INTERMESO

Perempuan Belanda
di Kemerdekaan Indonesia

Dolly Zegerius dan beberapa perempuan Belanda memilih Indonesia yang baru merdeka, sebagai tanah air mereka.

Miny Kobus (memegang ukulele) dan Annie Kobus dalam perjalanan dari Jakarta menuju Yogyakarta di perbatasan Kranji, Januari 1947.

Foto: repro via buku Tanah Air Baru, Indonesia

Rabu,  23 November 2016

Kapal uap Weltevreden angkat sauh dan bergerak pelan menjauhi pelabuhan Rotterdam pada 7 Desember 1946. Kapal angkut personel militer ini membawa sekitar 300 orang Indonesia beserta keluarganya menuju Jakarta. Termasuk 57 perempuan Belanda yang menikah dengan orang Indonesia. Dolly Zegerius salah satu dari perempuan itu.

Lahir di Belanda dan tumbuh besar di Kota Huizen dan Amsterdam, Dolly menikah dengan Soetarjo Soejosoemarno, laki-laki berdarah biru dari Pura Mangkunegaran, Surakarta. Cucu Mangkunegara V itu pergi ribuan kilometer dari Surakarta untuk menempuh pendidikan di Technische Universiteit Delft Jurusan Topografi. Pamannyalah, Mangkunegara VII, yang menyuruhnya kuliah di negeri Belanda.

Dolly dan Soetarjo dipertemukan dalam acara pertunangan kerabat mereka, Soegeng dan Lien, pada 1941. Soetarjo masih saudara sepupu dengan Soegeng, sementara Lien kawan Dolly di bangku sekolah. Pemuda Mangkunegaran yang pintar main bas dan ukulele, juga lihai melucu, itu segera akrab dengan Dolly. Perbedaan umur lebih dari 12 tahun tak menghalangi hubungan mereka.

"Tampan dan humoris," ujar Dolly ketika bercerita kepada detikX di kediamannya di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan, Senin, 21 November 2016, tentang kesan pertamanya pada Soetarjo. Mereka lantas diperkenalkan lebih lanjut dalam pertunjukan kelompok seni Indonesia di Institut Kolonial, Amsterdam.

Dolly Zegerius
Foto: Agung Pambudhy/detikcom


Mahasiswa-mahasiswa ingin punya negara sendiri. Otomatis rasa nasionalisme itu ditanamkan suami saya."

Soetarjo salah seorang musikus dan penari tetap di kelompok itu. Kepiawaian Soetarjo memainkan ukulele membawakan lagu-lagu keroncong termasuk yang paling ditunggu penonton. "Dia (Soetarjo) juga kerap membawakan tarian Jawa sampai ke London," kata Dolly. Hubungan keduanya terus berlanjut, bahkan semakin serius, hingga berlabuh di pelaminan pada 30 September 1943. "Sejak itu saya belajar tentang Indonesia dan bahasa Jawa karena tahu suatu saat akan ke sana," ujar Dolly dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata. Perempuan yang kini berusia 91 tahun itu mengaku lebih fasih berbahasa Jawa ketimbang Indonesia.

Pelan-pelan Soetarjo menanamkan nasionalisme Indonesia pada Dolly. Melalui diskusi-diskusi para pelajar dan buruh asal Indonesia di Belanda, Dolly mendengar suara-suara menuntut kemerdekaan. "Mahasiswa-mahasiswa ingin punya negara sendiri. Otomatis rasa nasionalisme itu ditanamkan suami saya," katanya.

* * *

Setelah lulus kuliah dengan gelar insinyur geodesi, Soetarjo memutuskan pulang ke Indonesia, negara yang baru setahun memproklamasikan kemerdekaan.

Perjalanan menuju Indonesia rupanya tidak mudah. Pemerintah Belanda menghambat rencana mereka menuju republik yang baru berumur dua tahun dengan berbagai cara. Saat Dolly mengajukan permohonan untuk pergi ke Indonesia bersama suami, pegawai Kementerian Wilayah Luar Negeri menakut-nakuti dengan menceritakan adanya kelompok ekstremis dan prajurit liar yang mengincar orang kulit putih. "Saya sendiri tidak pernah ragu pindah ke Indonesia," ujar Dolly. Keberangkatan pun tertunda beberapa kali karena kurangnya kapal.   




Dolly Zegerius bersama anaknya, Marini Soejosoemarno
Foto: Agung Pambudhy/detikcom

Dolly dan putranya, Soenarjo, saat tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 1947.
Foto: dok pribadi Dolly

Keluarga Indonesia-Belanda diperiksa petugas Imigrasi
Foto: repro harian Merdeka

Di kapal pun pasangan muda ini harus berpisah. Polisi Militer menempatkan laki-laki di ruang khusus, sementara Dolly dan anaknya, Soenarjo, yang baru berusia 1,5 tahun, dibawa ke bagian bawah dek. Di situ Dolly bertemu dengan Betsy Kobus, Annie Kobus, dan Miny Kobus. Ketiga kakak-adik ini pernah satu panggung dengan Soetarjo pada acara amal perkumpulan Indonesia di Amsterdam. Ketiga perempuan muda ini juga menikah dengan pemuda Indonesia.

Keluarga Kobus merupakan aktivis perkumpulan pemuda-pemudi sosialis di Amsterdam. Saat Jerman angkat kaki dari Belanda, sejumlah mahasiswa Indonesia yang membantu gerakan perlawanan terhadap Jerman meminta bantuan serupa untuk perjuangan kemerdekaan. Mereka pun turut berpartisipasi dalam konser amal untuk penggalangan dana bagi perjuangan. Tak hanya itu, sejumlah pelaut Indonesia yang bekerja di perusahaan kapal Belanda kerap berkunjung untuk berdiskusi dan meminta bantuan.

Saat selesai konser, Miny mendapat sehelai pamflet. Isinya mengenai masa depan Indonesia, soal kemerdekaan. Ketiganya sependapat, menurut mereka setiap bangsa memiliki hak untuk berdiri sendiri sebagai negara demokrasi. Keluarga ini pun turut bahagia ketika para pekerja itu mambawa kabar soal kemerdekaan Indonesia. Bahkan, ibu mereka membuat pita merah putih, simbol dukungan untuk kemerdekaan Indonesia. Setiap pemuda asal Indonesia yang mampir ke rumah mereka disemati jasnya dengan pita dwiwarna itu.

Dolly Zegerius dan Soetarjo Soerjosoemarno menandatangani akta pernikahan di Amsterdam, 30 September 1943.
Foto: dok pribadi Dolly

Tak terlalu lama ketiga gadis Belanda itu terpikat pada pelaut-pelaut Indonesia. Betsy menjalin hubungan dengan Djoemiran, asal Kebumen, Jawa Tengah. Djoemiran lantas mengenalkan Amarie, kelasi kapal angkut yang pernah menjadi petugas meriam kapal melawan Jerman di pesisir Eropa Barat dan Afrika Utara pada Miny. Sedangkan Annie akhirnya menjadi kekasih pemuda asal Madura, Djabir. Ketiga pasangan kekasih ini akhirnya menikah pada 9 Mei 1946 di Amsterdam.

Kapal Weltrevreden berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok tepat di awal 1947 setelah melewati badai dari Selat Inggris hingga ke Samudra Atlantik. Rombongan ini lantas bergegas menuju kereta yang akan menuju Yogyakarta. Jakarta saat itu dikuasai oleh Belanda. Setelah sempat singgah di Pura Mangkunegaran, Dolly pindah ke Malang, Jawa Timur. Jenderal Urip Sumohardjo meminta Soetarjo menjabat Kepala Jawatan Topografi Angkatan Darat.

Masa-masa damai di Malang hanya bertahan singkat. Tentara Belanda merebut wilayah demi wilayah Republik yang masih sangat muda. Masa-masa itu menjadi ujian berat bagi Dolly, Annie, dan Miny, tiga perempuan Belanda di negeri asing. Tapi masa-masa itu pulalah yang makin membulatkan kecintaan mereka pada Indonesia.

Hanya mereka bertiga perempuan kulit putih di Malang yang turut berdemonstrasi menentang invasi tentara Belanda. “Merdeka, Bung!” Dolly mengajarkan slogan itu kepada Soenarjo, putranya yang masih kecil.

Hilde Jansen berbincang dengan Dolly Zegerius seusai peluncuran buku Tanah Air Baru, Indonesia.
Foto: Pasti Liberti Mappapa/detikX


Saya membaca judul (foto). Aneh. Mengapa perempuan itu bepergian di tengah perjuangan kemerdekaan dan ke wilayah yang bermusuhan dengan orang Belanda."

Kisah perjalanan keempat perempuan muda Belanda di Indonesia itu dituliskan antropolog Belanda, Hilde Janssen, dalam buku yang berjudul Enkele reis Indonesie, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Tanah Air Baru, Indonesia. Hilde menuturkan ketertarikannya pada kisah perjalanan itu ketika membeli sehelai foto pada peringatan 65 Tahun Republik Indonesia di Jakarta. Foto hitam-putih itu memperlihatkan dua wanita pirang muda di atas kereta bersama dua pemuda Indonesia. Judul foto itu "Perempuan Belanda dalam perjalanan mereka ke Republik, pada tahun 1947".

"Saya membaca judul (foto). Aneh. Mengapa perempuan itu bepergian di tengah perjuangan kemerdekaan, dan ke wilayah yang bermusuhan dengan orang Belanda," ujar Hilde seusai peluncuran buku versi bahasa Indonesia di Plaza Senayan, Jakarta, pada 10 November lalu. Saat itu, orang-orang Belanda yang berada di Indonesia justru memilih pulang ke tanah airnya. "Saya kira, selain karena cinta, kenekatan mereka dilandasi pendirian bahwa Indonesia punya hak untuk merdeka dan Belanda harus melepaskan."

Dari keempat perempuan muda itu, kini tersisa Dolly, Annie, dan Miny. Annie, yang berusia 93 tahun, dan Miny 90 tahun tak bisa lagi berjalan. Hanya Dolly, yang juga mantan atlet bridge nasional, yang masih bisa mengingat dengan cukup jelas peristiwa-peristiwa yang mereka alami. "Sampai sekarang pun saya lihat persahabatan mereka masih sangat erat," kata Hilde.  


Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE