SPOTLIGHT

Hilangnya Kampung Kami

Malam gulita. Warga saling bantu. Lansia digendong, anak-anak diamankan ke dalam drum plastik. Mereka mengevakuasi diri, menghindari kayu gelondongan terbawa banjir yang meremukkan berbagai bangunan. Besoknya bau bangkai menguar dari jenazah manusia dan hewan yang belum bisa dievakuasi. 

Ilustrasi video: Apple Green Aceh

Senin, 08 Desember 2025

Sebanyak 961 jiwa meninggal, 234 orang hilang, lebih dari 5.000 terluka. Itulah data terkini yang dirilis BNPB menyoal luasnya kerusakan yang menyapu Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akibat amukan banjir bandang.

Iskandar melihat awal bencana itu dari rumahnya. Hujan deras yang tiada henti berhari-hari selama seminggu, hingga pada 26 November 2025 dini hari, ia bersama warga Desa Blang Panjo, Kecamatan Kuta Blang, Kabupaten Bireuen, Aceh, berjaga memantau luapan sungai Sungai Krueng Peusangan yang kian meresahkan.

“Air datangnya jam tiga dini hari. Waktu itu masih hujan deras, gelap, listrik mati. Kami cuma pakai senter HP,” kata Iskandar kepada detikX melalui sambungan telepon.

Anak-anak muda kampung berjaga di dekat sungai. Mereka melihat air makin tinggi dan arus makin deras. Sekitar pukul lima pagi, air tiba-tiba naik cepat. Warga pun panik. Selama 43 tahun Iskandar menetap di desanya, ini pertama kalinya rumahnya dihantam arus deras berwarna keruh kecoklatan. Banjir itu mengupas aspal, menyeret rumah, hingga menghancurkan jembatan.

“Kami teriak-teriak, ‘Air naik! Air naik!’ Semua warga diminta kumpul di menasah dulu,” ujarnya.

Menasah merupakan musala kecil tempat warga biasa berkumpul, berada di lokasi yang sedikit lebih tinggi. Namun tak lama, air menyusul masuk. Arus kuat membawa kayu-kayu besar, diduga berasal dari aktivitas penebangan liar di hulu.

Bau seperti bangkai binatang. Banyak sekali kemarin.

“Tanggulnya jebol. Kayu-kayu besar datang semua. Air sampai ke leher orang dewasa,” kata Iskandar.

Saat itu, keluarga Pak Iskandar masih di rumah. Air sudah setinggi lutut ketika ia meminta istri dan kedua anaknya bersiap. Tidak ada barang yang sempat diselamatkan. Mereka hanya membawa pakaian yang melekat di tubuh.

“Saya bilang sama istri, kita enggak bisa bertahan. Kita harus keluar. Pelampung pun enggak ada, cuma ada jeriken kecil buat (pelampung) anak saya yang kecil,” tuturnya.

Di tengah arus deras dan gelap gulita, warga saling bantu. Lansia digendong. Anak-anak diamankan ke dalam drum plastik atau ember besar agar tidak hanyut. Mereka bergerak perlahan sejauh 500 meter menuju masjid.“Berkat kesiagaan anak-anak muda, alhamdulillah tak ada korban jiwa,” kata Pak Iskandar.

Meski demikian, Desa Blang Panjo luluh lantah tersapu banjir, terendam lumpur hingga lutut orang dewasa. Segala jenis kendaraan darat mati total. Bahkan sehelai pakaian pun tak terselamatkan.“Informasi dari BMKG sebenarnya liat ya, kan di-share di grup WhatsApp, soal hujan tidak berhenti. Nah, enggak disampaikan artinya nanti ada banjirnya atau apa begitu,” tutur Iskandar.

Pada hari keempat pascabanjir, kabar tentang kondisi di kabupaten tetangga akhirnya sampai ke Aceh Barat. Dari pesan singkat dan laporan relawan, Irsadi Aristora, Pembina UKM Penanggulangan Bencana UTU, mengetahui dua desa di Kecamatan Betung Ateuh, Kabupaten Nagan Raya, yaitu Blang Luah dan Kuta Tengah benar-benar hilang.

Bukan sekadar terendam atau tertimbun lumpur. Kampungnya rata disapu air, rumah-rumah lenyap tanpa sisa. “Kampungnya memang enggak ada lagi, Bu. Rumah pun enggak ada lagi,” kata Irsadi.

Ketika tim UKM Penanggulangan Kebencanaan dari Universitas Teuku Umar akhirnya menerobos masuk menggunakan boat masyarakat, pemandangan yang mereka temukan membuat relawan terdiam.

Tak ada dinding, tak ada perabot, tak ada jejak rumah. Semua hilang di bawah air yang menghantam dari arah pegunungan, membawa kayu-kayu olahan dan gelondongan besar yang merobek dinding rumah setinggi empat meter. Yang tersisa hanya lumpur dan puing-puing yang terserak, sementara satu warga masih belum ditemukan hingga kini.





Bergeser ke Tapanuli Tengah mengalami kejadian serupa dengan Aceh, Doli Nuranda Pardede menyaksikan bencana berubah semakin mematikan ketika longsor mulai terjadi di banyak titik.

Hujan tanpa jeda selama hampir seminggu membuat tanah jenuh, hingga pada dini hari Senin menuju Selasa, tebing-tebing mulai runtuh bersamaan dengan banjir yang meluap. Kabar pertama datang dari Parombunan, ada warga yang menjadi korban, meninggal tertimpa material longsor dan banjir.

Dari Kecamatan Tukka hingga Hutana Bolon, berita serupa berdatangan: Rumah tertimbun tanah, jalan putus, dan permukiman tak lagi bisa diakses.

Ketika Doli baru bisa keluar rumah pada Rabu pagi, pemandangan itu sudah nyata di depan mata. Jalan pedalaman tak bisa dimasuki karena timbunan tanah dan kayu-kayu besar yang menurutnya berasal dari hulu. Rumah-rumah tak hanya terendam, tetapi benar-benar terkubur.

“Bukan banjir bandang biasa lagi, Pak. Rumah itu ditimbun tanah sama pohon-pohon, sama kayu-kayu, yang kayaknya udah bekas-bekas pembalakan liar sepertinya, Pak. Saya lihat modelnya,” kata Doli kepada detikX.

Di Kecamatan Pasaribu Tobing, terutama Desa Pagaran, sejumlah rumah dilaporkan rusak berat dan bahkan bergeser dari fondasinya akibat dorongan air dan material longsor yang datang bersamaan pada malam kejadian.Akses ke wilayah itu perlahan terbuka. Jalur Medan–Pakkat–Barus–Sorkam, yang sebelumnya terputus akibat longsor di beberapa titik, kini sudah bisa dilewati kembali. Namun, kapasitasnya dibatasi maksimal 5 ton, membuat distribusi logistik masih tersendat.

Alat berat dan truk besar belum bisa masuk, sementara warga masih bergotong-royong menyingkirkan lumpur setinggi betis hingga lutut dari rumah dan halaman mereka.

Ancaman Penyakit, Kelaparan, dan Sanitasi Buruk

Setelah banjir surut, Tapanuli Tengah dihantam persoalan baru: warga kehabisan makanan. Selama berhari-hari, daerah itu terisolasi tanpa listrik dan jaringan, sementara akses darat maupun udara tak bisa ditembus. Di tengah situasi itulah, perut yang kosong memaksa beberapa orang semakin nekat.

Menurut Doli Nuranda Pardede, keterlambatan bantuan membuat warga kehilangan kesabaran.

Bukan banjir bandang biasa lagi. Rumah itu ditimbun tanah sama pohon-pohon, sama kayu-kayu, yang kayaknya udah bekas-bekas pembalakan liar sepertinya.

“Akibat lamanya bantuan, masyarakat kelaparan sehingga ‘buas’,” ujarnya. Minimarket, swalayan lokal, hingga gudang-gudang logistik seperti Indomarco dan Wings diserbu warga yang sudah tak punya pilihan lain.

Kemarahan memuncak di Gudang Bulog Tapanuli Tengah. Beras dan minyak goreng yang tak kunjung dibagikan memicu kerumunan besar hingga menimbulkan korban jiwa.

“Kalau dari masyarakat katanya lima orang (yang meninggal karena mengantre sembako), dari bupati cuma dua,” kata Doli. Sementara di titik lain, penjarahan hanya menyebabkan luka karena desak-desakan.

Ia menjelaskan, berburu bahan makanan di Gudang Bulog Sibolga terjadi pada hari Sabtu, ketika perut kosong dan ketiadaan bantuan membuat warga nekat. Dua titik antrean, dipisah untuk laki-laki dan perempuan, dipaksakan menampung warga dari dua kabupaten sekaligus, Tapteng dan Sibolga. Desakan yang tak terhindarkan itulah yang akhirnya merenggut nyawa.

Sedangkan Iskandar, warga Balang Panjo, Kuta Blang, Aceh mengalami keadaan pahit bersama ribuan warga lainnya yang hingga kini masih mendiami masjid setempat.

Setelah banjir surut, warga disergap bau bangkai yang menempel di udara, lumpur setinggi pinggang, penyakit mata, dan sanitasi yang runtuh sama sekali.

“Bau seperti bangkai binatang, Bu. Banyak sekali kemarin,” ujarnya.

Sapi dan kambing warga hanyut terbawa arus, tetangganya bahkan kehilangan lima ekor kambing yang mati di kandang. Hingga kini bangkainya masih tertimbun lumpur.

Di tengah pembersihan yang berjalan lambat, kondisi kesehatan mulai memburuk. Debu dan lumpur kering dari lalu-lalang kendaraan membuat udara penuh partikel halus.

“Kalau tak pakai masker dan kacamata, bahaya sekali. Banyak yang sakit mata,” kata Iskandar, yang sendiri terserang demam dan iritasi mata.

Ada anak yatim piatu di sini. Saya sedih sekali.                

Sanitasi di pengungsian lebih memprihatinkan. Di masjid tempat lebih dari seribu orang berkumpul, hanya ada satu sumur gali darurat. 

Tidak ada sumur bor, tidak ada sarana mandi yang memadai, dan akses air bersih sangat terbatas. Warga bertahan dengan apa pun yang tersedia.

Kebutuhan dasar pun mulai kritis. Banyak warga kehilangan seluruh pakaian, termasuk pakaian dalam dan kebutuhan perempuan.

“Ada anak yatim piatu di sini, Bu. Saya sedih sekali,” ujar Iskandar. Sudah lebih dari seminggu, mereka belum mendapat pakaian layak.

Di tengah bau menyengat, penyakit yang menyebar, dan sanitasi darurat, warga Blang Panjo masih berusaha pulih sambil menanti bantuan yang lebih memadai.

“Tolong suarakan derita kami di Aceh, Bu,” kata Iskandar terisak sebelum menutup sambungan telepon.



Reporter: Ani Mardatila, Ahmad Thovan Sugandi, Fajar Yusuf Rasdianto, Decylia Eghline Kalangit (magang), David Kristian Irawan (magang)
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Dieqy Hasbi Widhana 

***Komentar***
SHARE