SPOTLIGHT

Merebut Anak dari Cengkeraman Layar Ponsel

Jangan sampai gawai menjadi ‘mainan’ adiktif perenggut era emas anak dan menyorongkan ke masa depan yang suram.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Kamis, 20 November 2025

Musim kecanduan gawai (gadget) pada anak belum menemukan ujungnya dan berlangsung semakin ekstrem. Kunjungan pasien adiksi gawai di Poli Jiwa Anak dan Remaja RS Soeharto Heerdjan menunjukkan lonjakan yang konsisten. Dokter kejiwaan subspesialis psikiatri anak dan remaja, dr Isa Multazam Noor, mengatakan peningkatan ini terlihat jelas sejak pandemi COVID-19.

Setelah itu meningkat, bahkan dalam dua bulan terakhir kasus yang dirawat terus bertambah. Pasien termuda yang datang berusia 10 tahun, sementara yang terberat sampai harus menjalani rawat inap.

Menurut Isa, faktor pemicu terbesar adalah minimnya pengawasan orang tua. Banyak anak ditinggal bekerja oleh kedua orang tuanya, sehingga penggunaan gawai berlangsung tanpa kontrol. Di situ anak mudah mengakali batasan usia pada aplikasi atau gim dan membuka akses ke konten dewasa, termasuk pornografi.

Hal serupa terjadi pada gim daring yang tidak sesuai umur. Anak memalsukan profil agar bisa bermain gim dengan tema agresif yang kemudian memicu perilaku kekerasan.

Kondisi ini diperparah oleh pola penggunaan yang terbentuk sejak pandemi. Saat sekolah berlangsung dari rumah, gawai berubah fungsi dari alat komunikasi menjadi sarana hiburan utama. Bahkan handphone kemudian diperlakukan sebagai alat untuk menenangkan anak.

“Penggunaannya (gawai) harus dibatasi,” kata Isa kepada detikX.

Menurut Isa, persepsi keliru bahwa gawai adalah ‘mainan’ membuat orang tua membiarkan anak menggunakan perangkat dalam durasi panjang tanpa mempertimbangkan risiko adiksi.

Ilustrasi anak kecanduan gadget.
Foto : iStock

Kurangnya pengetahuan keluarga soal batasan screen time juga membuat situasi makin rumit. Banyak orang tua baru mengetahui anak sebenarnya tidak boleh bermain gawai lebih dari empat jam sehari. Sebagian kasus yang ditangani bahkan menunjukkan penggunaan ekstrem, seperti anak bermain selama 24 jam tanpa tidur hingga berdampak pada kesehatan fisik, emosional, dan kemampuan belajar.

Selain faktor rumah, lingkungan perkotaan yang miskin ruang bermain turut menjadi pemicu. Minimnya ruang hijau dan fasilitas publik membuat anak tidak punya alternatif aktivitas selain kembali ke gawai. Ketika ruang sosial berkurang, anak terjebak pada dunia digital yang menawarkan hiburan instan.

Ia juga menekankan adanya faktor kondisi dasar (underlying), seperti ADHD, yang membuat sebagian anak lebih rentan terhadap kecanduan. Anak dengan kesulitan konsentrasi akan lebih mudah terjebak dalam gim atau konten digital yang memberikan rangsangan cepat dan berulang.

Menurutnya, selama ini sekolah menjadi pihak yang paling sering menyadari tanda-tanda awal. Banyak rujukan datang dari guru atau psikolog sekolah yang melihat perubahan perilaku anak, mulai penurunan kemampuan belajar, gangguan tidur, hingga agresi. Beberapa anak bahkan menunjukkan perilaku membahayakan, seperti memukul orang tua, merusak barang, atau kabur dari rumah ketika akses internet dibatasi.

Saat ini Isa melihat perlunya dukungan lebih besar dari masyarakat dan pemerintah, terutama dalam bentuk edukasi penggunaan gawai dan penyediaan ruang bermain fisik. Ia menegaskan gawai seharusnya kembali diposisikan sebagai alat komunikasi atau kebutuhan belajar, alih-alih mainan yang boleh digunakan tanpa batas.

Psikolog dan dosen di Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Yogyakarta Elya Marfu’atun mengatakan generasi Alpha tumbuh dalam lingkungan yang begitu dekat dengan teknologi. Kedekatan itu semakin kuat ketika penggunaan gawai oleh orang tua sangat intens. Anak melihat, meniru, lalu menjadi akrab dengan perangkat tersebut.

Menurut Elya, banyak kasus kecanduan bermula dari pola yang sama. Anak diperkenalkan pada gawai untuk menenangkan. Ketika anak tampak anteng, orang tua pun merasa terbantu. Sayangnya, hal ini sering berubah menjadi kebiasaan jangka panjang.

Ilustrasi anak bermain gadget.
Foto : iStock

“Akhirnya itu yang dipilih. Jadi, oh, anakku anteng ya kalau main HP,” kata Elya kepada detikX.

Dalam keluarga yang kedua orang tuanya bekerja atau tidak memiliki cukup waktu mendampingi, kemudahan ini menjadi pilihan paling praktis. Masalah muncul ketika paparan gawai semakin sering dan menjadi satu-satunya alat untuk mengendalikan emosi anak. Dampaknya terlihat ketika anak mulai tantrum jika gawai dibatasi.

Elya menyebut pola ini sebagai lingkaran setan, anak tidak stabil emosinya, lalu ditenangkan dengan gawai, yang pada akhirnya membuat ketergantungan makin kuat. Ia menjelaskan reaksi berlebihan saat gawai diambil bisa menjadi salah satu tanda kecanduan. Gawai akan bahaya jika menggantikan interaksi, permainan fisik, dan pengalaman penting yang diperlukan untuk tumbuh kembang anak.

Selain itu, tanda-tanda kecanduan gawai juga terlihat dari dorongan kompulsif untuk terus bermain gawai, aktivitas harian yang terganggu, reaksi emosional berlebihan saat dibatasi, dan kebutuhan waktu penggunaan yang terus meningkat. Jika tanda-tanda ini muncul, pendampingan profesional mungkin diperlukan.

“(Salah satu tanda adiksi) kalau misal kita batasi gadget, dia sudah menunjukkan tantrum berlebihan,” jelasnya.

Bila dalam periode dua minggu hingga satu bulan proses dilakukan pengurangan jam penggunaan gawai dan emosi anak tetap tidak stabil, kondisi tersebut dapat mengarah pada kecanduan yang lebih serius. Dampak jangka panjangnya beragam, tergantung kondisi anak dan keluarganya. Dari sisi fisik, risiko gangguan mata dan postur tubuh meningkat.

Secara mental, penggunaan berlebihan dapat memengaruhi perkembangan, termasuk perhatian yang mudah teralihkan, gangguan perilaku, kecemasan, rendahnya harga diri, hingga potensi depresi. Anak juga bisa mengalami kesulitan akademik karena mudah bosan, kurang fokus, dan rendah toleransi terhadap ketidaknyamanan.

Meski fasilitas kesehatan, seperti puskesmas, di sejumlah wilayah sudah melakukan edukasi pencegahan bersama guru para guru taman kanak-kanak, Elya menilai pengetahuan saja tidak cukup. Tekanan ekonomi dan minimnya waktu orang tua sering membuat gawai menjadi solusi yang tak terhindarkan. Karena itu, ia menilai perlu dukungan lebih besar dari sisi kebijakan, termasuk perbaikan work-life balance keluarga serta penyediaan ruang bermain publik bagi anak.

Ilustrasi menjauhkan anak dari gadget.
Foto : iStock

Membatasi Penggunaan Gawai
Pemerintah tengah mempercepat penyusunan regulasi pembatasan penggunaan gawai di kalangan anak-anak dan remaja. Dorongan ini muncul seiring menguatnya gerakan global untuk menata ulang akses anak terhadap konten digital, baik media sosial maupun gim daring. Dikutip dari laman Komdigi, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024 menyebut 39,71 persen anak usia dini di Indonesia telah menggunakan telepon seluler, sementara 35,57 persen lainnya sudah mengakses internet.

Direktur Jenderal Ekosistem Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Edwin Hidayat, menjelaskan banyak negara juga telah mengambil langkah serupa. Menurut Edwin, pembatasan ini bukan ditujukan pada internet secara keseluruhan, melainkan pada jenis konten yang dikonsumsi anak.

Di berbagai negara, akses media sosial bagi anak dan remaja telah dibatasi. Indonesia pun akan menerapkan langkah serupa melalui Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Anak di Sistem Elektronik atau PP Tunas, yang mewajibkan verifikasi identitas sebelum anak dapat mengakses platform media sosial.

Selain media sosial, regulasi menyasar gim. Indonesia telah menetapkan Indonesia Game Rating System (IGRS), yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2026. Sistem ini mengatur klasifikasi usia pemain, sehingga tidak semua gim dapat diakses oleh semua kelompok umur. Platform penyedia gim diwajibkan mencantumkan batasan usia secara jelas. Aturan itu menjadi syarat sebelum gim dapat beredar di Indonesia.

Edwin menegaskan kebijakan tersebut berlaku menyeluruh, tidak hanya untuk platform. Penyedia layanan digital wajib menyampaikan deklarasi usia pengguna, sementara masyarakat sebagai pengguna turut berkewajiban mengikuti aturan. Ia mengingatkan pengawasan tidak boleh semata diserahkan kepada platform. Orang tua juga harus memastikan anak tidak mengakses permainan atau konten yang tidak sesuai usia.

Dalam penjelasannya, ia menekankan banyak pihak masih memperlakukan gawai sebagai alat praktis untuk menenangkan anak. Kebiasaan ini dinilai berkontribusi terhadap maraknya kecanduan gawai pada anak, yang kini bahkan ditangani di sejumlah fasilitas kesehatan. Namun Edwin menegaskan isu kesehatan tetap menjadi ranah Kementerian Kesehatan. Komdigi sendiri lebih berfokus pada pembatasan konten serta edukasi kepada masyarakat.

Ia menilai upaya perlindungan anak harus dilakukan secara bersama. Komdigi mengklaim telah melakukan berbagai bentuk sosialisasi, baik melalui penyuluhan langsung maupun melalui media massa. Menurut Edwin, keterlibatan komunitas juga penting agar orang tua saling mengingatkan mengenai risiko paparan konten digital yang tidak sesuai usia.


Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE