INTERMESO

Jejak Kepahlawanan Kiai As'ad

As'ad Syamsul Arifin adalah ulama paripurna. Ia dihormati para santri, politikus, hingga kaum bromocorah.

KH As'ad Syamsul Arifin
Ilustrator: Edi Wahyono

Kamis, 17 November 2016

Belum genap sepekan KH As'ad Syamsul Arifin wafat, namanya telah mencuat untuk dicalonkan sebagai Pahlawan Nasional. Usul tersebut terlontar dalam tahlilan hari keenam wafatnya sang kiai. Pelontarnya adalah pemimpin Pondok Pesantren Asshidiqqiyah Putra, Jember, Jawa Timur, KH Ahmad Siddiq, di Masjid Jami’ Ibrahimy, Sukorejo, Situbondo, 9 Agustus 1990.

Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu memaparkan ihwal kiprah Kiai As'ad dalam bergerilya mempertahankan kemerdekaan Republik. Pada era kemerdekaan, khususnya Orde Baru, As'ad juga menjalin hubungan sangat harmonis dengan Presiden Soeharto. Tanpa peran Kiai As’ad, penguasa Orde Baru itu tidak berkenan hadir untuk membuka Muktamar NU di Situbondo pada 1984. 

Dalam muktamar itulah As'ad berhasil membuat rumusan bahwa NU tak lagi berkiprah di bidang politik atau kembali ke “Khittah 1926”. Juga melobi para kiai sepuh untuk bersatu-padu menyokong asas tunggal Pancasila yang disodorkan Orde Baru.

Ini menarik karena anggotanya adalah para bekas bromocorah atau bandit yang dia bina di Pesantren Sukorejo.”

Sayang, usul pencalonan Kiai As’ad sebagai Pahlawan Nasional itu mengendap karena pihak keluarga, terutama KH Fawaid, putra bungsu As'ad, tidak berkenan. Tapi, setelah Fawaid berpulang pada Maret 2012, sejumlah tokoh masyarakat dan santri alumni Pesantren Salafiyah Syafi'iyah kembali menggulirkan usul itu pada akhir 2014. Mereka kemudian membentuk tim bernama Forum Masyarakat Pecinta Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Forum lantas mengumpulkan berbagai dokumen yang menjadi rujukan perjalanan hidup Kiai As’ad dan menggelar seminar nasional yang dihadiri Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf. Usul itu juga didukung oleh sejumlah kepala daerah tetangga Situbondo, seperti Banyuwangi, Jember, dan Bondowoso. “Kepala daerah tersebut mengirimkan surat dukungan kepada kami,” kata juru bicara Pesantren Salafiyah, Achmad Hasan.

Presiden Joko Widodo dan Ahmad Azaim Ibrahimy, cucu KH As'ad Syamsul Arifin, di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 9 November 2016.
Foto: Christie Stefanie/CNN Indonesia

Selain nama As'ad, Kementerian Sosial mengusulkan enam nama dan tiga nama yang diusulkan pada tahun sebelumnya kepada Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat, yang diketuai Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Dari semua nama itu, Ryamizard memastikan nama mantan presiden Soeharto tak termasuk di dalamnya. Kalaupun kemudian Presiden Joko Widodo memutuskan hanya nama Kiai As'ad yang berhak menerima anugerah gelar Pahlawan Nasional, hal itu sepenuhnya merupakan prerogatif Presiden.

“Saya tidak mau berspekulasi bahwa ini terkait dengan situasi politik sekarang ini, untuk mendapatkan dukungan kalangan NU atau apa seperti yang Anda tanyakan,” ujar Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Sosial Hartono Laras kepada detikX di gedung Konvensi, Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Timur, Kamis, 10 November 2016.

Ia juga menolak mengkonfirmasi bahwa anugerah Pahlawan Nasional kali ini tergolong istimewa karena hanya diserahkan kepada satu nama. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya selalu lebih dari satu nama. Pada 2015, misalnya, ada lima tokoh yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, yakni Bernard Wilhem Lapian, Mas Isman, Komisaris Jenderal Moehammad Jasin, I Gusti Ngurah Made Agung, dan Ki Bagus Hadikusumo.

Kirab penyambutan gelar pahlawan KH As'ad Syamsul Arifin
Foto: Ghazali Dasuqi/detikcom

Berdoa bersama di makam KH As'ad Syamsul Arifin
Foto: Ghazali Dasuqi/detikcom

Presiden Jokowi menetapkan Kiai As'ad sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI Nomor 90/TK/Tahun 2016 Tanggal 3 November 2016 atau sehari menjelang unjuk rasa akbar 4 November. Dalam catatan Kementerian Sosial, Kiai As'ad menjadi Pahlawan Nasional ke-169. Kementerian mencatat sederet rekam jejak kepahlawanan Kiai As'ad. Sejak 1920, As'ad menanamkan semangat perjuangan dan dakwah melalui Pasukan Pelopor. “Ini menarik karena anggotanya adalah para bekas bromocorah atau bandit yang dia bina di Pesantren Sukorejo,” ujar Hartono. (baca Panglima Bromocorah dari Tapal Kuda)

Pada 1943, As'ad mengembangkan Pasukan Pelopor menjadi alat perjuangan, terutama untuk membela agama dan mengusir penjajah. Selanjutnya, ia membentuk Hizbullah dan Sabilillah. Anggota Pasukan Pelopor mendorong agar orang-orang di daerahnya masuk menjadi anggota Laskar Hizbullah dan Sabilillah. Pada 1934, ia menjadi komandan Laskar Sabilillah di Karesidenan Besuki.

“Berdasarkan catatan Kementerian Urusan Veteran pada dokumen terbitan 15 April 1959, Kiai As'ad juga pernah memimpin Laskar Sabilillah Panarukan pada 1945-1947,” ujar Hartono.

* * *

Kiai Raden As'ad Syamsul Arifin lahir pada 1897 M/1315 H di Syi'ib Ali, Mekah, dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maemunah. Ketika berusia 13 tahun, As'ad kecil mondok di Banyuanyar di bawah asuhan Kiai Abdul Majid dan KH Abdul Hamid. Tiga tahun berselang, As'ad kembali ke Mekah untuk belajar di Madrasah Shaulatiyah. Di sana ia juga berguru kepada beberapa ulama kondang, seperti Sayyid Abbas al-Maliki, Syekh Hasan al-Yamani, Syekh Hasan Masyath, Syekh Bakir, dan Syekh Syarif asy-Syinqithi.

Infografis: Fuad Hasim

Infografis: Luthfy Syahban


Saat berusia 27 tahun, As'ad dipercaya sebagai mediator dalam upaya pendirian Nahdlatul Ulama oleh KH Hasyim Asy'ari.”

Pada 1924, As'ad kembali ke Madura dan melanjutkan petualangan dengan nyantri dari satu pesantren ke pesantren lain di Pulau Jawa dan Madura. Ia antara lain mondok di Pesantren Sidogiri, Pasuruan (asuhan KH Nawawi); Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo (asuhan KH Khazin); Pesantren An-Nuqayah Guluk Guluk, Sumenep; Pesantren Kademangan, Bangkalan (KH Muhammad Cholil); dan Pesantren Tebuireng, Jombang.

Di Tebuireng-lah kepribadian As’ad terbentuk makin kuat. Di bawah asuhan Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, 1875-1947, As'ad menemukan karakter, wawasan, perspektif, hingga semangat perjuangan untuk kemerdekaan. Di Tebuireng, Kiai As'ad berkawan dengan para santri pejuang, yang kelak menjadi garda depan Nahdlatul Ulama dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, seperti KH Wahab Chasbullah (1888-1971), KH Bisri Syansuri (1886-1980), KH Abbas Buntet (1879-1946), dan KH Wahid Hasyim.

Dalam proses pendirian NU, As'ad turut berperan meski usianya kala itu baru 27 tahun. Dia dipercaya menjadi mediator antara Hasyim Asy'ari dan Syaichona Kholil, Bangkalan. Ketika Hasyim Asy'ari galau saat akan mendirikan NU, menurut Zainul Milal Bizawie, Syaichona Kholil dua kali mengutus As'ad ke Tebuireng. Dia diminta menyerahkan tongkat untuk Hasyim dan membacakan surat Thoha ayat 17-23.

“Setahun kemudian, As'ad diminta menyerahkan tasbih dengan diikuti bacaan Asmaul Husna, ‘Ya Jabbar, Ya Qohhar’ sebanyak tiga kali,” tulis Milal dalam buku Masterpiece Islam Nusantara terbitan Pustaka Compass, April 2016.

Infografis: Luthfy Syahban

Di bidang politik, pada usia muda pula ia menjadi anggota Konstituante dari hasil Pemilu 1955. Hal itu berkat Partai NU sebagai pemenang ketiga (setelah PNI dan Masyumi), mengalahkan PKI di posisi keempat.

Dengan komunikasi politiknya yang santun dan terkadang jenaka, As'ad juga mampu menjadi penghubung yang bisa meredakan ketegangan antara umat Islam dan rezim Orde Baru. Tahun 1970 hingga awal 1980-an adalah masa pematangan doktrin bagi pemerintahan Orde Baru.


Reporter: Pasti Liberti Mappapa, Yakub Mulyono, Sudrajat
Penulis/Editor: Sudrajat
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE