SPOTLIGHT

Rapor Merah Perundungan di Bangku Sekolah

Lonjakan kasus perundungan di kalangan anak-anak dan remaja menegaskan lemahnya sistem perlindungan sekolah. Lingkungan yang mestinya aman justru menjadi sumber bahaya.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Senin, 1 Desember 2025

Reni—bukan nama sebenarnya—tumbuh sebagai anak yang tubuhnya kurus dan pendek. Di bangku SD, kondisi itu sering dijadikan alasan teman-temannya berbuat buruk merendahkannya. Mulanya berupa ejekan tentang badannya yang kecil, tetapi lama-kelamaan berubah jadi tindakan yang membuat Reni benar-benar takut ke sekolah.

“Waktu itu aku cuma bisa diam. Rasanya seperti semua orang punya kuasa atas tubuh dan barang-barangku,” kata Reni mengenang.

Ada satu kejadian yang tak pernah ia lupa: teman-temannya mengunci dirinya di kamar mandi sekolah, lalu menyiramkan air dari atas pintu. Bukan hanya itu. Sepedanya pernah sengaja disembunyikan, sehingga ia pulang lebih lambat dan dimarahi orang tua, sementara buku-bukunya disobek tanpa alasan. Semua terjadi berulang.

Saat Reni memberanikan diri melapor, guru hanya memberi teguran ringan kepada para pelaku, tanpa hukuman, tanpa pendampingan, seolah kejadian itu hanyalah kenakalan kecil anak SD. Tidak ada perubahan yang terjadi. Besoknya, perundungan kembali berlangsung.

Bertahun-tahun kemudian, pengalaman itu membentuk rasa kurang berharga yang terbawa hingga masa remaja. Ia tumbuh menjadi pendiam dan kesulitan membangun pertemanan karena selalu merasa harus berhati-hati. Setelah masuk kuliah, Reni memanfaatkan layanan konseling gratis di kampusnya.

Konselor menyebut ia menunjukkan gejala stres pascatrauma ringan yang dipicu pengalaman perundungan, termasuk kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial dan rasa cemas ketika berada di kelompok besar.

Reni adalah satu dari ratusan anak yang mengalami perundungan di sekolah. Baru-baru ini Indonesia digemparkan oleh dua kasus perundungan anak yang menyebabkan dua nyawa melayang.

Tragedi di Bekasi yang menewaskan seorang siswa SMP setelah mengalami kekerasan fisik teman sekelasnya, disusul kematian seorang murid SD di Pekanbaru yang disebut keluarganya mengalami serangkaian pemukulan sebelum tubuhnya melemah dan akhirnya meninggal.

Kasus di Pekanbaru mencuat setelah keluarga korban, Muhammad Abdul Rohid, menceritakan kronologi kepada kuasa hukum mereka, Suroto. Ia menjelaskan perundungan terhadap Rohid terjadi dua kali. Pertama, pemukulan di bagian dada hingga korban harus dirawat tujuh hari. Kedua, tendangan ke kepala yang diakui korban sendiri sebelum akhirnya lumpuh.

“Bu, kemarin sebenarnya kepala Rohit ditendang… sama Fatan,” begitu pengakuan terakhir sang anak, yang kemudian meninggal pada 23 November 2025, seperti dituturkan Suroto kepada detikX.

Suroto menegaskan keluarga mulanya tidak ingin membawa kasus ini ke jalur hukum, tetapi berubah sikap setelah muncul pernyataan dari sekolah dan dinas yang, menurut keluarga, mengaburkan penyebab meninggalnya korban.

“Informasi-informasi itu kan mengaburkan penyebab meninggalnya korban,” kata Suroto.










Mereka akhirnya membuat laporan polisi agar peristiwa tersebut tidak ditutup-tutupi.

“Yang kami minta hanya kejujuran,” ujarnya. “Kalau mereka mengakui terjadi kekerasan dan meminta maaf, itu sudah. Urusan selesai,” tandas Suroto.

Lonjakan jumlah laporan kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan bukan hanya terlihat dari kasus per kasus, tetapi juga dari data nasional yang dihimpun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Hingga Oktober 2025, lembaga itu menerima lebih dari seribu aduan terkait pelanggaran terhadap perlindungan anak, dengan proporsi signifikan terjadi langsung di sekolah, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak.

Aris menjelaskan skala masalahnya jauh dari kecil. “Di KPAI, sampai Oktober 2025, itu menerima sejumlah aduan 1.682 kasus aduan terhadap pelanggaran perlindungan anak-anak. Dari jumlah itu, 37,5 persennya itu terjadi di satuan pendidikan,” ujarnya.

Ia menambahkan dampaknya bahkan telah sampai pada titik paling tragis.

“Bahkan kami juga mendapati angka anak mengakhiri hidup selama 2025 hingga Oktober akhir itu sejumlah 26 anak. Nah, sepuluhnya itu terjadi di satuan pendidikan atau masih dalam situasi kondisi anak itu misalkan pakai seragam.”

Aris mengatakan pola relasi di sekolah menjadi salah satu faktor kunci munculnya kasus perundungan. Menurutnya, sebagian besar pelaku adalah teman sebaya korban. “Mayoritas sesama teman,” ujarnya.

Ada pula kasus yang melibatkan siswa yang sedikit lebih tua.

“Sebagiannya adalah kakak kelas, bukan orang dewasa,” kata Aris. Ia menegaskan dinamika kekuasaan di antara siswa justru sering memicu posisi dominan-subordinat.

Ia menggambarkan perilaku perundungan sebagai hasil dari dua kondisi yang bertolak belakang. Pertama, adanya anak yang merasa memiliki keunggulan tertentu, lebih kuat, lebih senior, atau sekadar lebih punya pengaruh.

“Dia merasa lebih punya power, lebih harus diikuti, lebih harus ditakuti,” ujarnya.


Sementara itu, di sisi korban, sering kali terdapat karakter yang lebih tertutup, tidak percaya diri, dan sulit bergaul. Situasi ini, kata Aris, membuat mereka lebih mudah menjadi sasaran.

Karena dinamika seperti ini terus berulang, Aris menilai pekerjaan rumah utama sekolah adalah menciptakan hubungan antarsiswa yang setara dan saling menghormati. Ia menekankan perlunya budaya peduli dan kebersamaan, agar relasi kekuasaan di antara anak-anak tidak berkembang menjadi kekerasan.

Namun tren belakangan justru menunjukkan peningkatan kasus yang semakin ekstrem. “Trennya makin ke sini kok kasusnya makin seram ya, padahal sudah ada permen yang ngatur,” jelas Aris.

Menurut Aris, masalah pertama terletak pada budaya yang masih menormalisasi tindakan perundungan. “Menganggap bahwa bully dianggap hal biasa-biasa saja. Kenakalan anak, guyonan,” tandasnya.

Senada, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, melihat peningkatan kasus perundungan yang melibatkan anak-anak usia sekolah dasar. Ia menyebut bahwa temuan sepanjang tahun ini menunjukkan pola yang cukup mengkhawatirkan.

“Kasus yang kita catat tahun ini banyak SD ya,” ujarnya.

Menurut Retno, data finalnya belum dapat dipublikasikan, tetapi indikasinya jelas, usia anak yang menjadi korban maupun pelaku semakin muda.

Retno menjelaskan FSGI selama ini memetakan kasus-kasus yang tergolong berat sebagai bentuk peringatan dini. Tujuannya sederhana tapi mendesak: menunjukkan bahwa sekolah di Indonesia masih jauh dari aman.

“Jadi memang kita hitungnya adalah yang berat sebagai bentuk warning sebenarnya, bahwa sekolah kita belum aman gitu,” ujarnya.

Dwi Jalu Atmanto, Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan KemenPPPA, menjelaskan temuan pemerintah menunjukkan pola yang jelas mengenai maraknya perundungan di Indonesia.

Mengutip Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2024, ia menyebut separuh anak atau sekitar 45,43 persen pernah mengalami kekerasan emosional sepanjang hidupnya dan selama 1 tahun terakhir. Angka itu lebih tinggi pada anak perempuan, sekitar 47,82 persen, dibandingkan dengan anak laki-laki, sebesar 43,17 persen.

Soal penyebab, Jalu menilai persoalan utamanya berlapis, bermula dari rumah. “Yang jelas, yang satu dari pola pengasuhan yang salah,” katanya.











Minimnya perhatian orang tua membuat anak mencari pembentukan identitas di luar rumah, termasuk pada lingkungan yang permisif terhadap kekerasan.

“Kalau lingkungannya itu cenderung sikap terhadap bullying itu dianggap yang wajar, berarti sudah menjadi kebiasaan,” terang Jalu.

Pengaruh dunia digital juga signifikan. Jalu menjelaskan anak kini terpapar konten negatif setiap hari. “Dunia-dunia maya bisa menjadi jalan untuk si anak ini terpapar bullying,” ujarnya.

Terlebih, menurut Jalu, konten negatif itu belum banyak yang di-take down, yang bisa memberi efek negatif juga pada si anak.

Karena itu, pemerintah menilai perundungan sebagai masalah serius lintas sektor. “Dampak bullying ini besar ya, apalagi kalau cyber bullying,” kata Jalu.

Upaya penanganan dilakukan melalui sosialisasi Sekolah Ramah Anak, penyusunan modul pencegahan, kerja sama dengan sekolah, hingga pelatihan UPTD PPA di daerah, meski ia mengakui masih banyak kendala SDM dan keterjangkauan layanan.

Jalu menegaskan penanganan kasus perundungan yang melibatkan anak tak bisa diperlakukan seperti perkara pidana orang dewasa. Banyak anak yang melakukan perundungan, katanya, justru tumbuh dari lingkungan yang sama rentannya dengan korban. Karena itu, setiap proses harus dimulai dari pendampingan, bukan penghukuman.

“Di setiap tahapan, anak harus ditemani tenaga profesional, entah psikolog anak atau psikolog klinis,” ujarnya.

Sanksi pun tidak otomatis berbentuk pidana. Mekanisme diversi atau restorative justice menjadi prinsip utama agar anak tidak masuk ke lingkaran peradilan yang merusak tumbuh kembang.

“Jadi hukumannya itu bukan pidana, tapi dialihkan ke bentuk lain,” kata Jalu.

Kalaupun penahanan menjadi jalan terakhir, penempatannya wajib terpisah dari tahanan dewasa. Ada fasilitas khusus, tegasnya, karena negara wajib memastikan anak, bahkan ketika menjadi pelaku tetap diperlakukan sebagai anak.

Kembali pada Reni, kini ia pelan-pelan menemukan kembali dirinya. Konseling membuatnya memahami apa yang ia alami bukan kesalahannya. Ia juga mulai ikut komunitas kecil di kampus dengan lingkungan pertemanan yang sehat. Reni juga belajar menetapkan batas dan merawat kepercayaan dirinya dari hal-hal sederhana.


Reporter: Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto, Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE