Ilustrasi: Edi Wahyono
Jumat, 3 Maret 2023Tepat tengah hari, dua orang tamu berpakaian perlente masuk ke kantor De Javasche Bank (DJB) pada Sabtu, 22 November 1902. Kedua tamu perlente itu disambut penuh hormat dan senyuman petugas bank yang terletak di seberang Stasiun Kereta Api Beos, Batavia (sekarang Jakarta).
Kedua tamu berwajah bangsa Eropa atau Belanda itu mengenakan rambut palsu (wig) dan jenggot palsu. Tetap petugas bank yang kini terletak di Jalan Pintu Besar Utara, Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat, itu menerimanya dengan penuh hormat.
Tapi senyum semringah petugas seketika berubah. Wajahnya menjadi pucat ketika si tamu menodongkan pistol. Ternyata tamu itu bukan nasabah bank, melainkan perampok. Penuh kepercayaan diri dan tanpa ragu, kedua perampok menggasak tromol berisi uang 110 ribu gulden.
Aksi kedua perampok itu kepergok petugas bank lainnya bernama Reijnst, seorang opas. Kedua perampok langsung lari dan dikejar. Tapi langkah Reijnst terhenti ketika tubuhnya terkena tembakan. Kedua perampok perlente itu berhasil kabur dengan membajak delman berpenumpang.
Terjadi ketegangan dengan sais delman yang panik. Penumpangnya seorang perempuan Tionghoa ditembak. Delman yang dikuasai dua perampok kabur menuju Jembatan Merah. Di tempat itu, kedua perampok bertemu dengan kawannya orang pribumi. Lalu mereka langsung menuju kawasan Kramat dan Menteng. Di sana, kedua perampok menunggangi delman yang ditarik dua kuda untuk kabur ke arah Bogor.
Di kawasan Ciluar (wilayah Kecamatan Bogor Utara), delman berhenti untuk istirahat. Tapi tak lama, delman yang ditumpangi kawanan perampok itu melarikan diri lagi ketika kontrolir polisi bernama Johan mengejarnya. Pengejaran terjadi hingga dini hari. Karena dua kuda kelelahan, delman berhenti di Kedunghalang sekitar pukul 06.00 WIB. Salah seorang perampok loncat dari delman dan kabur, sedangkan satu perampok bisa ditangkap.
Kantor De Javasche Bank pada 1828-1920.
Foto: Tropenmuseum
Perampok yang ditangkap diinterogasi oleh Adolf Wilhelm Verbond Hinne, schout (kepala polisi) wilayah Tanah Abang, yang dikenal sebagai penembak mati si Pitung, jagoan legendaris Betawi. Identitas perampok itu adalah Herman Gentis. Di sakunya ditemukan uang 4.000 gulden dan ada uang tercecer di delman sebesar 8.750 gulden.
Sementara itu, rekan perampok yang kabur diketahui bernama Cornelis Mauris Gentis. Dialah yang diketahui menodongkan pistol kepada petugas Bank DJB. Cornelis kabur ke perkebunan kopi dan diketahui penjaga kebun. Dia kabur lagi ke arah Kota Bogor. Namun, di gardu penjagaan, dia dicegat dan mengeluarkan tembakan.
Akhirnya Camat Sukasari turun tangan mengerahkan warga untuk mengepung Cornelis. Terjadi perlawanan. Warga dengan tongkat bambu dan kayu berhasil memukul kepala Cornelis hingga luka parah. Akhirnya tubuh Cornelis yang terkulai ditangkap dan diserahkan kepada polisi.
Kebakaran ini mengawali kehancuran proyek raksasa Gentisville dan ditengarai memicu Herman dan Cornelis melakukan perampokan berencana.'
Perampokan Herman dan Cornelis Gentis mengegerkan Hindia Belanda dan internasional. Beritanya sempat dimuat di koran Bataaviasch Niuewsblad dan Soerabaijasch Handelsblad dengan judul ‘De Diefstal Bij de Javasche Bank’ (Perampokan di Bank Java). Juga diabadikan dalam ‘Sjair Java Bank Dirampok’ yang ditulis Ferdinand Wingger pada 1902-1903 dan diterbitkan oleh Khong Tjeng Bie & co pada 1922.
Selain itu, Ahmad Beramka pada 1909 menulis kisah perampokan terbesar dalam sejarah di Nusantara dengan aksara Jawi dengan judul ‘Sair Tuan Gentis di Betawi’. Margreet van Till pun sempat menyinggung perampokan Gentis bersaudara ini di dalam bukunya ‘Banditry in West Java 1869-1942’ pada 2011.
“Perampokan itu sudah direncanakan. Mereka ternyata bukan orang sembarangan. Para pelaku adalah pengusaha kakak-adik Gentis, yang belum lama tiba di Hindia Belanda,” ungkap pemerhati sejarah Irman Firmansyah sekaligus Ketua Yayasan Dapuran Kipahare Sukabumi kepada detikX, Rabu, 1 Maret 2023.
Ilustrasi. Herman dan Cornelis dikejar polisi Hindia Belanda.
Ilustrator: Edi Wahyono/detikcom
Irman mengisahkan, awalnya Cornelis bekerja di perusahaan kakaknya, Herman, di kawasan Menteng. Kemudian dia bekerja di empat perusahaan selama dua tahun sebelum menetap di Palabuhanratu, Sukabumi. Kakaknya, Herman, juga memiliki penggilingan padi di Cisaat. Kedua kakak-adik ini banyak memiliki perusahaan, salah satunya adalah Firma Gentis & Co.
Perusahaan itu menerima deposito nasabah dengan iming-iming bunga besar. Salah satu proyek ambisius yang dikerjakan perusahaan itu pada 1900 adalah membangun Kota Resor Internasional di Palabuhanratu dengan nama Gentisville. Palabuhanratu ditetapkan sebagai Kota Pantai melalui Staatsblaad No 33 Tahun 1862. Konon, keluarga Gentis juga berencana membangun kota serupa bernama Gentisland di Cape Town, Afrika Selatan, dan Greenland.
Rencananya proyek Gentisville akan terintegerasi dengan wisata Ciletuh, Cikepuh, dan pemandian air panas di Cisolok. Proyek itu didanai para investor, salah satunya adalah RA Eekhout. Dia adalah seorang tokoh kereta api, mantan perwira angkatan laut, sekaligus direktur Wijnkoopsbaai Exploratie Maatschappij di Palabuhanratu.
Eekhout berhasil menarik minat kepala pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM, perusahaan pengiriman paket kerajaan) berkunjung ke Gentisville. Bahkan Wakil Presiden Dewan Hindia Mr Th Meester, Menteri Pendidikan Agama dan Industri JH Abendanon, Staf Umum KNIL Letkol JAP Grevers, Staf Angkatan Laut WCJ Smit, Kepala Agen KPM EG Taijlor datang membawa istri-istri mereka meninjau proyek tersebut.
Rumah-rumah dibangun memenuhi bukit berupa vila berlantai satu dan dua. Interiornya cukup mahal. Ruang biliar dan ruang hiburan lainnya dibangun sebagai fasilitas bagi penyewa dan pembeli vila. Tapi Agustus 1902, Gentisville terbakar hebat tanpa sebab yang diketahui. Proyek itu tinggal menyisakan puing-puing saja. Inilah awal kehancuran proyek ambisius Gentis bersaudara. “Kebakaran ini mengawali kehancuran proyek raksasa Gentisville dan ditengarai memicu Herman dan Cornelis melakukan perampokan berencana,” jelas Irman.
Suasana De Javasche Bank di Batavia tahun 1901
Foto: Tropenmuseum
Tak hanya itu, dalam laporan keuangan Firma Gentis & Co, terendus bahwa Herman dan Cornelis melakukan manajemen keuangan tidak baik dengan banyak menghabiskan uangnya untuk wanita serta keperluan tidak jelas. Sebelum kejadian perampokan si adik, Cornelis tengah dirawat di Rumah Sakit Cikini, Jakarta. Herman memberi tahu bahwa perusahaan sudah bangkrut dan mengajaknya merampok Javasche Bank.
Beberapa hari sebelum melancarkan aksinya, Herman membeli dua buah pistol. Satu pistol diserahkan kepada Cornelis. Menurut skenario dua bersaudara itu, andai perampokan berjalan mulus, mereka akan kabur sampai Cibadak dengan mobil menuju Palabuhanratu. Lalu keduanya akan kabur ke luar negeri dengan menumpang kapal uap.
Kenyataannya, perampokan itu gagal total seiring dengan hancurnya mimpi Herman dan Cornelis untuk membangun Kota Resort Gentisville. Alih-alih menjadi kaya raya, keduanya malah masuk bui dengan hukuman masing-masing 15 dan 10 tahun penjara sesuai keputusan pengadilan Raad van Justitie di Batavia.
Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho