CRIMESTORY
Robot Gedek masih kalah bengis dibanding Babe alias Baekuni. Sepuluh anak jalanan di Jakarta jadi mangsanya dan dimutilasi.
Ilustrasi: Edi Wahyono
Jumat, 23 September 2022Ketika fajar mulai menyingsing, Abdi Alfri berangkat dari rumahnya di kawasan Cakung, Jakarta Timur, untuk bekerja pada Jumat, 8 Januari 2010, sekitar pukul 05.45 WIB. Setiap hari ia melintasi Jalan Inspeksi Kanal Timur, Cakung, yang terletak di sepanjang Banjir Kanal Timur (BKT).
Langkah kakinya terhenti ketika matanya terantuk pada bungkusan kardus kemasan air mineral di pinggir jalan. Kardus itu tergolek tepat di samping jembatan yang menghubungkan Jalan Inspeksi dan Jalan Banjir Kanal Timur, yang masuk wilayah Harapan Indah, Bekasi.
Kardus yang diikat erat dengan tali plastik warna kuning itu menggoda Abdi untuk membukanya. Siapa gerangan yang meninggalkan kardus belanjaan di jalan? Ia bergumam. Dari dalam kardus itu menyembul bungkusan plastik warna hitam yang seolah dipaksakan masuk. Lalat mulai merubung. Ada juga cairan yang merembes di bawah kardus.
Abdi pun membuka ikatan tali pada kardus dan kemudian plastik hitam. Ia terkejut dan meloncat ke belakang. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. Terdapat beberapa potongan tubuh manusia tanpa kepala yang masih segar di plastik itu.
Abdi berteriak memanggil warga yang hilir mudik di jalanan pagi itu. Ia menceritakan penemuan potongan tubuh manusia di dalam kardus. Seketika tempat itu dikerumuni warga yang ingin melihatnya. Sebagian menghubungi polisi. Dalam hitungan menit, polisi dari Polsek Cakung tiba di lokasi.
Setelah melakukan olah tempat kejadian perkara, polisi memastikan isi kardus itu adalah potongan kaki dan tangan bocah berumur 6-12 tahun. Seusai olah TKP, polisi membawa potongan tubuh anak kecil itu ke kamar jenazah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat.
Baekuni atau Babe
Foto: Dok detikcom
Keesokan harinya, masyarakat digegerkan oleh penemuan kepala anak kecil di dalam plastik berwarna putih di Rawa Teratai, tepatnya di pinggir jembatan Warung Jengkol, Kelapa Gading, Cakung. Adalah Bahtiar, warga setempat, yang menemukan potongan kepala itu.
Polisi langsung menyimpulkan dua penemuan potongan tubuh anak lelaki itu terkait. Tim penyelidik dibentuk untuk mengungkap pembunuhan mutilasi tersebut. Pengungkapan kasus itu tak membutuhkan waktu lama.
Polisi menerima laporan salah seorang warga Gang Ketut RT 004 RW 07, Cakung, yang mengaku kehilangan anaknya bernama Ardiansyah berumur 9 tahun. Polisi langsung melakukan tes DNA (deoxyribonucleic acid) di Kedokteran Polri dan visum et repertum dari Instalasi Kedokteran Forensik RS Kepolisian Dr Sukamto. Hasilnya ternyata cocok.
Orang tua korban menceritakan anaknya sering mengamen di Terminal Pulogadung. Korban dan teman pengamennya kerap terlihat bersama Babe, pedagang rokok asongan yang mangkal di depan gedung Pulogadung Trade Centre (PTC). Babe, yang bernama asli Baekuni, kelahiran Magelang, Jawa Tangah, 6 September 1960, dikenal sebagai pengasuh anak jalanan.
Hari itu juga polisi bergerak cepat menangkap Babe di rumah kontrakan milik Kong Ahmad di Gang Masjid Haji Murdalim RT 006 RW 02, Pulogadung, Jakarta Timur. Pria berkulit gelap, berkumis, dan berusia sekitar 50 tahun itu tak berkutik saat digerebek polisi. Ia langsung digelandang ke kantor polisi.
Kepada polisi, Babe menceritakan sudah mengenal bocah itu sejak enam bulan lalu. Ardiansyah sering menginap di rumah kontrakannya. Begitu juga pada Kamis, 7 Januari 2010, Ardiansyah datang ke tempat jualannya. Bocah pengamen yang terbilang ganteng itu dipangkunya. Tak lama, Babe mengajak bocah itu ke kontrakannya.
Baekuni alias Babe divonis hukuman mati dalam kasus sodomi dan pembunuhan anak-anak jalanan.
Foto: Dok detikcom
Setiba di kontrakan, Ardiansyah disuguhi mi rebus. Setelah Ardiansyah makan, sekitar pukul 14.30 WIB, Babe mengunci pintu kontrakan. Ia merayu bocah itu agar mau disodomi. Ajakan itu tentu saja ditolak hingga membuat Babe marah.
Selagi Ardiansyah lengah, Babe lalu menjerat leher bocah itu dengan tali plastik hitam. Tubuh korban pun lemas. Diperkosalah Ardiansyah oleh Babe setelah mendapati korban sudah tidak berdaya.
Setelah meluapkan nafsu bejatnya, Babe meninggalkan jasad Ardiansyah di dalam kamarnya dan menguncinya. Ia kembali ke tempatnya berjualan. Baru pada pukul 17.00 WIB, Babe pulang. Ia langsung meraih golok dan memotong tubuh bocah itu menjadi empat bagian. Potongan tubuh, kaki, dan tangan dimasukkan kardus. Sedangkan potongan kepala dibungkus baju bekas dan dimasukkan kantong kresek.
Jumat, 8 Januari 2010, sekitar pukul 03.00 WIB, Babe mengendap-endap keluar dari kontrakan. Ia menembus dinginnya pagi sambil menenteng dua bungkusan berisi potongan tubuh manusia. Jasad bocah itu dibuang di dua tempat yang berbeda, yaitu jembatan BKT dan Rawa Terate.
Dari pengakuan Babe, ternyata ia pernah menyodomi dan membunuh 10 anak jalanan lainnya sejak 1993 hingga 2010. Hanya, korban yang dibunuh dengan cara dimutilasi baru dilakukan sejak 2007.
Korban sodomi dan mutilasi menimpa empat anak jalanan, yaitu Adi (9 Juli 2007), Rio (14 Januari 2008), Arif (15 Mei 2008), dan Ardiansyah. Beberapa korban dikubur di berbagai tempat selain di Jakarta, seperti di Kuningan (Jawa Barat) serta Magelang, Purworejo, dan Purwokerto (Jawa Tengah).
“Total mayat ada 10. Dia mengaku lagi ada dua korban. Satu di Purwokerto dan satu lagi di Magelang,” kata Direktur Reserse Kriminal Polda Metro Jaya Kombes Idham Aziz saat itu.
Sedangkan Komnas Perlindungan Anak menyebutkan setidaknya ada 15 korban anak yang dibunuh Babe. Pasalnya, di kontrakan Babe ditemukan kumpulan koleksi foto anak jalanan yang disimpan di dalam kotak rokok.
Babe alias Baekuni
Foto: Dok Detikcom
“Kalau ada foto 15 anak, mungkin itu jadi sasaran. Menurut keterangan anak jalanan, foto-foto yang disimpan itu yang disenangi dia (Babe),” begitu komentar Sekjen Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, 19 Januari 2010.
Sudah belasan tahun Babe melakukan perbuatan keji terhadap anak-anak. Perbuatan itu terbongkar karena pelaku melanggar aturan yang ia buat sendiri. “Kenapa Babe tertangkap? Karena dia melanggar ‘SOP’ sendiri. Dia kan biasanya melakukan hubungan seks dengan anak yang di luar pengasuhannya,” jelas psikolog Sarlito Wirawan pada 2010.
Babe juga ternyata berkawan dengan Robot Gedek alias Siswanto, terpidana mati kasus serupa pada 1996-1997. Keduanya saling mengenal ketika sama-sama menjadi tukang ojek pada 1993 di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Hal itu diungkapkan pengacara Babe, Haposan Hutagalung. Namun Haposan menampik bila dikatakan bahwa Babe pernah menjadi salah satu saksi kasus Robot Gedek pada 1997.
Sedangkan menurut pengacara Robot Gedek, Febri Irnansyah, Robot Gedek kenal dengan Babe sejak tinggal di Pasar Senen. Robot Gedek menganggap Babe sebagai senior sesama predator dan homoseksual. Babe jugalah yang dulu sempat menjadi saksi di persidangan Robot Gedek. Tapi Babe, yang dulu menggunakan nama Sunarto, mengaku sebagai pedagang baju bekas di Pasar Jiung, Kemayoran.
”Saya yakin 100 persen mukanya Babe (Baekuni) mirip dengan saksi Robot Gedek, Sunarto, alias Babe,” kata Febri pada 4 Februari 2010.
Siswanto alias Robot Gedek
Foto: Dok Detikcom
Saat itu pihak Polda Metro Jaya berkukuh bahwa Babe dan Robot Gedek sama sekali tidak memiliki keterkaitan. Bahkan keputusan majelis hakim di pengadilan telah memvonis Robot Gedek dengan hukuman mati sesuai alat bukti yang ditemukan.
Robot Gedek meninggal dunia setelah mengalami serangan jantung di LP Batu, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, 26 Maret 2007. Ia meninggal dunia sebelum waktu eksekusi mati itu datang.
Sedangkan Babe telah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 6 Oktober 2010. Hukuman ini di bawah tuntutan jaksa penuntut umum yang mendakwa hukuman mati. Jaksa pun mengajukan banding. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonisnya menjadi hukuman mati pada 13 Desember 2010.
Atas vonis itu, Babe mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya, ia tetap divonis mati oleh MA pada 21 April 2011. Lalu Babe mengajukan peninjauan kembali. MA tetap menolak dan menghukum mati Babe. Kini Babe masih mendekam di LP Cipinang menunggu waktu eksekusi mati tersebut.
Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho