INTERMESO
Banyak yang tak sejalan dengan ide-ide nyeleneh Gus Dur, Kiai As'ad akhirnya memilih berpisah dari cucu pendiri NU itu. Agar tak disakiti Soeharto.
Ilustrasi: Edi Wahyono
Jumat, 18 November 2016
Berasal dari akar yang sama tidak lantas menghasilkan buah serupa. Begitulah tamsil untuk menggambarkan hubungan KH As'ad Syamsul Arifin dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Keduanya sama-sama kiai dan haji, keturunan ulama terkemuka, serta sama-sama pernah mengenyam pendidikan di lingkungan pesantren. Hanya, perbedaan usia, pengalaman, dan pendidikan membuat keduanya punya cara pandang berbeda dalam menyikapi suatu isu.
Sebagai kiai yang juga budayawan, Gus Dur menganggap aktif di bidang kesenian adalah bagian dari dakwah. Karena itu, dia tak menolak saat diminta memimpin Dewan Kesenian Jakarta, menjadi juri film, membuka Malam Puisi Yesus Kristus, dan cenderung membela Syiah. "Ketua NU kok jadi pimpinan ketoprak," begitu Kiai As'ad menumpahkan kekesalannya seperti tertuang dalam buku Kharisma Kiai As'ad di Mata Umat karya Syamsul A. Hasan.
Maklum, hingga pertengahan 1980-an, sejumlah pondok pesantren memang masih mengharamkan para santrinya menonton film. Bagi As'ad yang konservatif, seorang bukanlah nahdliyin (pengikut Nahdlatul Ulama) kalau mengurus kesenian, menjadi bintang film. Apalagi Gus Dur juga sering mengkritik kebijakan Orde Baru yang dinilainya bisa membahayakan NU.
Presiden Soeharto menyalami KH Abdurrahman Wahid, disaksikan KH As'ad Syamsul Arifin dan KH Achmad Siddiq
Foto: koleksi Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Repro: Ghazali Dasuqi/detikcom
Ya, bagaimana, wong ketika salat imamnya kentut atau kelihatan ‘anu’-nya. Masak saya mau makmum juga.”
Toh, Gus Dur bergeming. Ide-ide dan pemikirannya di bidang sosial keagamaan kian nyeleneh dan dinilai kebablasan. Puncaknya adalah ketika dia melontarkan wacana mengganti “assalamualaikum” dengan ucapan “selamat pagi”, “selamat siang”, “selamat sore”, atau “selamat malam”. Ide ini dilontarkan dalam wawancara dengan majalah Amanah pada 1987.
Sementara dalam muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984, Kiai As'ad adalah orang yang mempromosikan Gus Dur untuk memimpin NU karena dinilai sebagai anak muda yang cerdas, menjelang Muktamar NU berikutnya di Krapyak, Yogyakarta, 1989, Kiai As’ad bersikap sebaliknya.
Para kiai sepuh NU yang merasa resah dan terganggu kemudian menggelar “pengadilan” terhadap cucu Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari itu. Acara yang diikuti sekitar 200 kiai itu dipusatkan di Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, pada 8-9 Maret 1989. Intinya, mereka menilai ide Gus Dur tersebut sudah melanggar akidah. "Itu prinsip,” Kiai As'ad menandaskan.
Tapi semua itu rupanya tak mengurangi kecintaan dan kekaguman mayoritas warga NU terhadap Gus Dur untuk kembali memimpin NU. Dengan alasan kesehatan, Kiai As'ad, yang memang sudah menginjak usia 90 tahun, tak bersedia hadir di arena muktamar. Sang kiai pun akhirnya memutuskan memisahkan diri sebagai protes atas kepemimpinan Gus Dur.
KH As'ad Syamsul Arifin menerima kunjungan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara
Foto: koleksi Pesantren Salafiah Syafi'iyah, Repro: Ghazali Dasuqi/detikcom
“Saya memilih mufaraqah (memisahkan diri), tetap di satu masjid tapi tidak mau jadi makmum. Ya, bagaimana, wong ketika salat imamnya kentut atau kelihatan ‘anu’-nya. Masak saya mau makmum juga,” As'ad bertamsil seperti dilaporkan Tempo edisi 2 Desember 1989.
Menurut Zaini Mun'im Ridwan, Ketua Tim Relawan Pencari Data, Fakta, dan Saksi Sejarah Perjuangan KHR As'ad Syamsul Arifin, keputusan mufaraqah itu mengundang pro-kontra di kalangan kiai-kiai NU, khususnya di antara mereka yang mewakili kiai sepuh yang konservatif dan kiai-kiai muda yang lebih progresif. "Hikmah yang bisa diambil dari sikap mufaraqah itu adalah keteguhan dan keistiqamahan Kiai As'ad dalam mempertahankan dan mengikuti jejak serta ajaran para gurunya, para pendiri NU," ujar pengasuh Pondok Pesantren Nurur Rahman, Ayuban, Situbondo, itu.
Gejolak dalam interaksi antara kiai tua yang konservatif dan kiai muda yang progresif, menurut Wakil Sekretaris Jenderal NU Masduki Baidlowi, mulai muncul ketika Gus Dur memberhentikan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar NU Anwar Nuris. Anwar kala itu juga politikus Partai Persatuan Pembangunan.
"Gus Dur saat itu memang antiparpol, sementara Kiai As'ad memang dekat dengan politikus," kata Masduki kepada detikX, Rabu, 16 November 2016. Ditambah lagi perbedaan keduanya dalam melihat pengembangan NU sebagai gerakan ideologi. "Gus Dur menganggap keterlibatannya dalam kesenian sebagai bentuk gerakan dakwah kultural."
KH As'ad Syamsul Arifin bersama Menteri Penerangan Harmoko
Foto: koleksi Pesantren Salafiah Syafi'iyah, Repro: Ghazali Dasuqi/detikcom
Gus Dur itu cucu guru saya. Jadi saya menghormatinya seperti saya menghormati guru saya."
Meskipun terlibat konflik yang tajam dengan Gus Dur, Kiai As'ad tidak mengajak orang lain, termasuk keluarganya, untuk mengikuti jejaknya. Sebab, mufaraqah bukan berarti membenci Gus Dur. "Gus Dur itu cucu guru saya. Jadi saya menghormatinya seperti saya menghormati guru saya," kata As'ad seperti ditulis Syamsul. Kiai As'ad khawatir Gus Dur akan mendapat tindakan keras dari rezim Orde Baru karena sikapnya yang kritis terhadap Soeharto.
Sebaliknya, dari sisi pribadi Gus Dur, berbagai kritik tajam dari para kiai sepuh justru tak membuatnya menjauh. Indikasinya, menurut Wahyu Muryadi, seusai muktamar, Gus Dur menyambangi kiai-kiai sepuh yang menolak dirinya. "Gus Dur itu tetap menjaga hubungan silaturahmi yang sifatnya personal," ujar Wahyu. Tiga bulan sebelum meninggal, Kiai As'ad akhirnya menerima kembali jabatan Mustasyar Aam PBNU setelah dibujuk Kiai Yusuf Hasyim, paman Gus Dur.
Dalam ceramahnya di haul Kiai As'ad, Gus Dur berkata bahwa Kiai As'ad merupakan profil utama pondok pesantren, syaikhun alimun, yang pikirannya tidak pernah lepas dari urusan negara. "Keselamatan bangsa dan keselamatan negara menjadi perhatian utamanya," ujar Wahyu, yang pernah menjadi Kepala Protokol Istana ketika Gus Dur menjadi presiden.
Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.