CRIMESTORY

Nasib Malang Aurelia, Calon Pengibar
Sang Saka

“Kami berusaha untuk ikhlas walau itu berat.”

Ilustrasi: Edi Wahyono

Jumat, 16 Agustus 2019

Raut wajah Aurelia Qurrota Aini, 16 tahun, terlihat pucat. Siswi kelas XI SMA Al-Azhar di Bumi Serpong Damai, Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, itu tampak lelah. Pada Rabu, 31 Juli 2019, pukul 19.30 WIB itu, gadis cantik berkerudung tersebut baru saja tiba di rumahnya di Taman Royal 2, Cipondoh, Kota Tangerang.

Sudah 22 hari, sejak 9 Juli 2019, Aurelia terpilih menjadi calon anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Kota Tangsel. Setiap hari ia berangkat dari rumahnya ke Serpong yang berjarak sekitar 19-20 Km. Ia selalu pergi pukul 05.00 WIB dan pulang pada pukul 18.00-19.00 WIB untuk latihan pengibar bendera.

Tapi Rabu itu tak seperti biasanya. Aurelia tak ceria. Ia sempat bercerita kepada ibunya, Sri Wahyuniarti, dalam latihan hari itu, ia sempat ‘main air’ di kolam renang. Ia mengatakan ada empat temannya sesama calon anggota Pakibraka yang dikenai hukuman karena melakukan kesalahan. “Kakak (Aurelia) berzikir, jangan sampai Kakak buat kesalahan. Alhamdulilah, bukan kakak yang salah,” kata Sri mengulang ucapan putrinya di kediamannya Jumat, 2 Agustus 2019.

Sri, yang juga pernah menjadi anggota Paskibraka, sangat mafhum anaknya juga dihukum. Pasalnya, calon anggota Paskibraka yang tengah digembleng sangat menjaga kekompakan atau jiwa korsa. Satu bersalah, semua kena hukuman. Saat itu Sri tak menanyakan lebih detail setelah melihat putrinya lelah dan hendak beristirahat.

Lapangan di Balai Kota Tangaerang Selatan ini adalah lapangan yang pertama kali digunakan anggota Paskibraka Tangsel untuk berlatih.
Foto: Ibad/detikX


Nah, si anak itu (Aurelia) bilang, ‘Cuma sedikit, Mah’. Itu kondisi si anak awalnya curhat ke ibunya, tapi ibunya merespons seperti itu. Pada akhirnya si anak dalam kondisi sulit, komplain ke pelatih kan bisa dihukum lagi.”

Pukul 19.30 WIB, Aurelia masuk kamar tidur orang tuanya, Farid Abdurrahman dan Sri. Biasanya ia tidur di kamarnya sendiri. Keduanya melihat Aurelia tertidur berselimut tebal. Merasa ada yang tak beres, Sri sempat mengecek suhu tubuh anaknya. Suhu tubuh Aurelia panas. “Kami tidak membangunkan, kami masih positive thinking itu proses metabolisme tubuh karena melakukan kegiatan fisik yang lebih dari biasanya,” ungkap Sri lagi.

Aurelia sempat terbangun karena mendengar bunyi alarm pada Kamis, 1 Agustus 2019, pukul 01.00 WIB. Tapi Sri, yang juga terbangun, meminta putrinya tidur kembali karena harus bangun pada pukul 04.00 WIB seperti kebiasaan Aurelia bangun. Alarm jam berbunyi kembali antara pukul 03.00-04.00 WIB. Sri membuka matanya dan melihat Aurelia bangun dan keluar dari kamar. Putrinya itu menuju dapur. Ia selalu menulis diary latihan yang ditugaskan pelatihnya. Tapi tiba-tiba, di ruang itu, Aurelia ambruk. Tubuhnya terempas ke lantai.

Bunyi benturan keras dari arah dapur itu membuat Sri terbangun dan melihat apa yang terjadi. Sri setengah berteriak memanggil nama Aurelia. Hal itu jugalah yang membangunkan Farid. Aurelia tergeletak di lantai tak bergerak. Sekitar 5 menit lebih kedua orang tuanya mencoba membuat Aurelia siuman. Tapi tubuh gadis itu tak juga bergerak sedikit pun.

Farid dan Sri akhirnya membawa putrinya itu ke RS EMC Tangerang. Aurelia masuk ruang Unit Gawat Darurat. Dokter dan perawat memasangkan alat bantu napas dan pacu jantung, tapi tubuh Aurelia tak merespons. “Dokter UGD mengatakan fungsi otaknya tak aktif, ikhlaskan (kata dokter). Kami minta maksimalkan. Dibantu alat pacu jantung tak bereaksi, Aurelia tidak ada pas 1 Agustus 2019,” ucap Sri sambil menangis.

Kematian Aurelia pun cepat tersebar ke sejumlah media sosial dan media massa. Bahkan, informasi yang beredar saat itu, kematiannya akibat tindak kekerasan saat latihan Paskibraka. Kasus itu menjadi sorotan publik, termasuk Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tangsel, Airin Rachmi Diany dan Benyamin Davnie. Juga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang meminta agar kasus itu diselidiki.

Orang tua Aurelia yakin kematian putrinya akibat akumulasi kelelahan 22 hari latihan dan sangat minim istirahat. Apalagi, sebelum kematiannya, Aurelia harus menyalin ulang diary selama 22 hari. Sebab, semua diary anggota calon Pakibraka dirobek pelatih dan pembina dari Purna Paskibraka Indonesia (PPI), karena ada peserta yang malas membuat catatan harian.

Kabag Humas SMA Al-Azhar BSD Yosep Hermawan Mustopa
Foto: Ibad/detikX

“Buku harian tanggal sebelumnya harus disalin ulang. Sudah tak terkejar waktunya, 22 hari dengan minimal dua halaman. Jadi sekian puluh halaman dengan waktu singkat tak terkejar. Dia menuju dapur dan terjatuh, tidak membentur apa pun,” jelas Sri lagi.

Sri mengakui Aurelia sering bercerita sepulang latihan Paskibraka atau melalui pesan WhatApps mengenai beratnya latihan. Sebenarnya ceritanya itu bukan dalam rangka keluh kesah, tapi Aurelia sudah tahu konsekuensi yang dihadapinya mengikuti latihan Paskibraka. Hanya, Sri menganggap hukuman disiplin, seperti push-up dengan tangan terkepal, sehingga membuat luka lebam pada lutut dan bagian luar kepalan tangan anaknya, sudah di luar kewajaran. Apalagi untuk anak perempuan.

Bahkan ada luka lebam akibat cubitan yang sempat ditunjukkan kepadanya. “Saya bilang nggak biasa kalau untuk Paskibraka. Dia (Aurelia) bilang biasa, itu biasa. Saya sempat bilang mau ngobrol sama kakak-kakak pelatihnya (PPI), karena saya juga Purna Paskibraka. Tapi dia bilang jangan, karena itu saya bertahan tak menemuinya,” imbuh Sri.

Sementara itu, KPAI menilai ada tindakan di luar standard operating procedure (SOP) latihan Paskibraka. Tindakan itu dinilai berlebihan. Hal itu diketahui dari pengakuan orang tua Aurelia. Dari pengakuan Aurelia kepada orang tuanya, calon anggota Pakibraka sering disuruh push-up dengan tangan terkepal. Lalu ada cerita Aurelia kepada orang tuanya bahwa dia sempat ditampar seniornya di Pakibraka. Hal inilah yang membuat ibunya ingin mempertanyakan perihal itu, karena tidak ada dalam pedoman latihan di Paskibraka.

Sayangnya, Aurelia merasa ketakutan kalau ibunya bertanya kepada para pelatih dan pembinanya. “Nah, si anak itu (Aurelia) bilang, ‘Cuma sedikit, Mah’. Itu kondisi si anak awalnya curhat ke ibunya, tapi ibunya merespons seperti itu. Pada akhirnya si anak dalam kondisi sulit, komplain ke pelatih kan bisa dihukum lagi,” kata komisioner KPAI Jasra Putra kepada detikX pekan lalu.

Selain itu, anggota Paskibraka disuruh memakan jeruk beserta kulitnya. Juga tindakan pelatih atau pembina yang merobek semua diary yang ditulis selama 22 hari, lalu meminta ditulis ulang. Hal itu membuat waktu istirahat anak berkurang. Tambahan menulis ulang diary dianggap orang tua Aurelia sebagai tindakan ‘berlebihan dan latah’ para senior. “Itu bahasanya orang tua, itu ‘senior’ yang melatih di situ. Kalau kita lihat Permen (Peraturan Menteri) No 65 Tahun 2015, oleh Menpora kan ada tuh pedoman tata cara penyelenggaraan Paskibraka,” jelas Jasra.

Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Tangsel mengatakan latihan Paskibraka di bawah kendali PPI sejak 9-22 Juli 2019 di Lapangan Pusat Pemkot Tangsel. Lalu mulai 22-23 Juli, latihan sudah melibatkan pelatih dari TNI AD, yaitu dari Batalion Kavaleri 9 Serpong dan PPI sebagai pendamping. Baru pada 1-16 Agustus, latihan dipusatkan di Lapangan Cilenggang, Serpong, di depan kantor Dukcapil Kota Tangsel.

“Intinya, kita hanya memfasilitasi saja, menyediakan fasilitas, terus melakukan penjadwalan, memberikan perlengkapan, seperti sepatu, seragam, makanan, dan lainnya. Mekanisme pelatihan kita serahkan kepada PPI,” kata Kepala Bidang Pengembangan Dispora Kota Tangsel Endang kepada detikX di Tangsel, Rabu, 7 Agustus 2019. Ia menjelaskan, latihan Paskibraka setiap hari dimulai pukul 07.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Dispora tidak memerintahkan lebih dari jam yang dijadwalkan tersebut. “Tapi, kalau ada jadwal setelah itu oleh pendamping, kita tidak tahu,” ucapnya.

Suasana tempat latihan Paskibraka di Lapangan Cilenggang, Serpong, Tanggaerang Selatan.
Foto: Ibad/detikX

Tim Dispora dan Dinas Kesehatan, lanjut Endang, juga memantau latihan setiap harinya. Ia mengatakan, selama 22 hari tidak menemukan hal-hal yang janggal. Selama ia memantau, tak ada keluhan dari anak-anak yang sedang berlatih Paskibraka. Wali Kota Tangsel Airin juga sempat menyaksikan latihan. “Saya bertanya kepada anak-anak, ‘Eh, gimana, capek nggak lo? Kurang nggak makanannya? Apakah latihannya terlalu berat? Masih semanggat nggak?'” ujar Endang.

Sebelumnya, PPI Tangsel membantah terjadi kekerasan secara fisik selama pelatihan dan pendidikan Paskibraka. Saat ini ada 50 calon anggota Paskibraka yang tengah mengikuti latihan sejak 9 Juli hingga 10 Agutus 2019. Pada 11 Agustus 2019, peserta latihan itu akan dikukuhkan sebagai Paskibraka. PPI Tangsel menyatakan latihan Paskibraka sudah sesuai dengan standar dan prosedur serta adanya pendampingan pelatihan baris-berbaris dari TNI dan Dispora. Kalaupun ada push-up, itu merupakan hukuman bagi peserta yang melakukan kesalahan, tapi tidak dilakukan tiap hari.

“Bukan push-up mengepal. Kalau kita namanya menganyam, ya kami menyebutnya hukuman yang terberat. Saya rasa sifatnya bukan hukuman yang dilakukan tiap hari berlarut-larut. Saya rasa, kalau bekas, ya mungkin. Tapi pola latihan kita sudah sesuai dengan standar yang kita buat,” kata Ketua PPI Tangsel Warta Wijaya, Sabtu, 3 Agustus 2019.

Terkait penyobekan buku diary Aurelia, lanjut Warta, semua buku peserta juga dirobek ketika ada temannya yang malas menulis buku diari. Isinya terkait kegiatan sehari-hari selama pelatihan. Semua dirobek agar para peserta latihan kompak. “Kami merasa buku itu penting. Jadi ada teman berkali-kali tidak mau mengerjakannya dan malas. Jadi kami ada teman pelatih ini masih ranah pembinaan untuk mengingatkan. Ibaratnya cuma teguran,” imbuhnya.

Sementara itu, Polres Kota Tangsel pun menutup kasus kematian Aurelia karena tak ada cukup bukti kuat yang menunjukkan adanya tindak kekerasan secara fisik selama pelatihan. Polisi sudah meminta keterangan kepada 30 saksi terkait kasus ini. Terkait laporan Aurelia dicubit, polisi tak menemukan keterangan.

"Kita tidak menemukan keterangan dicubit, itu tidak ada. Kalau keterangan langsung bahwa si A memukul, si A mencubit, itu tidak ada," kata Kepala Polres Tangsel AKBP Ferdi Irawan dalam keterangan pers yang didampingi Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany dan Ketua Umum KPAI Seto Mulyadi di Mapolres Tangsel di Jalan Promoter, Serpong pada Selasa,13 Agustus 2019.

Namun polisi membuat catatan yang menjadi rekomendasi kepada pihak Pemkot Tangsel, PPI, dan Dispora supaya diadakan evaluasi dari sistem pelatihan dan pembinaan kepada para calon anggota Paskibraka. “Barangkali yang perlu diperbaiki, yang sifatnya pembinaan oleh senior PPI yang dirasa berlebihan untuk meningkatkan disiplin para siswa ini. Ini yang perlu diperbaiki. Mungkin tidak perlu ada lagi sikap push-up yang membuat tangan hitam,” jelas Ferdi.

Atas kasus itu, Farid dan Sri juga tidak akan menempuh jalur hukum atas kematian anaknya yang tengah mengikuti pelatihan calon anggota Paskibraka itu. Mereka juga menolak jasad putrinya diautopsi untuk mengetahui apa penyebab sebenarnya yang membuat Aurelia meninggal dunia. “Kami berusaha untuk ikhlas, walau itu berat. Tapi kita ada catatan-catatan yang harus diubah dari sistem latihan yang sudah mereka lakukan, itu saja. Kalau sudah masuk ranah hukum, bagi saya dan istri, terlebih anak saya, pasti nggak mau, karena dia cinta Paskibraka. Cukup bagi Aurelia saja, tidak ada korban yang lainya,” pinta Farid.


Reporter/Penulis: Ibad Durrohman, Adhi Indra Prsetya
Redaktur: M Rizal
Desainer: Luthfy Syahban

[Widget:Baca Juga]
SHARE