SPOTLIGHT

Jejak Bos Sriwijaya Air di Kasus Timah

Hendry Lie sempat menjadi buron Kejaksaan Agung sebelum akhirnya duduk di kursi pesakitan dalam kasus korupsi timah. Kini peluangnya untuk lolos dari hukuman semakin sempit.

Hendry Lie saat menjalani sidang eksepsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 3 Februari 2025 (Ari Saputra/detikFoto) 

Selasa, 9 Desember 2025

Upaya bos Sriwijaya Air, Hendry Lie, untuk lepas dari hukuman dalam kasus korupsi timah hampir sampai pada titik akhir setelah kasasinya ditolak Mahkamah Agung pada Selasa, 25 November 2025. Dalam putusan kasasi itu, Hendry tetap dihukum 14 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan. Ia juga diwajibkan membayar ganti rugi ke negara sebesar Rp 1,05 triliun subsider 8 tahun penjara.

“Menolak permohonan kasasi Terdakwa,” tulis putusan kasasi nomor 11312 K/PID.SUS/2025 seperti dilansir laman resmi MA pada Sabtu, 29 November 2025.

Dengan begitu, Hendry hanya punya satu langkah lagi untuk melakukan perlawanan atas kasusnya, yakni mengajukan peninjauan kembali (PK). Itu berarti Hendry harus bisa menunjukkan bukti baru (novum) yang bisa benar-benar menunjukkan dirinya tidak bersalah atau membuktikan adanya kekhilafan dalam putusan hakim.

Sebelumnya, Hendry juga sudah berulang kali melakukan penyangkalan atas kasus yang menjeratnya. Hendry sempat berstatus buron selama 8 bulan karena melarikan diri ke Singapura. Kejagung baru menangkap Hendry di Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta setelah izin tinggalnya di Singapura berakhir pada Senin, 18 November 2024, malam.

“Tersangka HL ke Singapura setelah dilakukan pemeriksaan pertama penyidikan, kemudian yang bersangkutan tidak kembali dengan alasan sedang menjalani pengobatan,” ungkap Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Abdul Qohar, saat itu.

Pendiri maskapai penerbangan Sriwijaya Air ini diduga terlibat dalam kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Hendry melakukan kongkalikong untuk meraup untung besar dari penambangan timah ilegal melalui PT Tinindo Internusa (TIN). Hendry merupakan direktur sekaligus pemegang saham terbesar di perusahaan ini.

Hendry Lie saat ditangkap tim jaksa Kejaksaan Agung
Foto: Rumondang/detikcom

Abdul Qohar mengatakan Hendry berperan dalam pengondisian pembuatan kerja sama sewa peralatan peleburan timah untuk aktivitas pengambilan timah ilegal dari izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. Dia bersama adik kandungnya, Fandy Lingga, juga diduga membentuk tiga perusahaan boneka untuk memperlancar aksi tersebut. Perusahaan-perusahaan itu adalah CV Bukit Persada Raya, CV Sekawan Makmur Sejati, dan CV Semar Jaya.

Ketiga perusahaan ini berperan sebagai mitra jasa borongan yang diberi surat perintah kerja (SPK) pengangkutan oleh PT Timah. Mereka kemudian memanfaatkan SPK tersebut untuk membeli dan mengumpulkan bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah. Mirisnya, timah ilegal itu kemudian dijual lagi kepada PT Timah sebagai tindak lanjut kerja sama sewa peralatan pengolahan antara PT Timah dan PT TIN. Hendry mengetahui semua proses itu dan menyetujuinya.

“Hendry Lie selaku direktur PT TIN melakukan penyewaan bijih timah kepada PT Timah Tbk, yang diketahui, disadari, diinsafi bahwa timah yang diolah, yang didapat itu berasal dari bijih timah hasil penambangan secara ilegal,” jelas Qohar.

Meski diakui sendiri bahwa timah tersebut berasal dari penambangan ilegal, Hendry tetap memberi harga sewa yang tinggi untuk smelter-nya. Dari situ, dia diduga mendapatkan untung besar dari kasus korupsi timah ilegal ini. “Setidak-tidaknya Rp 1.059.577.589.599,19 (Rp 1 triliun),” kata jaksa dalam surat dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat.

Selain itu, Hendry diduga memerintahkan Fandy dan General Manager Operasional PT TIN, Roslina, untuk bertemu dengan sejumlah petinggi PT Timah Tbk di Pangkalpinang. Mereka antara lain Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Emil Emindra, dan Alwin Albar. Dalam pertemuan itu dibahas soal penyerahan 5 persen kuota ekspor smelter swasta kepada PT Timah lantaran produksi timahnya berasal dari IUP PT Timah.

Melalui dua aktor yang sama, Hendry juga berperan dalam pengumpulan dana setoran keamanan kepada suami Sandra Dewi, Harvey Moeis. Harvey merupakan perwakilan PT Refined Bangka Tin (RBT), yang divonis penjara 20 tahun dalam putusan kasasi MA.

Vila seluas 1.800 meter persegi senilai Rp 20 miliar milik Hendry Lie selaku beneficial owner atau pemilik manfaat PT TIN yang disita Kejagung.
Foto: dok. Kejagung

Uang setoran pengamanan ini dikumpulkan Hendry dari sejumlah smelter swasta yang meneken perjanjian kerja sama sewa alat pengolahan dengan PT Timah Tbk. Adapun perusahaan yang turut menyetor antara lain CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Bina Sentosa, dan PT Stanindo Inti Perkasa. Nilai setorannya sekitar USD 500-750 per metrik ton timah yang disamarkan sebagai corporate social responsibility (CSR). Dana itu kemudian dititipkan kepada Helena, pemilik PT Quantum Skyline Exchange.

“Helena selaku pemilik PT Quantum Skyline Exchange menerima biaya pengamanan yang selanjutnya biaya pengamanan tersebut diserahkan kepada Harvey Moeis,” kata jaksa.

Hendry sempat melakukan perlawanan melalui jalur eksepsi pada persidangan bulan Februari 2025. Dalam nota keberatan yang dibacakan oleh kuasa hukumnya, Hendry mengaku bukan pemilik saham PT TIN. Maka dari itu, dia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dituduhkan jaksa kepadanya.

Kuasa hukum Hendry juga menyebut kliennya itu tidak pernah membeli bijih timah dari penambang ilegal. Apalagi yang berada di wilayah IUP PT Timah. Kuasa hukum Hendry mengklaim kliennya itu juga tidak terlibat dalam pembentukan perusahaan cangkang. Buktinya, sebagaimana tertulis dalam nota keberatan Hendry, tidak pernah ada aliran dana apa pun dari perusahaan cangkang tersebut kepada PT TIN. Hendry bahkan mengaku sama sekali tidak mengetahui nama-nama perusahaan cangkang tersebut.

“Artinya, Terdakwa tidak terlibat dalam penambangan, pembelian, maupun pengumpulan bijih timah ilegal," ungkap kuasa hukum Hendry.

Kuasa hukum Hendry menuding surat dakwaan jaksa kepada kliennya itu keliru, tidak lengkap, dan tidak cermat. Terlebih, kata kuasa hukum Hendry, jaksa tidak menguraikan secara spesifik peran kliennya dalam kasus ini. “(Memohon majelis hakim) menerima nota keberatan atau eksepsi tim penasihat hukum Terdakwa Hendry Lie untuk seluruhnya, menyatakan surat dakwaan JPU batal demi hukum,” demikian isi nota pembelaan Hendry.

Terdakwa Hendry Lie saat pembacaan vonis di pengadilan tingkat pertama
Foto: Ari Saputra/detikFoto 

Namun upaya eksepsi itu akhirnya ditolak majelis hakim. Persidangan kasusnya tetap dilanjutkan. Singkat cerita, pada Kamis, 12 Juni 2025, majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman 14 tahun penjara kepada Hendry. Majelis hakim menyebut Hendry secara sah dan meyakinkan terlibat dalam kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara dalam bentuk kerusakan lingkungan yang sangat masif. Hendry juga disebut telah menikmati hasil dari tindak kejahatannya itu dengan menerima keuntungan Rp 1 triliun.

Meski begitu, vonis hakim rupanya sedikit lebih rendah dari tuntutan jaksa, yang meminta agar Hendry dituntut 18 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun penjara dan ganti rugi Rp 1 triliun. Pertimbangannya, Hendry belum pernah dihukum dalam kasus korupsi.

Hendry kembali mencoba melakukan perlawanan dengan mengajukan banding pada Agustus 2025. Namun upaya itu juga ditolak majelis hakim. Majelis hakim yang diketuai Albertina Ho, dalam pertimbangannya, mengungkapkan putusan majelis hakim tingkat pertama telah dilakukan secara tepat dan benar, kecuali pertimbangan mengenai jumlah kerugian negara, amar uang pengganti, dan status barang bukti. Kerugian negara dalam kasus korupsi timah yang di putusan tingkat pertama disebut mencapai Rp 300 triliun diubah menjadi hanya Rp 28,93 triliun. Sisanya, sekitar Rp 271 triliun, tidak dapat disidangkan dalam kasus korupsi, melainkan harus melalui persidangan tersendiri terkait perkara lingkungan hidup.

Meski begitu, amar putusan banding itu tetap menyatakan Hendry bersalah. Vonis terhadapnya tidak berubah. Tetap 14 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara dan ganti rugi Rp 1 triliun. Hendry wajib membayar kerugian itu selambat-lambatnya sebulan setelah putusan dibacakan. Jika tidak, semua barang milik Hendry yang disita Kejagung akan dilelang.

Dengan kasasi yang juga ditolak pada pekan lalu, kini langkah hukum Hendry tinggal melalui PK. Akankah Hendry melakukan upaya terakhirnya tersebut?


Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE