Ilustrasi: Lutfhy Syahban
Rabu, 5 Oktober 2022Di dunia hitam, nama Henky Tupanwael memang tak sepopuler Mat Peci, Kusni Kasdut, ataupun Johnny Sembiring. Tapi jejaknya sebagai bandit sadis dari 1944 hingga akhir 1960-an cukup disegani para bromocorah dan polisi.
Henky lahir di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), 17 Agustus 1932. Ia merupakan anak seorang serdadu Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL), Jacob Mathias Tupanwael, yang tinggal di Bandung, Jawa Barat. Sejak kecil, ia tumbuh dan berkembang di lingkungan yang keras sebagai anak kolong, sebutan bagi anak-anak serdadu Belanda.
Kenakalannya mulai tampak ketika Henky kecil mencuri sepotong celana yang memaksa dirinya masuk penjara polisi. Bahkan, pada usianya yang masih remaja, Henky sudah berani menembak mati seorang anggota Polisi Militer atau Kempeitai pada 22 Agustus 1944. Akhirnya ia dikirim ke penjara khusus anak-anak di Tangerang.
Daniel Dhakidae dalam bukunya 'Menerjang Badai Kekuasaan' (2016), menceritakan, aksi bocah Henky menembak seorang Kempeitai itu sezaman dengan Kusni Kasdut, yang kala itu masih berkeliaran di terminal bus. Henky menembak mati seorang Kempeitai Jepang karena dianggap penjajah kejam.
Kehidupan di penjara tak membuat kenakalannya hilang. Otak kriminalnya malah meningkat. Selepas dari penjara anak, Henky melakukan beberapa tindakan perampasan, sehingga masuk penjara di Sukamiskin, Bandung, pada usia 19 tahun pada 1951.
Enam tahun kemudian, setelah Henky keluar dari penjara, kejahatannya terus meningkat pada 1957. Tepat pada usianya yang ke-25, ia bersama beberapa kawannya merampok Bank Ekonomi Nasional NV (sekarang Bank Bisnis Internasional) di Jalan Asia Afrika, Bandung.
Kembali Henky dijebloskan ke penjara Banceuy, Bandung, untuk menjalani hukuman 4 tahun 6 bulan atas perampokan itu. Namun, karena tak betah di dalam sel, Henky kabur. Ia sukses melarikan karena penjara pada era Orde Lama masih banyak celah yang bisa dimanfaatkan para tahanan untuk kabur.
Henky berhasil kabur dari penjara Banceuy pada 1963. Ketika aparat keamanan memburunya, Henky sempat merampok rumah seorang hakim di Bandung. Aparat keamanan semakin geram dengan memburu Henky, yang dikenal memiliki tubuh tegap dan atletis.
Dari laporan Tempo edisi 12 Januari 1980, Henky kemudian ditangkap kembali dan ditambah hukumannya menjadi 11 tahun. Kali ini ia dijebloskan ke penjara Alcatraz-nya Indonesia, Nusakambangan, Cilacap. Tapi, belum setahun menghuni sel tahanan di tempat tersebut, Henky kembali kabur.
Ia berenang menyeberangi ganasnya perairan selat Segara Anakan, yang memisahkan Pulau Nusakambangan dengan Jawa. Setelah sampai daratan di wilayah Cilacap, Henky meneruskan pelariannya ke arah barat. Kali ini ia tak kembali ke Kota Kembang Bandung. Tapi bergabung dengan sejumlah temannya di Ibu Kota Jakarta.
Henky Tupanwael
Foto: Repro Buku Johnny Sembiring, Antara Tembok dan Tuhan
Henky sempat bertemu dengan Johnny Sembiring, yang terkenal sebagai penjahat legendaris di sekitar Jatinegara, Jakarta Timur. Saat itu Henky selalu membawa buku ensiklopedia tebal. Berbeda dengan Johnny, yang terbilang rajin membaca, Henky bukanlah kutu buku. Dalam buku biografi 'Johnny Sembiring: Antara Tembok dan Tuhan' (1987) karya Agoes, Johnny bilang buku yang dibawa Henky dibolongi dan diisi sepucuk pistol.
Dengan buku itu, Henky leluasa membawa senjata api. Dalam pertemuannya itu, Henky sempat mengajak Johnny ikut dalam perampokan sebuah bank. Tapi Johnny menolak bergabung karena permintaannya memimpin perampokan itu ditolak Henky. Karena perencanaan perampokan tak matang, Henky tertangkap.
Bersama sejumlah temannya di kawasan Jakarta, Henky berhasil menggasak uang Rp 21 juta dari mobil Bank Nusantara di kawasan Kebayoran Lama. Tak hanya itu, Henky juga menembak mati dua petugas bank itu dengan pistolnya. Tapi tak lama Henky ditangkap bersama komplotannya itu.
Henky sempat ditahan di penjara polisi, tapi beberapa hari kemudian berhasil kabur dengan mengelabui polisi. Tiga belas hari kemudian, Henky ditangkap lagi oleh polisi di suatu tempat di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Selama proses persidangan, Henky dititipkan ke penjara Cipinang. Akhirnya hakim tunggal Pengadilan Istimewa Jakarta, Thamrin Manan, menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Henky pada 1969.
Dalam suatu agenda sidang, hakim Thamrin sempat meminta kepada petugas jaga untuk membuka borgol yang membelenggu Henky. Pasalnya, hakim Thamrin tak sudi mengadili pesakitan yang diborgol tangannya di ruangan sidang. Tapi, sialnya, petugas lupa dengan kunci borgol yang dibawanya.
Tiba-tiba Henky mengangkat tangannya meminta izin kepada hakim agar ia sendiri yang membuka borgolnya. Hakim Thamrin sempat tercengang, tapi ia memberikan izin. Benar saja, dengan mudahnya Henky bisa melepaskan borgol yang membelenggunya itu. Hengky tak kabur, ia duduk kembali di kursi pesakitan hingga akhirnya mendengarkan vonis hukuman mati.
Saat itu, Henky dipindahkan penahanannya ke penjara Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Tapi sejak itu, Henky tak lagi punya niat kabur. Padahal penjara di Pamekasan tak begitu seketat penjara di Nusakambangan atau Jakarta, yang begitu longgar. Tapi hal itu tak dilakukan Henky.
"Bila melarikan diri (dari penjara terakhir), yang menembak bukan polisi, tapi saya sendiri, ayahnya," kata Jacob Mathias Tupanwael, yang sudah menjadi pendeta, seperti dikutip Tempo pada 1980.
Henky menghabiskan masa hidupnya 11 tahun di penjara Pamekasan. Semua upaya agar bebas dari hukuman mati dilakukannya, tapi kandas semua. Termasuk upaya pengampunan atau grasi yang diajukan kepada Presiden Soeharto ditolak pada 2 Januari 1979. Akhirnya, Henky benar-benar menghadapi regu tembak pada 5 Januari 1980.
Kawasan Jl Asia Afrika, Bandung, Jawa Barat, yang menyimpan jejak-jejak aksi Henky
Foto: dok. detikcom
Tepat pukul 04.00 WIB, Henky dibawa 10 orang petugas ke luar penjara. Ia mengenakan kemeja warna cokelat dengan sebuah kancing yang terlepas dan bersandal jepit. Tak lupa di kantong kemejanya terselip sebungkus rokok kretek. Ia sempat menyalakan rokoknya sebelum masuk ke dalam mobil yang akan membawa ke lapangan tembak, sekitar 4 kilometer arah barat dari Pamekasan itu.
Sesampainya di lapangan, tubuh Henky yang gempal diikat di tiang pancang. Di bawahnya terdapat sejumlah daun kelor yang menjadi pijakannya. Ada anggapan saat itu Henky memiliki ilmu kebal. Sebelum eksekutor, jaksa dari Jakarta, memberikan perintah hukuman. Henky sempat berkata kepada jaksa tersebut.
"Terima kasih. Bapaklah yang pertama memberi tahu saya akan pelaksanaan hukuman ini. Mungkin hukuman ini memang setimpal dengan kesalahan saya," ucapnya seraya meminta nasihat kepada sang jaksa untuk terakhir kalinya.
"Tabahkanlah hatimu, Henky. Selamat jalan," ucap salah satu jaksa. Sementara itu, jaksa satunya lagi memberi nasihat. "Banyak cara untuk menghadap Tuhan. Mungkin cara sekarang inilah yang ditakdirkan untuk Henky. Selamat jalan," ucap jaksa kedua.
Lalu, kepala Henky ditutup kain berwarna merah. Tepat pukul 04.30 WIB, jaksa memberikan tanda acungan jempol agar eksekusi mati dimulai. Komandan regu tembak pun segera mengayunkan pedang pora ke arah bawah. Dalam waktu 15 menit, 12 belas bedil menyalak di keheningan malam menjelang salat Subuh itu.
Dua peluru menembus jantung, tiga peluru lainnya mengenai dada bagian tengah, kanan, dan lengan. Tubuh Henky langsung terkulai di tiang pancang. Setelah itu, para pejabat yang hadir, termasuk jaksa eksekutor, kepolisian, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, meninggalkan lokasi. Henky dinyatakan meninggal dunia tepat pada usia 48 tahun.
Sebelum dieksekusi mati, Henky sempat berpesan kepada adiknya, Benny Tupanwael, "Hukuman mati kepada diri saya, saya kira efeknya positif biar penjahat takut dan bertobat. Sebab, risiko dari kejahatannya adalah hukuman mati. Biarlah saya jadi tumbalnya. Asal setelah saya jangan ada lagi kejahatan yang bisa menyebabkan jatuhnya hukuman mati."
Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho