Ilustrasi : Edi Wahyono
Mohamad Siradjudin alias Pak De akhirnya menghirup udara bebas setelah mendekam di hotel prodeo selama 14 tahun. Pria kelahiran Sumenep, Madura, 9 Februari 1932, itu mendapat pembebasan bersyarat pada Hari Raya Idul Fitri, 27 Desember 2000. Pria berumur 68 tahun itu keluar dari pintu gerbang Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang, Jakarta Timur.
Pak De sebelumnya menjalani masa tahanan karena tuduhan pembunuhan model kondang Ditje Budiarsih (35 tahun) pada 8 September 1986. Pensiunan tentara berpangkat terakhir pembantu letnan satu (peltu) itu divonis hukuman seumur hidup melalui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bernomor 32/Pid/B/1987/PN.JS, 2 Juli 1987.
Mohamad Siradjudin alias Pak De di sel tahanan PN Bogor pada 1987.
Foto: Nanang Baso/Tempo
Kalau ada apa-apa, dia selalu cerita ke saya.”
Pak De sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan kasasi ke Mahkamah Agung, namun ditolak. Setelah Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, pria yang juga dipanggil dengan nama Romo atau Sirad itu mendapatkan grasi dan pengurangan hukuman menjadi 20 tahun penjara di era Presiden BJ Habibie pada 1999. Baru pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ia mendapatkan pembebasan bersyarat.
Dari sejumlah sumber yang dirangkum detikX, Siradjudin masuk tentara Angkatan Darat pada 1945. Ia berdinas di Depo Batalion Divisi VII Untung Surapati di Malang, lalu pindah ke Surabaya. Ia mengakhiri karier militer pada 1961. Sejak itu, ia mulai berdagang ban bekas, membuka bengkel, dan beternak ayam Bangkok. Tak lama, usahanya bangkrut.
Pria berperawakan kecil dengan kumis yang melintang itu ternyata sudah lima kali menikah. Terakhir ia menikahi Fatma, penjual jamu racikan di Surabaya. Pak De belajar ilmu perdukunan dari mertuanya yang terakhir itu. Setelah dirasa cukup menimba ilmu perdukunan, Pak De memboyong istri dan anak-anaknya pindah ke Ibu Kota Jakarta. Ia memilih tempat tinggal di kawasan Susukan, Pasar Rebo, Jakarta Timur, sejak 1979. Di tempat barunya itu, Pak De menjalani profesi dukun dan berjualan barang-barang klenik.
Ada saja ‘pasien’ yang datang untuk ‘berobat’ kepadanya. Salah satu ‘pasien'-nya itu adalah Ditje Budiarsih. Peragawati kondang itu bertemu dengan Pak De pada Maret 1986. Ia mengeluhkan tentang penyakit yang diderita suaminya, Budi Mulyono. Ia mendapatkan saran agar datang ke tempat Pak De dari teman arisannya bernama Yayuk.
Bagi Pak De, Ditje adalah ‘pasien’ yang sangat spesial. Perempuan cantik dan mungil kelahiran Jakarta, 2 Desember 1950, itu adalah putri Soewardjo, Kepala Keuangan Kota Praja Jakarta. Ia masih memiliki darah bangsawan dari ibunya, Rukmih. Kakeknya, Raden Demang Wirahadikusumah, menjabat patih di Batavia. Buyutnya, Raden Aria Adipati Wira Adi Dedaha, adalah bupati di Sukapura, Tasikmalaya.
Lulus SMA, Ditje sering mengikuti kontes kecantikan dan fashion show di Jakarta. Puncaknya, Ditje dinobatkan sebagai Ratu Kacamata pada 1977 dan Ratu Kebaya pada 1979. Ia dikenal sebagai bintang iklan, seperti iklan pembersih lantai Axi, Fuji Film, dan Vitamin E. Ia menjadi peragawati di rumah busana dan salon kecantikan milik Martha Tilaar sejak 1982.
Berkas putusan pengadilan atas Mohamad Siradjudin alias Pak De
Foto : Istimewa
Ditje menikah dengan pengusaha tua kaya bernama Budi Mulyono pada 1970. Budi adalah duda pensiunan tentara berpangkat letnan dua. Ia pernah bekerja di Pusat Film Nasional Indonesia (Perfini). Tapi kekayaannya didapat sejak banyak menerima proyek pembangunan setelah bekerja dengan Menteri Binamarga Mayjen Hartawan (Kabinet Dwikora I) periode 1964-1966.
Boleh dibilang, kehidupan Ditje bak sosialita milenium saat ini. Hidupnya glamor, memiliki mobil, rumah, serta barang mewah lainnya kala itu. Tapi, sejak suaminya sakit-sakitan dan lumpuh, otomatis Ditje menjadi penopang hidup keluarganya. Salah satunya mendirikan salon kecantikan ‘Puri Citra Ayu’ di kawasan elite Kalibata Indah, Jakarta Selatan.
Karena ingin sukses dan lancar bisnisnya, juga ‘mengobati’ penyakit suaminya, Ditje menjumpai Pak De. Pertama kali datang, Ditje diminta Pak De agar memperbaiki ibadahnya terlebih dulu. Setelah itu, Ditje diberi jimat penjaga rumah berupa sebilah keris pendek yang terbuat dari gading gajah. Berikutnya, Pak De memberikan jimat keselamatan yang dibungkus kain sutra hijau kepada Ditje.
Pak De juga memberi air putih yang telah dibaca-bacakan doa-doa sebagai ‘obat’ untuk suami Ditje, Budi Mulyono. Lama-kelamaan, Ditje akhirnya bertanya mengenai nasihat-nasihat lainnya, termasuk bagaimana cara melariskan usaha salonnya. Hubungan Ditje dan guru spiritual barunya itu seperti keluarga.
Pak De bersama anak-anaknya pernah beberapa kali berkunjung ke rumah Ditje dan Budi Mulyono di kawasan Duren Tiga. Saking dekatnya, Ditje sering curhat kepada Pak De. “Kalau ada apa-apa, dia selalu cerita ke saya,” kata Pak De setelah bebas dari penjara seperti dikutip Koran Tempo, edisi 27 Februari 2002.
Salah satu curhatannya, Ditje mengaku dekat dengan pengusaha-pengusaha besar yang merupakan kerabat dekat Presiden Soeharto. Di antaranya Sudwikatmono dan Ind
Suwoto setelah pensiun menjadi pengusaha di bidang penerbangan. Suwoto ternyata memiliki hubungan bisnis jual-beli barang-barang klenik dengan Pak De. Menurut Pak De, Suwoto selalu meminta Ditje menemani para pejabat tertentu agar proposal proyek-proyeknya lolos memenangi tender.
Empat hari sebelum terbunuh pada 4 September 1986, Ditje sempat mengaku bertengkar dengan Suwoto. Gara-gara dilarang mengikuti show bersama temannya di Hotel Borobudur, Ditje ribut dengan Suwoto.
Ditje Budiarsih
Foto: dok. Perpustakaan Nasional
Ketika terjadi pembunuhan Ditje, Pak De mengaku sedang berada di Jalan Haji Husen, Susukan, Pasar Rebo. Karena itu, ia merasa tuduhan kepadanya sebagai pembunuh Ditje sangat janggal. Sebab, dari Susukan, Pasar Rebo, ke Jalan Dupa tidak mungkin ditempuh dalam satu jam, apalagi kawasan Cililitan macet pada saat itu.
Kasus pembunuhan Ditje ditangani tim gabungan Polda Metro Jaya dan Polres Jakarta Selatan yang dipimpin oleh Letkol Muzirman (Sesdit Serse Polda Metro Jaya), Letkol Nugroho Jayusman (Kapolres Jakarta Selatan), Mayor Roni (Kapolsek Mampang), dan Letda Bereh (Kanit Serse Polsek Mampang). Mereka begitu antusias mengungkap misteri kematian Ditje.
Tim ini disebut-sebut sempat menyelidiki kedekatan Ditje dengan seseorang bernama X. Ia disebut mantan karyawan perusahaan swasta yang memiliki wajah tampan. X, yang tinggal di kawasan Jakarta Selatan, mengetahui hubungan gelap Ditje dengan seorang bekas pejabat dan pengusaha lainnya. Hal itu digunakan X untuk memeras Ditje. X sering meminta uang kepada Ditje. X jugalah yang disebutkan meminjam uang Rp 10 juta kepada Ditje.
Tim polisi juga telah melakukan penyelidikan mengenai kedekatan Ditje dengan bekas pejabat tersebut. Kedekatan Ditje dengan mantan pejabat itu pun diketahui keluarga secara samar-samar. Tapi di ujung drama tersebut, Pak De-lah yang dijadikan sebagai tersangka atas pembunuhan Ditje. “Pak De tidak membunuh Ditje,” kata itu yang sering diulang-ulang Pak De begitu keluar dari penjara akhir Desember 2000.
Untuk memulihkan nama baiknya, Pak De dibantu kuasa hukumnya, Andar M Situmorang, sempat mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung pada Februari 2002. Upaya membersihkan namanya itu kandas. PK ditolak karena tidak ada novum (bukti baru).
Penulis: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban