SPOTLIGHT

Dari Kecanduan Gadget ke Rumah Sakit Jiwa

Bagaimana anak-anak yang kecanduan gawai direhabilitasi di rumah sakit jiwa?

Ilustrasi : Edi Wahyono

Selasa, 18 November 2025

Di lantai tiga Rumah Sakit Soeharto Heerdjan, di ruang tunggu Pusat Autisme, ADHD, dan Kesulitan Belajar, Sartini duduk sambil menggenggam tas kecilnya erat-erat. Di sebelahnya, Hasbi, 12 tahun, menunduk menatap layar HP, tenggelam dalam dunia gim yang tak pernah jauh dari tangannya.

“Dia bisa main seharian itu,” kata Sartini kepada detikX.

Tiga tahun terakhir, lantai tiga ini jadi semacam rumah kedua bagi mereka. Perjalanan dimulai pada 2022, ketika guru di sekolah Hasbi menyarankan sesuatu yang membuat Sartini sempat tertegun: terapi di rumah sakit jiwa.

“Saya kaget, tapi gurunya bilang, bukan berarti anak kita gila. Di sini pusatnya jiwa,” kenangnya.

Saran itu datang setelah Hasbi berkali-kali kesulitan fokus saat belajar. Menulis satu halaman saja bisa membuatnya marah. Di kelas, ia pernah membanting teman karena merasa ditantang.

Ia mengikuti saran guru: urus rujukan BPJS, ke puskesmas, lalu langsung ke RS Soeharto Heerdjan. Lima bulan pertama, mereka bertemu dokter sebulan sekali. Setelah itu, Hasbi masuk terapi daycare, terapi perilaku yang mengajarkan kemandirian sederhana, sabar meminjam mainan, mencuci piring sendiri, atau mengingat tiga barang saat disuruh ke warung. Pelan-pelan, emosinya mereda.

Sartini ingat satu fase berat ketika dokter menjelaskan obat yang harganya Rp 30 ribu sebutir, hampir Rp 900 ribu sebulan. Jumlahnya terdengar besar, meski sejak awal ia tahu semua itu sudah ditanggung BPJS.

“Dari situ dia mulai lebih stabil,” katanya. Kini Hasbi jarang meletup. Kalaupun Hasbi marah, Sartini tahu jurusnya, bukan dimarahi balik, tapi dipeluk.

Hidup mereka berjalan dengan ritme yang rapat. Sartini bekerja lima jam sehari. Suami bekerja penuh. Pulang sekolah, Hasbi sendirian di rumah, dan layar HP jadi peneman setia. Gim online, gim gacha, YouTube, bahkan ia mulai merekam konten sendiri.

Dokter sudah mengingatkan untuk membatasi gadget (gawai) maksimal 1-2 jam sehari. “Cuma memang susah,” katanya, tanpa berusaha menutupi.

Transportasi ke rumah sakit ia bayar sendiri, naik ojek online. Kalau jadwal kontrol jatuh pada hari sekolah, guru Hasbi sudah maklum.

“Gurunya juga punya anak dengan kendala yang sama. Makanya saya percaya waktu dia nyaranin,” ujarnya.

Tiga tahun ini, Sartini selalu datang sendiri, mengantar sendiri, mendengar penjelasan dokter sendiri.

“Saya terus berjuang sendiri,” ucapnya pelan.

Namun ia tak menyesal. Di lantai tiga gedung psikiatri itu, Hasbi perlahan tumbuh jadi anak yang lebih tenang, lebih bisa mengikuti dunia di sekelilingnya, dan tetapi di sisi lain tetap setia dengan dunianya sendiri, yaitu gim online dan HP di genggamannya.

Bukan hanya Sartini, pengalaman serupa dialami Rona. Ia masih ingat malam-malam panjang ketika putranya yang baru disapih hanya bisa ditenangkan dengan satu benda, yakni tablet. Pada usia 2 tahun, anaknya bisa terjaga sampai Subuh, menatap layar tanpa jeda. Bisa tiga jam menangis, tantrum, memukul barang-barang hingga akhirnya jatuh tidur karena lelah.

“Saya sama suami sampai gantian jaga,” kata perempuan 32 tahun asal Blitar, Jawa Timur, itu.

Awalnya, gawai adalah alat transisi agar proses menyapih lebih mudah. Yang terjadi justru sebaliknya, ritme tidur hancur, mata anaknya jadi belekan, dan hidup mereka seperti terperangkap dalam siklus layar. Rona, yang sehari-hari bekerja sebagai psikolog anak, tak butuh waktu lama untuk paham apa yang sedang terjadi, yaitu kecanduan.

Ketika akhirnya tablet disembunyikan di lemari, dua minggu pertama jadi neraka. Namun, setelah enam bulan bebas gawai, situasi reda. Hingga usia 3 tahun lewat, ketika kebosanan setelah pulang sekolah kembali membuka celah bagi HP.

Kontennya kini lebih cepat dan repetitif, shorts YouTube anak. Dampaknya jelas, fokus menurun, nilai sekolah turun jadi ‘B’ hampir semua.

“Tes ngaji aja susah fokusnya,” ujarnya.

Pada usia 4 tahun, anaknya memang sudah tak tantrum seperti dulu. Namun Rona tahu pola itu tak bisa dibiarkan. Ia kini merancang hari-hari anaknya agar penuh kegiatan olahraga renang, main di luar, bermain dengan anak tetangga, hingga menyimpan HP di rumah nenek.

“Biar capeknya positif,” katanya.

Di Poli Jiwa Anak dan Remaja RSJ Dr Soeharto Heerdjan, adiksi gawai sudah menjadi wajah baru pasien anak. Dalam dua bulan terakhir, dr Isa Multazam Noor, MSc, SpKJ (K) menangani rata-rata 2-3 rawat inap per minggu, mayoritas karena gim online yang mendorong anak bermain terus-menerus.

Usia pasien termuda 10 tahun. Mayoritas remaja awal, tapi ada juga siswa kelas 9 yang datang dengan kecanduan pornografi. Gim online tetap yang paling dominan.

Perawatan dimulai dari asesmen lengkap. Anak menjalani pemeriksaan dokter, wawancara orang tua, dan psikotes untuk memotret pola pikir serta kontrol diri.

Menurut Isa, sebagian besar pasien datang berawal dari laporan sekolah. Biasanya guru atau konselor yang pertama kali menyadari perubahan perilaku anak makin impulsif, sulit diatur, atau mulai membahayakan diri dan orang lain.


“Guru-guru sekarang sudah cukup aware. Mereka yang ngomong dulu ke orang tua, ‘Ini sepertinya butuh ke psikiater anak’,” ujarnya.

Dari situ, orang tua kemudian membawa anak ke RSJ dengan rujukan. “Kebanyakan memang referral dari sekolah, baik guru maupun psikolognya,” kata Isa.

Sebagian besar kasus muncul dari pola serupa, dua orang tua bekerja, minim pengawasan, anak memalsukan umur di aplikasi atau gim, dan sekolah akhirnya yang pertama kali menghubungi orang tua.

“Kami ini rujukan terakhir. Biasanya sudah membahayakan.”

Kasus yang lebih berat, agresif, kehilangan kontrol, jam tidur hancur, dirawat inap 5–10 hari di ruang anak. Di sini, gawai diambil total. Jadwal mereka padat, aktivitas fisik, terapi seni, sesi konseling, hingga latihan regulasi emosi. Banyak yang mengalami ‘gejala putus gawai’, gelisah, marah, atau menangis pada hari-hari awal.

Untuk pasien yang tak perlu rawat inap tapi tetap harus dipantau ketat, RSJ menyediakan daycare Kuas Biru, semacam sekolah kecil. Anak datang pagi, lalu mengikuti kegiatan bermain motorik, kelas Lego, menggambar, sesi bicara, dan terapi perilaku. Di sini mereka belajar kembali mengenali batas, kapan harus duduk, kapan harus mengikuti instruksi, dan bagaimana fokus tanpa distraksi layar.

Sekitar 80 persen pasien memakai BPJS, termasuk obat penunjang, tes, hingga terapi.

Isa menyebut pola kasus ini konsisten, anak tidak bisa lepas dari gawai, tidur larut, tidak fokus di sekolah, nilai merosot, dan sering berbohong untuk tetap bermain, termasuk memalsukan umur demi membuka fitur atau konten yang seharusnya terkunci.

“Orang tuanya sering tidak tahu sama sekali,” ujarnya.

Lonjakan adiksi gawai mulai terasa sejak pandemi. Kebiasaan berlanjut karena minimnya ruang bermain aman dan kurangnya pengawasan digital di rumah.

“Selama lingkungan nggak menyediakan ruang main, mereka pasti kembali ke HP,” kata Isa.

Edwin Hidayat, Dirjen Ekosistem Digital Kominfo, mengatakan fenomena ini merupakan bagian dari global movement, internet bukan persoalan, melainkan konten-kontennya di dalam internet itu yang bisa menjadi masalah.

“Konten-konten internet itu banyak manfaatnya, tapi ada juga konten-konten ataupun aplikasi yang mungkin tidak tepat digunakan untuk anak-anak dan remaja,” kata Edwin.

Lindungi anak-anak kita.
Ilustrasi : Denny Putra/Tim Infografis

Indonesia mengikuti perkembangan itu lewat PP Tunas untuk media sosial serta pembatasan usia gim. IGRS atau Indonesia Game Rating System, yang akan berlaku mulai 1 Januari 2026, diluncurkan untuk mengatur akses berdasarkan usia.

“Gim online itu nggak jadi konsumsi semua umur,” tegas Edwin.

Aturan ini menyasar seluruh ekosistem, dari penyedia platform hingga pengguna. Penyelenggara sistem elektronik (PSE) wajib mencantumkan klasifikasi usia, sedangkan masyarakat diminta menaati batas tersebut.

“Jangan misalkan gim untuk 15 tahun ke atas, orang tuanya malah memberikan ke anak yang umur 5 tahun,” kata Edwin.

Sanksi fokus pada kepatuhan PSE. Gim yang tak mencantumkan batas umur tidak boleh beredar, dan klasifikasi yang tak sesuai wajib diperbaiki setelah verifikasi. Untuk orang tua, Kominfo menekankan tanggung jawab bersama.

Soal kecanduan gawai yang kini ditangani fasilitas kesehatan, Kominfo hanya memantau dari sisi konten. “Kalau masalah kesehatan, tentu ranahnya di Kementerian Kesehatan,” ujarnya, seraya menekankan pentingnya edukasi publik dan literasi digital.

Kominfo juga menyiapkan kewajiban pencantuman label umur untuk gim yang beredar di Indonesia mulai tahun depan. Di ranah media sosial, PP Tunas sudah mewajibkan verifikasi KTP bagi pengguna baru.

“Kalau nggak punya KTP, ya nggak bisa,” kata Edwin.

Meski edukasi terus dilakukan, Kominfo mengakui pengawasan tetap bergantung pada keluarga dan komunitas.

“Kami sudah berusaha sosialisasi, edukasi. Nah, ini kan harus community juga berperan,” tandasnya.


Reporter: Ani Mardatila, Ahmad Thovan Sugandi, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE