INTERMESO

Masakan Cina Bukan Hanya Milik Tionghoa

Penduduk Nusantara sudah mengenal masakan Tionghoa berabad-abad lamanya. Dinikmati semua orang.

Penjual makanan keturunan Tionghoa dan dua pelanggannya di Indonesia. Tak diketahui tempat dan waktunya Foto: Memory of Netherlands

Jumat, 27 Januari 2017

Dalam bukunya, Oud Batavia, Frederick de Haan menulis bahwa antara tahun 1602 dan 1799, sudah ada sejumlah rumah makan dan warung bakmi milik keturunan Tionghoa di Batavia, yang hari ini telah bersalin nama menjadi Jakarta.

Pelukis asal Belgia, A.A.J. Payen, juga pernah menggambar penjual bakmi keturunan Tionghoa di salah satu kota di Jawa pada awal 1800-an. Tak aneh jika pada saat itu sudah banyak pedagang masakan Cina. Menurut sensus yang dilakukan oleh pemerintah Inggris pada tahun 1815, ada 94 ribu penduduk keturunan Tionghoa di Pulau Jawa.

Seorang pelancong dari Zhangzhou, Provinsi Fujian, Cina, Chen Rijie, datang ke Kota Batavia pada 1730. “Ada banyak orang Tionghoa yang berasal dari Zhangzhou, Quanzhou, dan Hu Guang,” Chen menulis, dikutip oleh Jiajun Zou dalam artikelnya, “Chinese Diaspora in the Dutch East Indies during the Eighteenth Century”.

Jauh sebelum Belanda dan Inggris datang ke Indonesia, sudah banyak imigran dari Daratan Cina yang merantau ke Indonesia. Jejak para perantau dari Cina ini “terekam” dalam rupa-rupa jenis makanan dan resep masakan yang kemudian berkembang di Indonesia. Bakmi hanya satu di antara puluhan resep masakan asal Cina yang sangat populer di Indonesia hari ini.

Beberapa toko milik keturunan Tionghoa pada Januari 1947 di Glodok, Jakarta
Foto: Memory of Netherlands

Beli di Restoran Toeng Kong, jangan di tempat lain.”

Amir Hamzah, penyair angkatan Pujangga Baru

Dalam Prasasti Watukura yang bertarikh 902 Masehi, menurut Fadly Rahman, dalam bukunya, Jejak Rasa Nusantara, sudah disebut-sebut soal tahu. Makanan olahan dari kedelai ini ditafsirkan dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Pengaruh dari Daratan Cina juga tersirat pada Prasasti Taji, yang bertarikh 901 Masehi. Prasasti yang ditemukan di Ponorogo, Jawa Timur, itu menyebut soal tuak, yang menjadi salah satu hidangan dalam jamuan kerajaan di Jawa.

Ratusan tahun berhubungan dengan komunitas Tionghoa, lidah orang Indonesia makin akrab dengan masakan Cina. Justus van Maurik, pelancong asal Amsterdam, Belanda, mendarat di Hindia Belanda pada 1897. Maurik menuliskan kisah perjalanannya dan pertemuannya dengan orang-orang Cina selama menelusuri kota-kota di Indonesia dalam Indrukken van een Totok.

Saat berada di Kota Padang, Maurik bertemu dengan orang-orang Tionghoa di sebuah pasar yang “kumuh dan jorok”. Di kota lain, Maurik, dikutip Achmad Sunjayadi, dosen Departemen Sejarah di Universitas Indonesia, dalam artikelnya, “Peran Kaum Tionghoa dalam Turisme Hindia Belanda”, menjumpai pedagang keturunan Tionghoa yang memikul kimlo, sejenis sup. Para pembeli berkerumun di sekitar pedagang itu, menikmati kimlo dengan berjongkok.

Pedagang keturunan Tionghoa di Jawa pada 1875
Foto: Memory of Netherlands

Di daerah Glodok, tak jauh dari kawasan Kota Tua Jakarta, Maurik berkenalan dengan bakmi. Lidah turis dari Belanda itu segera akrab dengan rasa gurih bakmi. “Bakmi ini semacam makaroni tipis dengan berbagai macam bumbu, ditambah kuah kaldu yang dicampur jamur, hati ayam, lada, irisan bawang, potongan daging babi atau paha kodok,” Maurik menulis.

Bukan hanya memperkenalkan resep masakan dari Daratan Cina, para saudagar Tionghoa pulalah yang besar kemungkinan membawa es ke Hindia Belanda. Di negara tropis Hindia Belanda kala itu, es adalah barang langka dan mewah. Orang-orang kebanyakan jangan harap bisa mencicipi minuman adem.

Pada abad ke-19, kapal-kapal besar dari Amerika Utara mengangkut berblok-blok es ke pelabuhan di Hindia Belanda. Hanya orang-orang kaya Hindia yang bisa mencicipi dinginnya es “impor” itu. Kwa Wan Hong, pengusaha asal Semarang,-lah yang kemudian memperkenalkan teknologi pembuatan es.

Pada 1895, dia mendirikan pabrik es N.V.Ijs Fabriek Hoo Hien di Semarang. Lima belas tahun kemudian, Kwa Wan Hong menambah pabrik esnya di Tegal dan Pekalongan. Pada 1928, Raja Es dari Semarang itu hijrah ke Batavia dan mendirikan pabrik es N.V.Ijs Fabriek Rawa Bening.

* * *

Ietje Go Pheek To lahir di Malang, Jawa Timur, pada 1911 dari keluarga Tionghoa. Keluarganya datang dari Amoy, kini Xiamen, di Provinsi Fujian, Cina. Menurut Koo Siu Ling, putri Ietje, dalam bukunya, Culture, Cuisine, Cooking: An East Java Peranakan Memoir, ibunya bekerja sebagai guru sejak masih remaja.

Orang-orang berkerumun di depan restoran Kam Leng di Jakarta pada 1947
Foto: Memory of Netherlands

Ietje punya satu hobi. Dia senang mengumpulkan rupa-rupa resep makanan dari pelbagai tradisi: Eropa, Tionghoa, India, hingga Jawa. Kadang Ietje menulisnya dalam bahasa Belanda, kadang dalam bahasa Jawa, kadang bercampur bahasa Hokkian, bahasa dari kampung halaman leluhurnya di Cina. Ietje meninggal pada tahun 2000 di Belanda. Buku resep yang ditulis Ietje selama bertahun-tahun itulah yang diwariskan kepada Siu Ling dan dia terbitkan pada 2015.

Persis seabad sebelum Siu Ling menerbitkan resep-resep warisan dari ibunya, pengusaha percetakan asal Jalan Pintu Besar, Batavia, Lie Tek Long, telah menerbitkan buku resep masakan, Boekoe Masakan Betawi: Roepa-roepa Recept Masakan China, Ollanda, Djawa dan Melajoe.

Buku Siu Ling dan buku resep Lie Tek Long, juga restoran tua seperti Tip Top di Medan, Eka Ria alias Jit Lok Jun, Trio, dan Cahaya Kota di Jakarta, Toko Oen di Semarang, Lie Djiong dan Tiong San, yang telah ganti nama menjadi Mahkota di Yogyakarta, menunjukkan masakan Cina sudah menjadi bagian dari bangsa ini sejak dulu.

Restoran Cahaya Kota, yang berada di sisi timur Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat, punya catatan panjang dengan para pejuang dan pejabat negeri ini. Didirikan oleh tiga bersaudara, Oen Hon Min, Oen Tjoen Min, dan Oen Lie Min, pada 1942 dengan nama Toeng Kong, Cahaya Kota jadi langganan para pejuang dan Istana Negara.

Perkampungan Cina di Pintu Kecil, Jakarta, pada pertengahan 1800-an
Foto: Memory of Netherlands

“Beli di Restoran Toeng Kong, jangan di tempat lain,” kata penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah, kepada Des Alwi, anak angkat tokoh pergerakan Sutan Sjahrir. Amir datang menemui Sjahrir hanya beberapa bulan setelah Batavia jatuh ke tangan tentara Jepang pada 1942. Amir seorang ningrat Melayu, sementara Sjahrir orang Minang, tapi mereka menyukai masakan Cina olahan Toeng Kong.

Lidah memang tak kenal bangsa, warna kulit atau bahasa. Rawon, gudeg, rendang, pecel, pempek, dan rujak cingur tak melulu disantap oleh orang Minang, Jawa, atau Madura. Demikian pula bakmi, fuyung hay, lumpia, nasi Hainan, bakpao, atau capcai tak hanya dinikmati keluarga Tionghoa. Dalam urusan lidah, semua orang adalah saudara. Siu Ling, yang besar dalam keluarga Tionghoa dan puluhan tahun hidup di luar negeri, pun masih selalu mencari rujak petis setiap kali pulang ke rumahnya di Malang.  


Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE