SPOTLIGHT

Kala Nadiem Berharap Abolisi Prabowo

Di tengah jerat kasus korupsi, Nadiem Makarim diduga masih berharap tuah pengampunan dari Presiden Prabowo. Untuk itu, ia menggandeng tim advokat yang sebelumnya mendampingi Tom Lembong, yang meraih abolisi.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Selasa, 23 Desember 2025

Kuasa hukum Nadiem Makarim, Ari Yusuf Amir, mengatakan pihaknya sejauh ini belum berkomunikasi dengan Istana Negara terkait upaya permintaan pengampunan bagi kliennya. Sampai saat ini timnya masih berfokus menyusun fakta-fakta guna disajikan di persidangan. Namun ia tak menampik pihaknya akan mengupayakan pengampunan itu ke depan.

"Nanti, setelah bukti-bukti ini kami tunjukkan, nanti biarlah publik menilai sehingga apakah nanti ada sikap dari lingkungan Istana atau bagaimana kita serahkan itu sepenuhnya," ucap Amir kepada detikX.

Menurut Amir, saat ini banyak kasus yang ditangani berada di wilayah abu-abu. Dia mengklaim mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi itu tak memiliki niat jahat. Menurutnya, Nadiem hanya menjalankan mandat Presiden ke-7 RI Joko Widodo untuk meningkatkan pemahaman pembelajaran dengan teknologi.

"Ini harapan kita anak-anak pintar, anak-anak yang memang punya keinginan untuk membangun negara harus diberi jaminan keamanan. Mungkin saja dalam kebijakan dia kurang bijaksana, tapi tujuan dia baik dan dia tidak punya niat jahat," klaim Amir.

Sementara itu, Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, walaupun mungkin saja diampuni Presiden, menurutnya, posisi Nadiem tak sekuat Tom Lembong.

"Memungkinkan aja. Yang namanya pengampunan itu kan hak konstitusional presiden, bukan sekadar hak prerogatif loh ya, diberikan kepada siapa pun boleh. Pada pemberontak, pada ya koruptor, pada bandar narkoba pun boleh," kata Boyamin kepada detikX.

Terdakwa kasus korupsi pengadaan Chromebook Nadiem Makarim tak hadir dalam sidang di PN Jakarta Pusat, Selasa (23/12/2025). Sidang pembacaan dakwaan ditunda.
Foto : Ari Saputra/detikFoto

Berbeda dengan Tom, menurut Boyamin, dalam dakwaan Nadiem, diduga ada aliran dana ke perusahaan yang langsung terafiliasi dengannya. Terlebih dalam kasus ini berkaitan dengan proyek pengadaan barang, yang diduga memiliki selisih antara harga seharusnya dengan harga yang dibayar oleh negara.

"Jadi, kalau model proyek gini ini, setahuku belum ada sih, susah. Kalau kemarin itu diberikan pada Tom Lembong atau Ira Puspadewi, itu kan konteksnya kan memang kebijakan gitu loh. Kalau ini kan ada pembelian barang, yaitu Chromebook, laptop itu. Jadi ya, kalau itu, menurut saya, susah kalau Presiden untuk memberikan," jelasnya.

Pakar hukum pidana sekaligus Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai isu pengampunan dari Presiden Prabowo Subianto tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik. Ia mempertanyakan urgensi pengampunan, terutama di tengah proses hukum yang berjalan.

Menurut Julius, pengampunan terhadap pelaku korupsi—dalam bentuk apa pun—berpotensi merusak pemahaman publik tentang keadilan. Ia mengingatkan agar pemberantasan korupsi tidak semakin kendur akibat preseden pengampunan dari presiden.

Julius juga menyoroti pergantian pengacara Nadiem, yakni salah satu kuasa hukumnya disebut pernah menjadi pengacara Tom Lembong, sebagai hal yang patut dicermati. Ia menegaskan dakwaan terhadap Nadiem seharusnya justru dijadikan pintu masuk untuk membongkar aktor-aktor besar di balik perkara ini.

“Arahnya adalah dakwaan Nadiem itu sebagai basis untuk mengusut aktor-aktor watak di belakangnya yang belum tersentuh dan belum tuntas diselesaikan oleh Jampidsus,” katanya.


Julius menilai perkara dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook yang menyeret Nadiem Makarim bukanlah perkara korupsi biasa. Menurutnya, kasus ini memperlihatkan pola korupsi kebijakan atau state capture corruption yang melibatkan aktor-aktor elite dan dirancang bahkan sebelum Nadiem dilantik menjadi menteri.

“Kalau saya lihat konstruksi tindak pidana korupsi belakangan dibungkus dalam bentuk kebijakan. Ini yang dalam teori antikorupsi itu namanya state capture corruption,” kata Julius kepada detikX.

Sebelum menjabat menteri, kata Julius, Nadiem diduga telah menyiapkan kerangka kebijakan melalui riset-riset yang dilakukan oleh yayasan dan tim yang memiliki keterkaitan langsung dengannya. Riset tersebut kemudian dijadikan dasar pengambilan kebijakan negara.

“Dia buat seolah-olah itu berdasarkan hasil-hasil riset dari tim-tim ahlinya dan yayasan-yayasan itu, seolah-olah berujung pada kesimpulan bahwa ada kebutuhan berupa laptop Chromebook,” ujarnya.

Dalam skema ini, keuntungan korupsi tidak lagi dilakukan secara konvensional dengan transaksi tunai. Menurutnya, keuntungan dari kebijakan tersebut dititipkan melalui berbagai mekanisme, termasuk pengaturan peran antaraktor dan dugaan pembagian keuntungan melalui skema tidak langsung. Pola ini membuat jejak korupsi sulit ditemukan di level teknis karena seluruh proses bergerak di lingkar elite.

“Aktor-aktor ini lingkupnya sangat sempit dan bergeraknya di level elite, sehingga kita nggak akan menemukan jejaknya di level teknis,” kata Julius.

Saat praperadilan yang diajukan Nadiem Makarim ditolak oleh Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan I Ketut Darpawan, Senin (13/10/2025).
Foto : Grandyos Zafna/detikcom

Di sisi lain, meski menilai surat dakwaan jaksa sudah tepat dalam mengurai peristiwa teknis dan modus operandi, Julius menilai dakwaan tersebut belum menyentuh aktor yang berada di atas Nadiem. Menurut Julius, korupsi kebijakan sebagai extraordinary crime seharusnya melibatkan struktur berjenjang. Ia bahkan menyebut penunjukan Nadiem sebagai menteri perlu ditelusuri lebih jauh.

“Pertanyaannya, siapa aktor watak di atas mereka semua yang kemudian mengorkestrasi Nadiem dan pihak-pihak yang selevel dengan Nadiem,” katanya.

Julius secara terbuka menyebut Presiden Joko Widodo sebagai pihak yang perlu dilihat perannya dalam konstruksi perkara ini. Menurutnya, paket kebijakan Chromebook telah disiapkan bahkan sebelum kebijakan negara ditetapkan.

Julius menilai dakwaan terhadap Nadiem secara umum sudah tepat. Namun, ia menegaskan, perkara ini seharusnya tidak berhenti di situ. Ia mendorong jaksa menambahkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) mengingat aliran dana yang disebut mengalir ke kantong-kantong saham yang memiliki afiliasi dengan Nadiem.

Selain merugikan negara, Julius juga berpandangan pengadaan Chromebook telah merampas hak anak bangsa untuk memperoleh pendidikan yang layak. Dana pendidikan, kata dia, seharusnya digunakan untuk kebutuhan esensial, seperti fasilitas sekolah dan kesejahteraan guru.


Reporter:Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto, Decylia Enghline Kalangit (magang), David Kristian Irawan (magang)
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE