Crime Story

Jejak Cecep,
Mafia Narkoba Kongsi Freddy Budiman

Mafia narkoba satu ini lolos dari jerat hukum kasus pabrik sabu di penjara. Tapi eksekusi mati masih menantinya.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Kamis, 4 April 2019

Gembong narkoba Freddy Budiman telah dieksekusi mati pada akhir Juli 2016. Kini beberapa terpidana mati narkoba masih menunggu pelaksanaan eksekusi. Salah satunya Cecep Setiawan Wijaya alias Asion, 54 tahun, yang tinggal menanti eksekusi mati.

Freddy dan Cecep punya jejak kerja sama. Dua mafia narkotika ini pernah berkongsi menjalankan bisnis narkoba di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II-A Narkotika Jakarta di Jalan Raya Bekasi Timur, Cipinang, Jakarta, pada 2013.

Cecep, yang menghuni kamar 309 Blok S, sebenarnya menjadi narapidana hukuman 20 tahun penjara atas kasus narkoba pada 2010. Tapi pengapnya sel penjara tak lalu membuatnya jera. Ia malah semakin nekat berbisnis barang haram tersebut.

Bersama Freddy pada Juni-Juli 2013, ia malah memproduksi narkotika golongan 1 jenis sabu, yang dibantu Haryanto Chandra dan Victor Sam Andrias. Aksi mereka juga menyebabkan Wakil Kepala Pengamanan Lapas Narkotika itu, Gunawan Wibisono, terseret.

Freddy Budiman
Foto: Arbi Anugrah/detikcom


Tolong ambil titipan, nanti ada orang yang akan ambil barang."

Dalam kasus pabrik sabu, seperti di berkas putusan perkara yang dilihat detikX, Freddy bertindak sebagai pemasok bahan dan peralatan untuk memproduksi sabu ke dalam lapas. Ia memasukkan bahan baku secara bertahap pada Juni 2013. Hampir 15 kilogram ephedrine ia masukkan ke dalam lapas. Ephedrine merupakan bahan baku (prekursor) sabu. Sedangkan untuk katalisator atau campurannya, Freddy menyusupkan 12 kilogram red phospor dan 6 kilogram Iodine dalam microwave.

Mereka menyulap sel Victor di Kamar No 16 Blok Pamsus sebagai pabrik sabu. Sebelumnya, Freddy, Cecep, dan Victor membuat kesepakatan bagi hasil terlebih dahulu. Perjanjiannya, setiap 1 kilogram bahan bisa dijadikan 500 gram sabu. Maka hasilnya, 300 gram untuk Freddy, 200 gram dibagi dua untuk Cecep dan Haryanto.

Saat itu diprediksi 15 kilogram ephedrine akan menghasilkan 2,1 kilogram sabu dengan nilai taksiran Rp 2 miliar. Kenyataannya, saat diproduksi, dari 1 kilogram ephedrine hanya menghasilkan 300-400 gram sabu. Melihat hal itu, Cecep tak mau lagi memproduksi sabu karena hasilnya tak seimbang dengan kesepakatan.

Bahan lainnya, seperti red phospor dan Iodine, tak dikembalikan kepada Freedy, tapi disimpan di Balai Latihan Kerja (BLK) Lapas Narkotika. Tapi rupanya sabu yang telah dihasilkan dari bahan ephedrine itu diedarkan oleh Freddy.

Buktinya dari hasil penangkapan Maryanto, yang tengah mengambil paket sabu seberat 2.625 gram (2,6 kg) di perusahaan ekspedisi Sakura Express di Surabaya pada 1 Agustus 2013. Dari penyelidikan polisi, sabu itu ternyata hasil buah karya Cecep, Haryanto, dan Victor.

Saat itu petugas Lapas Narkotika Jakarta pun melakukan penggeledahan. Dan ditemukanlah semua bahan baku pembuat sabu yang disembunyikan di ruang BLK lapas itu pada 5 Agustus 2013. Setelah diuji di Laboratorium Forensik (Puslabfor) Bareskrim Polri pada 22 Agustus 2013, semua sabu yang berhasil disita dari Surabaya identik dengan semua bahan-bahan yang disimpan Cecep.

Tak beberapa lama kemudian, Freddy sebagai otak utama pabrik sabu ini ditangkap di dalam penjara. Begitu juga dengan Cecep, Haryanto, dan Victor. Ketika tengah disidik dalam kasus pabrik sabu, rupanya Cecep dengan santai terus mengontrol pergerakan kaki tangannya di luar penjara.

Cecep Setiawan Wijaya alias Asiong
Foto: Grandyos Zafna/detikcom

Cecep mengendalikan penjualan sabu seberat 6.000 gram (6 kg) seharga Rp 4,2 miliar pada 6 Januari 2014. Saat itu, ia memesan sabu itu kepada seseorang bernama Jhoni (DPO). Sabu yang dibelinya itu akan dijual lagi kepada bandar narkoba lainnya.

Dalam mengendalikan bisnis narkobanya ini, Cecep dibantu oleh Ralef Patti, yang tak lain salah satu sopir anaknya, dan Suswanto. Ia mengontak sopir anaknya itu agar menemui orang untuk mengambil barang di pom bensin Shell di Jalan Pluit Selatan, Penjaringan, Jakarta Utara.

"Tolong ambil titipan, nanti ada orang yang akan ambil barang," pinta Cecep melalui telepon selulernya dari dalam jeruji penjara kepada Ralef. 

Begitu tiba di lokasi, Ralef dihampiri mobil Kijang Innova warna hitam di hadapannya. Dari dalam mobil itu terlihat dua orang penumpang, yang ternyata adalah Lai I Tsao dan Yu Hongyan. Salah satu di antara mereka langsung menyerahkan bungkusan plastik berwarna abu-abu sambil berkata, "Ini barang titipan."

Begitu Ralef akan mengambil barang itu, ia terkejut karena tiba-tiba delapan polisi menyergapnya. Bungkusan plastik itu pun terjatuh. Ralef kaget, ternyata bungkusan itu berisi 3 kg sabu. Kepada polisi, ia mengaku tak kenal dua orang yang ditemuinya untuk mengambil titipan karena hanya disuruh Cecep.

Kedelapan polisi yang menyergapnya berasal dari tim Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri. Polisi ternyata telah menerima informasi akan ada transaksi narkoba itu. Cecep kembali dijemput paksa oleh polisi dari Lapas Narkotika Jakarta untuk disidik. Ia dikenai pelanggaran Pasal 132 ayat 1 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan hukuman mati kepada Cecep karena memperjualbelikan narkotika golongan I, yaitu sabu, di atas 500 gram. Keputusan PN Jakarta Utara yang dipimpin oleh Inrawaldi ini dituangkan dalam keputusan No. 573/Pid.Sus/2014/PN.Jkt.Utr pada 7 Oktober 2014. 

Cecep sempat melakukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Tapi keputusan PT DKI Jakarta justru menguatkan keputusan PN Jakarta Utara sesuai surat keputusan Nomor 313/PID/2014/PT DKI yang ditetapkan pada 25 November 2014 dan dibacakan oleh majelis hakim yang dipimpin oleh Chairil Anwar pada 16 Januari 2015. Hingga di tingkat kasasi, permohonan Cecep bisa lolos dari hukuman maut itupun ditolak Mahkamah Agung.

LP Cipinang
Foto: Edo/detikcom

Sementara itu, dalam kasus pabrik sabu bersama Freddy, Cecep disidangkan di PN Jakarta Timur. Saat itu majelis hakim PN Jakarta Timur yang dipimpin oleh Siti Rochmah pada 6 September 2018 memutuskan Cecep tidak bersalah dan membebaskan dari dakwaan. Hal ini sesuai keputusan PN Jakarta Timur bernomor 413/Pid.Sus/2018/PN.Jkt.Tim.

Atas keputusan itu, jaksa sempat melakukan kasasi ke MA. Tapi keputusan kasasi MA juga membebaskan Cecep dari semua tuntutan sesuai surat keputusan MA bernomor 3321 K/PID.SUS/2018. Perkara dengan nomor surat pengantar W10.U5/10028/HK.01/XI/2018 diketok palu hakim MA pada 11 Maret 2019.

Yang menjadi pertimbangan hakim di MA, Cecep telah menjalani hukuman 20 tahun penjara dalam kasus narkoba sesuai putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta bernomor 274/Pid/2011/PT.DKI pada 25 Juli 2011 dan diperkuat putusan kasasi MA No.218 K/PID/2012. Juga Cecep sudah ditetapkan sebagai terpidana mati dalam kasus jual-beli sabu seberat 6 kg di PN Jakarta Utara. 

Sementara itu, mantan Wakil Pengamanan Lapas Kelas II-A Narkotika Jakarta Gunawan Wibisono diganjar 8 tahun penjara. Adapun Haryanto Chandra hingga kini belum dipublikasikan proses hukumannya, begitu juga dengan Victor. Walau bebas dalam kasus ini, Cecep tetap akan eksekusi hukumanb mati di depan regu tembak dalam kasus bisnis narkobanya.


Reporter/Penulis: Gresnia F Arela
Redaktur: M. Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

[Widget:Baca Juga]
SHARE