SPOTLIGHT

Kontroversi Gelar Pahlawan daripada Soeharto

Pemerintah menobatkan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Bagi para korban rezim otoriter Orde Baru, keputusan itu memerihkan luka sejarah.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Selasa, 11 November 2025

Pemerintah resmi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. Keputusan itu memantik gelombang penolakan dari sejumlah kalangan, terutama para aktivis hak asasi manusia dan penyintas kekerasan politik 1965-1966. Di antara suara yang menentang, ada Arif Harsana, seorang eksil Indonesia yang kini bermukim di Jerman.

Keputusan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tersebut, kata Arif, bukan sekadar penghargaan negara, tapi juga bentuk pengkhianatan terhadap ingatan kolektif bangsa atas sejarah kelam yang menelan jutaan korban.

“Sejak timbulnya wacana pemberian gelar pahlawan nasional untuk jenderal jagal besar dan koruptor besar Soeharto, saya tidak habis pikir,” ujar Arif kepada detikX.

“Bagaimana mungkin seorang penjahat besar terhadap kemanusiaan dicalonkan sebagai pahlawan?” lanjutnya.

Arif menilai gelar pahlawan semestinya diberikan kepada mereka yang mengorbankan diri demi kemaslahatan rakyat. Dalam pandangannya, Soeharto justru mewariskan luka yang panjang bagi bangsa ini.

“Rekam jejak Soeharto justru bertentangan dengan nilai-nilai tersebut,” katanya.

Ia mengingatkan kembali catatan sejarah yang kerap dilupakan: pembunuhan massal tanpa proses hukum pada 1965-1966, yang menewaskan 1-3 juta manusia. Menurut Arif, Soeharto adalah figur sentral di balik operasi militer berdarah itu. Ia merujuk pada penelitian peneliti asal Australia, Jess Melvin, yang menemukan ribuan dokumen militer di Gedung Arsip Aceh pada 2010.

Dokumen-dokumen itu, kata Arif, telah diverifikasi melalui wawancara dengan berbagai pihak dan dibandingkan dengan literatur terkait peristiwa G30S. Hasilnya kemudian diterbitkan dalam buku Berkas Genosida Indonesia pada 2015.

Ia menyebut pembunuhan massal tak berhenti pada 1965. Penangkapan dan eksekusi terhadap tahanan politik terus berlangsung hingga tahun-tahun berikutnya. Istilah tapol, menurut Arif, menjadi simbol bagaimana negara secara resmi mengakui praktik penahanan politik tanpa rasa malu.

“Istilah tapol atau tahanan politik adalah istilah yang resmi digunakan tanpa rasa malu oleh rezim Soeharto, menunjukkan watak otoriter antidemokrasi rezim teror Orba/Soeharto,” ujarnya.

Presiden Prabowo Subianto tengah bersalaman dengan Siti Hardijanti Rukmana dan Bambang Trihatmodjo saat memberikan gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto, Senin (10/11/2025). Hadir pula Titiek Soeharto dan Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo atau Didit Didit Hediprasetyo.
Foto : Eva/detikcom

Selain bukti dokumenter, Arif juga menyinggung temuan-temuan lapangan yang semakin memperkuat tuduhan kejahatan kemanusiaan. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, yang dipimpin Bedjo Untung, katanya, telah melaporkan ratusan kuburan massal di berbagai daerah di Indonesia, kecuali Papua.

“Penemuan tersebut dilaporkan kepada pihak Komnas HAM Indonesia oleh YPKP 1965, yang dipimpin oleh Bung Bedjo Untung,” tutur Arif.

Bagi Arif Harsana, penetapan itu bukan hanya pengaburan sejarah kekerasan politik, tetapi juga penyangkalan terhadap warisan korupsi yang ditinggalkan Orde Baru. Ia menilai keputusan pemerintah menobatkan Soeharto sebagai pahlawan nasional justru menunjukkan betapa pendek ingatan bangsa terhadap luka sejarahnya sendiri.

“Banyak bukti bahwa Soeharto, selain jenderal jagal besar, juga jenderal koruptor besar, yang mewariskan budaya KKN, korupsi, kolusi, nepotisme, yang masih terus merajalela di kalangan pejabat lembaga negara dan pemerintahan sampai saat ini,” ujar Arif.

Warisan kelam Soeharto tak berhenti pada korupsi dan kekerasan politik. Rezim Orde Baru juga meninggalkan jejak penderitaan lain: ribuan warga negara yang kehilangan kewarganegaraan akibat pencabutan paspor sepihak terhadap mahasiswa-mahasiswa ikatan dinas yang dikirim belajar ke luar negeri pada masa pemerintahan Sukarno.

Arif Harsana, salah satu eksil Indonesia yang kini menetap di Jerman, masih mengingat jelas bagaimana kebijakan itu mengubah nasib banyak orang. “Rezim militer otoriter korup Orba/Soeharto juga bertanggung jawab atas pencabutan paspor, sehingga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan bagi ribuan mahasiswa ikatan dinas (mahid) yang dikirim melanjutkan studi di luar negeri oleh Presiden Sukarno,” ujar Arif.

Status tanpa kewarganegaraan membuat mereka hidup dalam ketidakpastian. Tanpa dokumen resmi, mereka kehilangan akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pekerjaan. Hidup sehari-hari pun menjadi rumit dan tak bisa bepergian, tak bisa menikah secara sah, bahkan sekadar mengurus administrasi sederhana terasa mustahil.

“Beban administratifnya luar biasa. Bahkan, dengan pengakuan resmi atas status tanpa kewarganegaraan, mereka tetap menghadapi kesulitan signifikan dalam kehidupan sehari-hari,” tambahnya.

Pengalaman pahit itu cukup menjadi alasan untuk menolak romantisasi terhadap masa Orde Baru. Maka, ketika nama Soeharto resmi disematkan dalam daftar pahlawan nasional, Arif tak bisa menutupi amarahnya.

“Ketika bekas penguasa otoriter Soeharto dinyatakan sebagai pahlawan nasional, meletuslah gelombang besar kemarahan dari lapisan luas masyarakat di Indonesia,” ujarnya. “Sebagai eksil Indonesia yang sekarang tinggal di Jerman, saya juga ikut mengecam keras keputusan tersebut.”

Ia menyebut Soeharto sebagai simbol dari masa kekuasaan yang diwarnai pembatasan kebebasan, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia.


“Mantan penguasa rezim teror tersebut memerintah di masa yang diwarnai korupsi, nepotisme, penyensoran, dan pelanggaran berat hak asasi manusia. Keputusan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto ini jelas merupakan upaya menutup-nutupi kejahatan historis secara terang-terangan,” lanjutnya.

Arif melihat keputusan pemerintah itu sebagai bentuk penyangkalan terhadap perjuangan masyarakat sipil pasca-Reformasi.

“Pengangkatan gelar pahlawan untuk Soeharto merupakan pengkhianatan terhadap semangat Reformasi 1998, penggulingan rezim korup otoriter ke arah tatanan negara yang demokratis, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur peri kemanusiaan yang adil dan beradab serta berkeadilan sosial,” tegasnya.

Pernyataan Arif Harsana bukan satu-satunya suara penolakan. Penolakan terhadap gelar pahlawan nasional untuk Soeharto juga datang dari Sumarsih, ibu Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang dibunuh dalam Tragedi Semanggi I pada 13 November 1998.

“Saya Sumarsih, ibunya Wawan—BR Norma Irmawan, mahasiswa Atma Jaya Jakarta korban Tragedi Semanggi I, 13 November 1998. Jadi Wawan meninggal dunia setelah Soeharto digulingkan dari jabatan presiden oleh gerakan mahasiswa bersama rakyat pada tahun 1998,” kata Sumarsih kepada detikX.

Selama tiga dekade lebih, Sumarsih hidup di bawah kekuasaan Orde Baru yang ia sebut otoriter dan korup. “Saya hidup di era pemerintahan Soeharto yang pemerintahannya semakin otoriter, militeristik, dan korup. Saya menolak Soeharto diberi gelar pahlawan nasional,” tegasnya.

Ia menuntut agar Keppres Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional dicabut. “Soeharto adalah dalang pelanggar berat HAM,” lanjutnya.

Menurut Sumarsih, hasil penyelidikan Komnas HAM telah membuktikan adanya dugaan pelanggaran berat HAM sepanjang masa pemerintahan Soeharto, mulai pembunuhan massal 1965-1966, Tanjung Priok, Talangsari, hingga penculikan aktivis dan kerusuhan Mei 1998.

Ia masih mengingat jelas 21 Mei 1998, saat Soeharto akhirnya mundur di tengah gelombang demonstrasi mahasiswa.

Gerakan Reformasi waktu itu membawa enam tuntutan utama atau ‘Cita-cita Reformasi’: mengadili Soeharto dan kroninya, memberantas KKN, menegakkan supremasi hukum, mencabut dwifungsi ABRI, melaksanakan otonomi daerah, dan mengamendemen UUD 1945.

Namun, kata Sumarsih, tak banyak yang benar-benar terwujud. “Dari enam agenda reformasi, hanya hasil amendemen Undang-Undang Dasar 1945 yang berhasil dipertahankan,” ujarnya.

Aksi penolakan gelar pahlawan nasional Soeharto oleh Forum BEM DIY di depan gedung DPRD DIY, Kota Jogja, Senin (10/11/2025).
Foto : Serly Putri Jumbadi/detikJogja

Bagi Sumarsih, pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto bukan bentuk penghormatan, melainkan luka baru bagi keluarga korban dan para penyintas yang masih menuntut keadilan.

Gelombang kritik juga muncul dari sejumlah tokoh sipil dan intelektual yang menilai keputusan pemerintah menobatkan Soeharto sebagai pahlawan nasional sebagai bentuk kemunduran moral bangsa.

Dalam teks pernyataan yang dirilis pada 10 November 2025, delapan tokoh publik menyatakan sikap mereka “atas nama keadilan sejarah dan integritas moral bangsa”. Mereka adalah Andi Arief, Rachland Nashidik, Hery Sebayang, Jemmy Setiawan, Aam Sapulete, Robertus Robet, Syahrial Nasution, dan Rocky Gerung.

“Menjadikan klaim jasa sebagai dalih untuk menutupi, menyamarkan, dan mengaburkan kesalahan atau kejahatan sejarah, sama saja dengan menyuntikkan bius amnesia sejarah ke tubuh bangsa,” tulis mereka dalam pernyataan yang diterima detikX.

Dalam pandangan mereka, gelar kepahlawanan adalah ‘kompas moral kolektif’, penanda arah bagi generasi yang akan datang untuk membedakan mana yang patut dihormati dan mana yang seharusnya menjadi pelajaran. Jika kompas itu ditekuk, bangsa kehilangan pegangan.

Terkait pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, muncul beragam tanggapan di masyarakat. Di tengah perdebatan itu, keluarga Soeharto memilih bersikap tenang.

"Masyarakat Indonesia itu kan macam-macam ya, ada yang pro ada yang kontra, itu wajar-wajar saja," ujar putri Soeharto, Tutut, di Istana Negara kepada detikcom, Senin, 10 November 2025.

Ia mengajak publik menilai sosok ayahnya dari kiprahnya semasa hidup. “Yang penting kan kita melihat apa yang telah dilakukan bapak saya dari sejak muda sampai beliau wafat itu semua perjuangan untuk negara dan masyarakat Indonesia,” katanya.

Menurut Tutut, perbedaan pandangan tak perlu diperuncing. “Jadi boleh-boleh saja kontra, tapi juga jangan ekstrem, yang penting kita jaga persatuan dan kesatuan,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Tutut juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto.

“Kami tadi sampaikan terima kasih kepada Bapak Presiden dan masyarakat Indonesia, kepada seluruh yang telah mendukung. Untuk yang kontra dan belum mendukung kami, juga keluarga, tidak merasa dendam, kecewa, atau gimana. Memang negara kita kan kesatuan, banyak macam-macamnya ya monggo-monggo saja,” ucapnya.


Reporter: Ani Mardatila, Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE