INTERMESO
"Bandar-bandar judi itu sampai menginap di hotel yang sama dengan kami."
Ilustrasi: Kiagoos Aulianshah
Jumat, 28 April 2017Malam itu adalah Jumat malam yang “keramat”. Di Kampung Tambora, Jakarta, di Kampung Sekeloa, Bandung, hingga Dusun Kramen, belasan kilometer dari Yogyakarta, warga merubung pesawat televisi, memelototi “adu jotos” antara Ellyas Pical, 25 tahun, dan Ju Do-chun. Jalanan lengang.
Sudah delapan ronde Elly dan lawannya dari Korea Selatan itu bertukar tinju. Chun, sang juara bertahan kelas super terbang versi International Boxing Federation (IBF), yang terus menekan sejak awal, mulai kehabisan “bensin”. Wasit kondang Joe Cortez berkali-kali memisahkan Chun dengan Elly, yang sama-sama merangkul.
Beberapa saat sebelum ronde kedelapan berakhir, Chun mengambil inisiatif menyerang, maju mendekati Elly sembari melontarkan straight kanan. Elly memiringkan badannya sambil menepis pukulan Chun. Dalam sekian detik, Elly cepat membalas dengan hook kanan, tapi pukulannya hanya menerpa angin.
Pukulan susulannya-lah, hook kiri yang menghunjam telak rahang Chun, yang menamatkan perlawanan sang juara bertahan. Chun, yang empat tahun lebih muda dari Elly, kontan tersungkur. Hingga selesai Joe Cortez menghitung, Chun tak sanggup bangun lagi.
Sorak-sorai penonton membahana. Melihat Jo Do-chun tergeletak, ratusan penonton sontak mendekat dan mencoba memanjat ring. Hanya sebagian yang berhasil naik. "Elly dipikul keliling ring," Khairus Sahel, pelatih Elly saat itu, menuturkan kepada detikX, di Sasana Amrin Tan, Tangerang, pekan lalu. Lebih dari 12 ribu penonton yang memadati Istora Senayan, Jakarta, pada Jumat, 3 Mei 1985, itu gegap-gempita memekikkan "Elly…! Elly…! Elly…!"
Ellyas Pical bersama Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi
Foto: Rengga Sancaya/detikcom
Hanya orang tertentu saja yang memiliki pukulan seperti itu."
Johny Riberu, pelatih EllySekilas sorak sorai itu mirip pekik fans petinju legendaris Muhammad Ali: Ali…! Ali...! Ali...! setiap petinju Amerika Serikat itu mencundangi lawannya. Kebetulan saja Elly sangat mengagumi Ali. Elly menjadi petinju Indonesia pertama yang menjadi juara dunia untuk olahraga adu jotos. Pada malam itu, Elly menjadi pahlawan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sepekan kemudian, Presiden Soeharto mengundang Elly, pelatihnya Simson Tambunan, dan promotor Boy Bolang ke kantornya, Bina Graha. Presiden Soeharto memberinya hadiah gelang jam emas.
Perjuangan Elly meraih gelar juara dunia tak mudah. Khairus, pelatih karismatik bertubuh mungil, bersama Simson Tambunan mempersiapkan Elly dengan sangat ketat. "Saya adopsi latihan fisik petinju-petinju Thailand dan Korea," kata Khairus. Kecepatan Elly pun ditempa dengan meniru latihan petinju-petinju Meksiko. "Kami kombinasikan speed and power, kecepatan dan kekuatan. Itu kuncinya."
Khairus bersama Simson tak hanya menempa Elly di Sasana Garuda Jaya, Pancoran, milik Rio Tambunan, tempat Elly bergabung. Elly dan tim menyambangi Jawa Timur, gudang petinju nasional saat itu. Kota Batu yang sejuk pun dipilih menjadi tempat latihan. Petinju-petinju elite direkrut menjadi lawan latih. "Monod dari Malang, Wongso Indrajit dari Surabaya, semua dibayar penuh agar serius," kata Khairus.
Setiap hari Elly harus melalap latihan sampai 25 ronde. Setiap ronde sampai 4 menit. "Banyak juga lawan latihnya minta pulang karena kesakitan," ujar Khairus. Tiga minggu kemudian, tempat latihan pindah ke Kaliurang, Yogyakarta, dan lanjut ke Puncak, Bogor. Fisik digojlok dengan berlari naik-turun melintasi perkebunan teh sepanjang 2 kilometer. Tas ransel dengan beban seberat 30 kilogram harus digendong Elly sembari berlari. "Ransel beban untuk melatih kekuatan saat benturan badan."
Kembali ke Jakarta menjelang pertandingan, Elly Pical banyak mendapat simpati. Pemilik Hotel Sahid Jaya, Sukamdani Sahid Gitosardjono, memberi satu kamar suite khusus kepada Elly dan timnya. Tak hanya mereka yang bersimpati yang membuntuti Elly, Khairus, yang kini melatih petinju Tibo Monabesa, juara World Boxing Council (WBC) International Silver, menyebut puluhan bandar judi dari Singapura juga berebut mendekati Elly. "Bandar-bandar judi itu sampai menginap di hotel yang sama dengan kami," ujar Khairus.
Legenda tinju Indonesia, Ellyas Pical, kembali berlaga dalam duel ekshibisi dua ronde melawan
mantan petinju nasional lainnya, Feras Taborat, di Balai Sarbini, Jakarta, Jumat (5/2/2016).
Foto: Safir Makki/CNN Indonesia
Mengetahui anak didiknya jadi incaran bandar judi, Khairus lantas memproteksi Elly. Sebelum Elly makan, pelatih berusia 63 tahun itu harus mencicipinya terlebih dulu. "Isunya macam-macam. Ada yang bilang mau racuni," ujar Khairus. Dua jam sebelum naik ring, Khairus didatangi seorang pemilik dealer mobil besar di Jakarta saat itu. Elly diiming-imingi duit Rp 200 juta agar mau mengalah. Padahal, untuk pertandingan tersebut, Elly hanya mendapat bayaran Rp 150 juta.
"Tuang Ala! Banyak kepeng (uang)," ujar Elly kaget dengan dialek Maluku-nya yang khas seperti yang ditirukan Khairus. Seorang perwira menengah TNI datang ke hotel membawa sepucuk surat dari Jenderal Maraden Panggabean. "Kira-kira suratnya berbunyi, ‘Sebagai seorang bekas prajurit, tidak ada yang bisa saya berikan untuk kalian. Hanya ingat bendera Merah-Putih di tangan kalian berdua,’" Khairus mengutip isi surat Jenderal Maraden, mantan Panglima Angkatan Bersenjata RI. "Duit atau Merah-Putih. Alhamdulillah, pilih Merah-Putih."
* * *
Ellyas Pical lahir di Saparua, Maluku, 57 tahun yang lalu, dari keluarga pas-pasan. Dia merupakan putra bungsu Pieter Pical, pegawai tata usaha SMP Saparua. "Papa sejak kecil senang berantem," ujar anak bungsu Elly, Matheuw Leosio Yunior Pical, kepada detikX. Karena itu pula, seorang pelatih tinju di Saparua bernama Aking Tan mengajarinya bertinju. Usia Elly saat itu baru menginjak 10 tahun.
Elly, ujar Mattheuw, sangat mengagumi juara dunia tinju kelas berat, Muhammad Ali. Setiap pagi Elly ke pantai untuk meninju ombak. Pohon pisang di kebun pun tak luput jadi sasaran tinjunya. Pada usia 17 tahun, Elly bergabung dengan sasana Elang Laut di Ambon. Setahun kemudian, ia menjadi raja tinju untuk kelasnya di seluruh Kepulauan Maluku.
Khairus Sahel pelatih Ellyas Pical saat merebut gelar juara dunia tinju versi IBF
Foto : Pasti Liberti
Pelatih tinju Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina) Teddy van Room memboyong Elly ke Surabaya. Mulai saat itu anak Saparua tersebut mulai mengorbit di tingkat nasional. Namun, baru pada 1980 prestasinya melonjak. Elly merebut gelar juara nasional, juara Sarung Tinju Emas, dan meraih emas Piala Presiden. Elly kemudian beralih ke dunia tinju profesional pada 1982 dan bergabung dengan Sasana Garuda Jaya di Jakarta.
Khairus Sahel, yang menjadi pelatih di sasana tersebut, mematangkan kemampuan Elly. Gaya bertinju hit and run ala Elly dia ubah. "Saya amati dia punya potensi di tangan kiri yang cepat tapi tak maksimal karena gaya bertinjunya," ujar Khairus. Elly diasahnya menjadi petinju bergaya fighter sekaligus counter fighter. "Pukulan kirinya diasah tidak hanya cepat, tapi juga punya power. Saking cepatnya bisa terlontar 3-4 kali."
Pukulan tangan kiri Elly itu akhirnya menjadi senjata mematikan untuk menganvaskan lawan-lawannya. Khairus mengisahkan saat perebutan peringkat dunia melawan Prayurasak Maungsurin pada 30 Maret 1984 di Thailand. Prayurasak sebenarnya disiapkan melawan Ju Do Chun. Hasil pertandingan sangat sensasional. Elly hanya butuh 29 detik untuk menjatuhkan lawannya itu. "Begitu saya kasih pelindung gigi, saya segera turun ring. Tapi, belum sampai tangga, lawannya sudah jatuh," ujar Khairus sambil tertawa.
Ellyas Pical kembali ke rumahnya setelah dirawat di rumah sakit akibat serangan jantung.
Foto: Rengga Sancaya/detikcom
Ellyas Pical saat merebut sabuk IBF pada 1985
Foto: dok. pribadi
Ellyas Pical saat dijenguk Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi
Foto: Rengga Sancaya/detikcom
Kecepatan pukulan Elly itu kondang di atas ring tinju. Media-media menjulukinya "The Exocet", seperti nama rudal buatan perusahaan Prancis, Nord Aviation. Johny Riberu, pelatih yang membawanya mempertahankan gelar IBF melawan Ki Chang Kim di Surabaya pada September 1988, menuturkan tangan kiri Elly punya daya ledak luar biasa. "Hanya orang tertentu saja yang memiliki pukulan seperti itu," ujar Johny.
Elly, kata Johny, dapat melontarkan pukulan cepat-keras hanya dengan memutar pinggangnya. Akibatnya, banyak lawannya yang terkecoh. "Pukulannya tanpa ancang-ancang," kata Johny. Johny pun menggambarkan kerasnya pukulan Elly. "Kalau kami habis melakukan sparring pakai punching pad, tangan saya tidak bisa diangkat. Keram."
Reporter/Penulis: Pasti Liberti M.
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah
yang terkait dengan kekinian.