INTERMESO

Ada Apa di Saxony?

“Kami tak menghendaki para pengungsi itu dan kami akan terus memaksa partai-partai lain mengikuti sikap kami.”

Dua pendukung kelompok sayap kanan memegang spanduk anti-Islam di Muenchen, Januari 2016.

Foto: Johannes Simon/Getty Images

Rabu, 21 Desember 2016

Lebih dari seperempat abad silam, orang-orang Saxon merupakan orang pertama dari Jerman Timur yang turun ke jalan, meneriakkan Wir sind das Volk, Kami adalah Rakyat, menuntut kebebasan dari rezim komunis dan penggabungan dengan saudara mereka di belahan barat Tembok Berlin.

Pada hari Senin, 9 Oktober 1989, itu, lebih dari 70 ribu orang memadati jalan-jalan Kota Leipzig, kota terbesar di wilayah Saxony. Protes ini menjadi awal perubahan besar di Jerman Timur dan penyatuan dengan Jerman Barat. Tapi, selama beberapa bulan terakhir, slogan Wir sind das Volk dan orang-orang Saxon tak lagi menggambarkan semangat kebebasan yang sama dengan protes pada Oktober 1989.

Setiap hari Senin, ratusan orang turun ke jalan di Kota Dresden, ibu kota Negara Bagian Saxony. Mereka terus gembar-gembor meneriakkan slogan-slogan anti-imigran dan anti-Islam. Mereka adalah orang-orang yang menyokong gerakan Pegida alias Patriot Eropa Melawan Islamisasi Barat.

Saxony, terutama Kota Dresden, merupakan tanah kelahiran kelompok anti-imigran Pegida. Di wilayah inilah mereka lahir, dan di situlah basis pendukung terbesar mereka. Di Saxony pula, partai sayap kanan, Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) tumbuh subur, meraup banyak dukungan. Salah satu isu yang terus “dijual” AfD dalam setiap kampanyenya adalah anti-imigran. Survei harian Bild beberapa bulan lalu menunjukkan AfD, yang masih seukuran gurem untuk ukuran Jerman dan baru berumur tiga tahun, disokong oleh 16 persen warga Saxony.

Protes kelompok sayap kanan-neo-Nazi menentang kebijakan pengungsi Kanselir Angela Merkel di Berlin, Mei 2016.
Foto: GettyImages

Kita mesti menunjukkan bahwa Dresden bukan hanya Pegida.”

Omar Alham, dokter kelahiran Suriah di Kota Dresden

Menurut catatan Kepolisian Federal Jerman, jumlah kasus penyerangan terhadap imigran di Saxony dan North Rhine Westphalia sepanjang 2015 merupakan yang tertinggi di Jerman. Pada September lalu, puluhan warga Bautzen, kota kecil di Saxony, menyerbu sekelompok pengungsi. Kasus tindak kekerasan terhadap imigran seperti ini bukan kasus pertama di Bautzen.

“Aku malu dengan Saxony-ku,” kata Simone Heilmann, Direktur Sekolah Dr Christoph Hufeland, kepada Al-Jazeera, beberapa pekan lalu. Simone tak habis pikir, bagaimana orang-orang Saxon, yang dulu berjuang untuk kebebasan, sekarang malah begitu tipis empatinya terhadap para imigran dan pengungsi. “Apakah mereka tak belajar sejarah sama sekali?”

Kebijakan Kanselir Angela Merkel untuk membuka pintu perbatasan Jerman bagi para pengungsi dari Suriah dan negara-negara Timur Tengah membuat murka sebagian warganya. Tak hanya berpendapat pengungsi akan jadi beban bagi Jerman, kelompok anti-imigran ini juga percaya bahwa agama Islam yang dianut sebagian besar pengungsi itu tak akan nyambung dengan kultur mereka.

“Kami tak menghendaki para pengungsi itu dan kami akan terus memaksa partai-partai lain mengikuti sikap kami,” kata Alexander Gauland, salah satu pimpinan Partai AfD, dikutip LA Times.

* * *

Bagi Mohammad al-Khodari, orang-orang Saxon bukanlah tuan rumah yang ramah. Sudah setahun Al-Khodari tinggal di Freital, salah satu kota di wilayah Saxony. Bersama keluarga dan teman-temannya, dia mengungsi dari Suriah.

Lari dari perang di kampung halaman, Al-Khodari tak juga menemukan kedamaian di Freital. Beberapa waktu lalu, dia lari terbirit-birit setelah sekelompok orang turun dari mobil dan berniat menghajarnya. Sejak hari itu, hidupnya tak pernah tenang. “Lantaran stres terus, sekarang aku punya masalah dengan perut,” kata Al-Khodari dikutip Times of Israel.


Protes kelompok sayap kanan menentang imigran di Kota Leipzig pada Januari 2016.
Foto: Jens Schlueter/Getty Images

Fares Kassas, sesama pengungsi dari Suriah, juga punya pengalaman buruk dengan kelompok anti-imigran di Freital. Saat dia berada di dalam kereta api, ada seseorang melemparkan botol bir ke arahnya. Untung, pintu kereta sudah menutup dan botol itu tak mengenainya. “Sangat menakutkan situasi di sini,” kata Kassas.

Dibanding wilayah-wilayah lain di Jerman, beberapa kota di wilayah bekas Jerman Timur, terutama kota-kota di Saxony, memang kurang ramah terhadap imigran dan pengungsi. Kelompok-kelompok sayap kanan terus bikin ulah, membikin tak betah para pendatang.

Sepanjang 2015, tercatat ada 784 kasus kriminal yang melibatkan berandal-berandal sayap kanan ini, hampir tiga kali lipat dari 2014. Dan dari semua kasus kekerasan terhadap pengungsi, menurut Pro Asyl, yayasan yang banyak membantu pengungsi, sekitar dua pertiganya terjadi di wilayah bekas Jerman Timur.

“Wilayah timur Jerman merupakan daerah yang buruk bagi pengungsi. Sulit mendapatkan tempat tinggal dan pekerjaan di sini,” kata Al-Khodari. Maka tak heran jika sangat sedikit warga muslim Jerman yang mau tinggal di wilayah timur Jerman. Hanya sekitar 2 persen warga muslim Jerman yang tinggal di bekas Jerman Timur.

Ketika Tembok Berlin runtuh dan Jerman Barat-Jerman Timur jadi satu, ada satu masalah besar yang dihadapi Jerman bersatu. Selama puluhan tahun, Jerman Barat dan Jerman Timur merupakan dua dunia yang sangat jauh beda. Puluhan tahun jadi negara komunis, Jerman Timur jauh tertinggal dari saudaranya di barat, terutama dalam urusan perekonomian.




Protes anti-imigran di Kota Cologne, Jerman, pada Januari 2016.
Foto: Sascha Schuermann/Getty Images

Dengan segala macam cara, pemerintah Jerman sudah berusaha mendorong wilayah bekas Jerman Timur untuk mengejar wilayah barat. “Penyatuan Jerman merupakan usaha yang luar biasa besar…. Orang-orang Jerman Timur sudah berusaha untuk berubah. Tapi tetap saja, pada akhirnya mereka masih merasa sebagai warga kelas dua,” kata Frank Richter, teolog kelahiran Saxony, kepada Al-Jazeera.

Walaupun dalam banyak hal tak ada lagi beda antara timur dan barat Jerman, tetap masih ada “jarak” di antara keduanya. Sebagian besar elite di Saxony, misalnya, ditempati oleh orang-orang yang datang dari wilayah bekas Jerman Barat. Di negara-negara bagian di wilayah barat Jerman, rata-rata tingkat pengangguran 5,8 persen. Di wilayah timur, tingkat penganggurannya hampir dua kali lipatnya. Rata-rata penghasilan warga di “Jerman Timur” ini juga hanya berkisar 80 persen dari saudara mereka di barat.

Tak aneh, kendati Kanselir Merkel juga lahir dan tumbuh besar di wilayah timur, sebagian orang di daerah itu tak suka dengan Merkel beserta kebijakannya soal pengungsi. “Mereka merasa terancam oleh kedatangan para pengungsi itu,” kata Enrico Schwarz, warga Freital yang banyak membantu pengungsi. “Mereka semestinya menghilang saja,” ujar seorang warga Saxony soal pengungsi.

Horst Hirsch, 72 tahun, yang tinggal di lereng Pegunungan Erzgebirge di sisi selatan Saxony, cemas daerahnya akan menyerupai Kota Cologne atau Duisburg. Di dua kota ini, wajah-wajah Timur Tengah gampang sekali dijumpai di jalan. Kakek Hirsch takut kampungnya akan kehilangan “identitas”.

Brosur-brosur partai sayap kanan Partai Alternatif untuk Jerman (AfD)
Foto: Sean Gallup/Getty Images

“Apakah kalian ingin negara kita menjadi negara Islam?” kata Kakek Hirsch berapi-api kepada Der Spiegel. Sudah berkali-kali dia ikut turun ke jalan bersama Pegida menolak banjir imigran dari Timur Tengah. Kakek Hirsch dan teman-temannya inilah yang membuat hidup para pengungsi itu makin sulit.

Walaupun jumlahnya kalah jauh dari massa Pegida, bukannya tak ada perlawanan terhadap kelompok anti-imigran dan anti-Islam ini. Omar Alham sudah puluhan tahun tinggal di Dresden. Dia datang dari Damaskus, Suriah, pada 1986, saat kekuasaan rezim komunis masih kokoh, untuk kuliah kedokteran. Dia menyaksikan Tembok Berlin roboh dan Jerman Timur bergabung dengan Jerman Barat.

Sekarang, bersama ratusan orang lainnya, dia berjuang melawan fobia terhadap Islam dan pengungsi. “Kita mesti menunjukkan bahwa Dresden bukan hanya Pegida,” kata Omar. Tapi sayang, hanya sedikit orang yang datang. Omar tak habis pikir, mengapa orang-orang Saxon hanya berpangku tangan melihat ulah kelompok-kelompok sayap kanan itu. 

Barangkali benar apa yang ditulis novelis Jorg Bernig di harian Sächsische Zeitung soal apa yang terjadi di Saxony: Di mana-mana orang marah. Marah kepada imigran, marah kepada Islam, marah kepada Angela Merkel, marah kepada semua orang.


Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE