejarah” itu.
Liem bertandang dan bicara dengan Soeharto hampir satu jam. Sebelum pulang, Liem memberi Dwi kartu nama dan minta dia datang ke kantornya, Bank Central Asia (BCA), keesokan harinya. Di kantor BCA di daerah Asemka, Jakarta Pusat, Dwi bertemu dengan Liem dan beberapa direktur BCA, antara lain Hasan Din, ayah mertua Presiden Sukarno, dan salah satu direktur BCA.
“Kata Liem, dia mencari seorang pribumi yang cocok bergabung dengan bisnisnya dan Pak Harto mengusulkan saya. Saya ditawari gaji bulanan Rp 1 juta dan kepemilikan saham,” kata Sudwikatmono. Dwi hanya melongo saat disodori “proposal” Om Liem, begitu teman-temannya menyapa Liem Sioe Liong. Bagaimana di tidak bengong?
Angka yang disodorkan Om Liem saat itu lebih dari 2.000 kali lipat dari gajinya sebagai kepala seksi di Jaya Bhakti. Melihat Dwi hanya diam seperti tak paham, pengacara Liem menyangka angka yang disodorkan kurang besar. Sampai malam Dwi tak bisa memejamkan mata memikirkan tawaran “ajaib” Liem itu.
Itulah awal kongsi bisnis Liem, Sudwikatmono, Djuhar Sutanto, dan Ibrahim Risjad, yang “dicomblangi” oleh Soeharto. Kongsi “Empat Serangkai” ini di kemudian hari tumbuh jadi gurita bisnis yang luar biasa besar. Kekuasaan Presiden Soeharto melicinkan jalan bagi semua bisnis mereka. Ada ratusan perusahaan yang ada di bawah payung usaha Empat Serangkai ini.
Mereka berempat, kata Liem, ibarat kursi dengan empat kaki, ada dalam keseimbangan sempurna. “Om Liem bertindak sebagai ketua yang menjadi payung bagi kami semua…. Dia adalah pemimpin semua rapat,” Ibrahim Risjad menulis dalam buku Sudwikatmono: Sebuah Perjalanan di Antara Sahabat. Liem pulalah yang pada mulanya menyediakan sebagian besar modal.
Itu hal luar biasa mengingat dia merupakan anggota keluarga Presiden Soeharto.”
Ibrahim Risjad, anggota Empat SerangkaiSudwikatmono dan Ibrahim mulanya bukan pengusaha. Mereka hanya karyawan sebuah perusahaan. Dwi mengaku bergabung dengan kongsi Empat Serangkai itu tanpa ikut setor modal sama sekali. “Saya tidak punya uang waktu itu,” kata Dwi. Modal utamanya adalah statusnya sebagai adik sepupu Presiden Soeharto.
Dwi, di mata teman-temannya, juga punya modal lain. Dia orang yang sabar dan mudah bergaul. Tak hanya jadi pelicin jalan segala urusan dengan pemerintah sekaligus jadi juru bicara kongsi, tak jarang Dwi menjadi penengah di antara mereka berempat jika ada silang selisih. “Dia orang yang sederhana, praktis, pragmatis dan kooperatif, orang yang bijaksana,” Ibrahim Risjad memuji Dwi. “Pak Dwi menghormati semua orang tanpa melihat gelar atau status. Itu hal luar biasa mengingat dia merupakan anggota keluarga Presiden Soeharto.”
Dwi sebenarnya bukan satu-satunya nama Keluarga Cendana yang disorongkan Soeharto untuk berkongsi dengan Liem. Soeharto juga menyodorkan nama adik-adik iparnya, salah satunya Ibnu Widojo. Tapi egonya yang besar membuat adik Bu Tien—panggilan Siti Hartinah, istri Presiden Soeharto—itu sulit bekerja sama dengan Liem.
Dwi menduga salah satu hal yang Ibnu tak suka adalah posisinya sebagai Direktur III di PT Hanurata, sementara Dwi menjadi Direktur I. “Ibnu Widojo tidak senang. Dia merasa punya darah biru lantaran berasal dari Keraton Solo,” kata Dwi. Beberapa kali Ibnu juga ribut dengan Liem hanya lantaran masalah-masalah sepele. Liem merasa tak betah di Hanurata dan memilih mundur.
Kongsi Liem dengan Ibnu Widojo berantakan, tapi dengan Dwi tak ada persoalan. Dwi lebih pintar menempatkan diri. “Mungkin karena saya berasal dari desa, bukan istana,” ujar Dwi. Sudwikatmono meninggal di Singapura enam tahun lalu. Kini tongkat komando semua bisnisnya dialihkan kepada putra satu-satunya, Agus Lasmono. Bisnis keluarga Sudwikatmono, seperti halnya teman kongsinya, Om Liem, sempat oleng dihajar krisis ekonomi hampir 20 tahun lalu. Tapi kini mereka telah tegak kembali.
Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.