INTERMESO

PAHLAWAN-PAHLAWAN MUDA

Pahlawan untuk yang Tak Layak Bank

Bermula dari modal Rp 10 juta, kini Amartha sudah memutar kredit lebih dari Rp 45 miliar.

Andi Taufan Garuda Putra

Foto-foto: Ari Saputra/detikcom

Jumat, 11 November 2016

Suatu Selasa pagi beberapa waktu lalu, di teras depan rumah Sarbini, Ketua RT 04 RW 02, Desa Putat Nutug, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, belasan ibu duduk meriung di lantai. Tak lama berkumpul, mereka duduk dengan takzim dan membaca lima ikrar.

Di antara ikrar mereka adalah “anggota majelis membantu anggota kelompok majelis apabila mereka dalam kesulitan, menggunakan pembiayaan dari Majelis Ikhtiar-Amartha untuk menambah pendapatan keluarga, dan mendorong anak-anak supaya terus bersekolah”.

Belasan ibu rumah tangga itu adalah anggota Majelis Palem. Ini bukan majelis pengajian, bukan pula kumpul-kumpul untuk urusan politik. Mereka adalah anggota Koperasi Amartha. Hari itu pertemuan mereka sangat ringkas dan cepat. Satu per satu mereka mengambil buku kecil berwarna biru yang diletakkan salah seorang anggota majelis.

Ada dua jenis buku. Yang pertama adalah buku setoran pinjaman nasabah dan buku kedua adalah buku tabungan istimewa, tabungan nasabah dengan jumlah minimal Rp 5.000 setiap minggu. Begitu dilakukan pencatatan angsuran tabungan, pengecekan nama dan jumlah setoran pinjaman serta tabungan, pertemuan ditutup dengan doa. Selesai.

Petugas Koperasi Amartha mendata calon anggota.


Kami tak mungkin pinjam ke bank karena tidak punya barang yang bisa diagunkan."

"Seharusnya pertemuan sekitar satu jam. Tapi ibu-ibu kan sibuk, ada yang memasak, mengurus orang tua dan anak, jadi pertemuan kami persingkat," ujar petugas Amartha, Nilasari. Setelah berpamitan, Nilasari bergegas menuju majelis berikutnya, Majelis Wijayakusuma, yang berada tak jauh dari lokasi pertemuan Majelis Palem.

Di sana sudah menunggu belasan anggota majelis, yang rata-rata sudah berusia paruh baya. Kali ini pertemuan sedikit lebih lama. Setelah semua anggota menyerahkan buku setoran dan membaca ikrar, seorang anggota majelis, Elly Sukmawati, 32 tahun, maju ke depan barisan. Ia meminta persetujuan majelis untuk pinjaman yang ia ajukan. Semua anggota serentak menjawab setuju setelah Elly menyampaikan alasan pengajuan pinjamannya.

Ibu tiga anak ini mengajukan pinjaman sebesar Rp 2 juta. Rencananya, uang itu akan dia gunakan untuk membangun kamar. Selama ini, Elly bersama suami dan ketiga anaknya masih tinggal menumpang di rumah orang tuanya. Mereka mendapatkan jatah satu kamar dari dua kamar milik orang tuanya.

Rumah seluas lapangan badminton itu ia sekat dengan lemari sebagai dinding pemisah di tengah-tengah ruangan. Elly bersama keluarganya menempati separuh rumah di bagian belakang yang merangkap sebagai tempat memasak, ruang tamu, tempat tidur, dan ruang makan.




Ibu-ibu rumah tangga anggota Koperasi Amartha berkumpul tiap minggu untuk melakukan penyetoran dan pencatatan tabungan.

Suaminya, yang bekerja sebagai tukang ojek, menurut Elly, masih sanggup membayar cicilan sebesar Rp 53 ribu per minggu selama 50 minggu atau setahun. Meminjam ke bank, bagi Elly dan suaminya, jauh dari bayangan. "Kami tak mungkin pinjam ke bank karena tidak punya barang yang bisa diagunkan," kata Elly. Satu-satunya barang berharga miliknya hanyalah sepeda motor yang biasa dipakai suaminya mengojek. Itu pun belum lunas terbayar.

Sementara Elly mengutang untuk konsumsi, Onih pinjam uang untuk modal usaha. Usaha Onih sudah berkali-kali gagal. Jual nasi uduk gagal. Pelihara lele juga tanpa hasil. Modalnya makin tipis. Sisa modal dari Amartha dia pakai untuk usaha keset dari kain perca. Dulu dia hanya buruh anyam keset, tapi sekarang Onih yang gigih ini sudah bisa mempekerjakan kerabat dan tetangga.

Elly dan orang seperti Onih adalah orang-orang yang tak pernah tersentuh layanan bank. Mereka inilah orang-orang yang sering disebut tak bankable, tak layak mendapat pinjaman bank. Ditolak bank, mereka sering terjebak utang dengan bunga setinggi langit dari para rentenir.

* * *

Andi Taufan Garuda Putra, 29 tahun, mestinya sudah hidup enak, punya segalanya. Masih muda, lahir dari keluarga berkecukupan, Taufan lulus dari salah satu sekolah bisnis terbaik di Indonesia dan bekerja sebagai konsultan di perusahaan multinasional besar, IBM. Gajinya tentu tak kecil. Apa lagi yang dicari?

Papan jadwal di kantor Koperasi Amartha

Tapi ada yang selalu mengusik hatinya setiap kali dia mendapat tugas dari kantornya ke daerah-daerah di Indonesia. Di Jakarta, dia menyaksikan segala hal yang gemebyar dari Indonesia. Di daerah, dia menyaksikan sisi lain dari Indonesia. Dia menyaksikan betapa besarnya ketimpangan antara Jakarta dan daerah.

Semakin sering ditugasi kantornya mengunjungi daerah, semakin tinggi pula desakan Taufan untuk mewujudkan mimpinya membangun usaha yang bisa bermanfaat bagi banyak orang. Pertengahan 2009, Taufan mantap meninggalkan pekerjaannya. Ilmu manajemen bisnis yang pernah ia pelajari selama di bangku kuliah di Institut Teknologi Bandung ia buka-buka dan ingat-ingat lagi.

Saat keluar dari pekerjaannya, sebenarnya Taufan masih tak punya gambaran jelas apa yang akan dia kerjakan. Ia lalu mempelajari seluk-beluk pembiayaan mikro dan sistem Bank Grameen seperti dirintis Muhammad Yunus di Bangladesh. Ia berkeyakinan, jika Bank Grameen bisa sukses diterapkan di Bangladesh dan diakui dunia, mengapa dia tak mengimitasinya di Indonesia, yang juga punya masalah kemiskinan hampir sama.

Hanya bermodal Rp 10 juta dari kantongnya sendiri, Taufan mencoba meminjamkan kepada sepuluh orang yang membutuhkan. Ia memilih warga Putat Nutug, Ciseeng, Bogor, sebagai nasabah pertama. Pertimbangannya, selama survei di puluhan kecamatan di Kabupaten Bogor, angka kemiskinan Ciseeng paling akut.

Tak hanya memberikan pinjaman, Taufan juga memberikan pendampingan kepada sepuluh nasabah dengan mengajarkan membuat pembukuan, cara berjualan, hingga teknik pemasaran. Namun rupanya proyek pertama ini tak semulus bayangannya. Nasabah yang awalnya lancar membayar setoran kian lama makin seret membayar. Mereka sering menghindar dan menolak menemuinya. "Mereka menggunakan berbagai alasan untuk tak membayar," katanya. Akhirnya uang itu ludes tak berbekas.

Buku kecil untuk mencatat tabungan atau setoran atas pinjaman


Mengurus diri sendiri saja masih kesulitan, masak mau mengurus banyak orang.”

Tapi Taufan tak kapok dan tak jera meneruskannya. Kegagalannya memulai usaha tak ia ceritakan kepada kedua orang tuanya. Sebab, saat dia memutuskan mundur dari pekerjaannya di IBM, orang tuanya keberatan. Apalagi jika tahu kalau dia gagal.

Menurut orang tuanya, pada usia muda, Taufan seharusnya menikmati pekerjaan tetapnya, yang akan mengangkatnya ke jenjang kesuksesan. "Mengurus diri sendiri saja masih kesulitan, masak mau mengurus banyak orang. Sukses dulu, baru memikirkan nasib orang lain," kata Taufan mengenang kata-kata dan nasihat kedua orang tuanya.

Setelah mengevaluasi, dia berkesimpulan bahwa karakter dan budaya masyarakat di Indonesia berbeda. Mereka tak bisa “asal” diberi modal. Ia mulai belajar ke beberapa yayasan yang selama ini mengembangkan koperasi pinjaman untuk kelas menengah ke bawah. Taufan juga memberanikan diri mengirim e-mail ke Bank Dunia untuk berkonsultasi tentang konsep yang hendak ia jalankan. Bank Dunia merekomendasikan Taufan untuk menemui beberapa yayasan yang bisa dijadikan referensi dan ditiru konsepnya.

Akhirnya, pada awal 2010 Taufan mantap mendirikan Amartha Microfinance dan mendaftarkannya menjadi badan hukum. Nama Amartha ia ambil dari sebuah negeri dalam pertunjukan Teater Koma di Taman Ismail Marzuki yang ia tonton. Amartha (bahasa Sanskerta) berarti kehidupan.

Infografis: Luthfy Syahban

Berbekal kesiapan dan kematangan konsep, Taufan mengajukan permohonan kerja sama dengan satu bank perkreditan rakyat dan mendapatkan pinjaman Rp 100 juta, yang ia salurkan kepada 190 nasabah di Kecamatan Ciseeng. Pada 2011, ia kembali mengajukan permohonan pinjaman ke bank daerah dan kepada seorang investor dan berhasil mendapatkan Rp 500 juta. Uang itu ia salurkan kepada 1.180 nasabah.

Tahun demi tahun, jumlah uang yang dipinjamkan koperasinya bertambah besar. Sekarang kredit yang diputar Amartha sudah menembus Rp 45 miliar dengan lebih dari 25 ribu nasabah yang tersebar di sejumlah daerah di Jawa Barat. Seperti Bank Grameen, Taufan menerapkan sistem tanggung-renteng dalam penyaluran kredit di Amartha.

Kredit bisa diberikan jika seseorang menjadi anggota kelompok yang beranggota minimal 15 orang. Jika salah satu nasabah tak mampu membayar atau mangkir membayar, kewajibannya akan ditanggung bersama oleh kelompoknya. Berkat sistem tanggung-renteng, tak ada kredit seret yang jadi beban Amartha.

Petugas Koperasi Amartha menerima setoran atas pinjaman anggota.

Taufan paham betul bahwa pendapatan kepala rumah tangga, yang sebagian besar merupakan kuli galian pasir Sungai Cisadane, sopir, dan kuli pangkalan pasir, tak akan cukup memenuhi kebutuhan besar, seperti merenovasi rumah, biaya sekolah, atau modal usaha. Tetapi masih lebih dari cukup untuk mencicil pinjaman dengan jumlah cicilan Rp 21-53 ribu per minggu. "Pendapatan mereka rata-rata Rp 50-100 ribu per hari," katanya.

Mimpi Taufan ketika menawarkan pinjaman kepada masyarakat miskin di Ciseeng tak muluk-muluk. Kala itu ia berharap pinjaman koperasi bisa menjadi pintu masuk untuk mengedukasi masyarakat miskin bagaimana belajar menabung, bagaimana merintis usaha, dan sebagainya. Layar bisnis Amartha terus mengembang dan Taufan menyimpan banyak mimpi. Ia punya target menambah nasabah Amartha hingga 1 juta orang pada 2020.


Reporter/Penulis: Kustiah
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE