Ilustrasi: Edi Wahyono
Selasa, 14 Oktober 2025Asry Alkazahfa terheran-heran setelah membaca draf baru Rancangan Undang-Undang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Draf yang belakangan beredar itu jauh berbeda dengan sebelumnya saat pemerintah membahas RUU ini bersama beberapa perwakilan masyarakat sipil pada April lalu.
“Sebelumnya ada 12 hak terpidana mati yang dimasukkan. Di draf uji publik, hak yang ada jadi lima,” kata peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) ini kepada detikX pekan lalu.
Dalam draf terbaru ini, hak terpidana mati untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan, atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabat kemanusiaanya dihilangkan. Begitu juga dengan hak untuk mendapatkan informasi dengan bahasa yang dimengerti.
Hak mendapatkan informasi dengan bahasa yang dimengerti didorong tetap ada dalam RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati lantaran pernah ada preseden pidana mati terhadap warga negara asing (WNA) dan warga negara Indonesia (WNI) yang tidak paham beberapa kata dalam bahasa Indonesia karena sejak lahir tinggal di luar negeri.
Selain itu, pemerintah turut menghilangkan hak terpidana mati untuk mendapatkan konsumsi dengan nutrisi yang cukup. Juga menjadikan hak pendampingan advokat kepada terpidana mati hanya sebagai opsi.
“Draf terbaru mengakomodir (pendampingan advokat kepada terpidana mati), tapi ada tambahan terpidana boleh tidak didampingi advokat, nanti jaksa buat BA (berita acara) penolakan,” ungkap Asry.
Dengan menjadikan pendampingan pengacara sebagai opsi, hak-hak terpidana selama masa-masa sebelum eksekusi boleh jadi tidak terpenuhi. Terlebih, satu bab terkait pengawasan dan pengaduan dalam draf terbaru juga dihapuskan sepenuhnya.
Praktis, tidak ada yang bisa memastikan hak-hak terpidana mati dapat terpenuhi. Potensi pelanggaran terhadap hak-hak terpidana mati semakin terbuka lebar.
Infografis : Zaki Alfarabi
“Ini nanti hubungannya dengan konsekuensi. Perlu dilihat, apabila pelanggaran haknya substansial, bisa jadi eksekusi perlu ditunda. Dan, kalau pelanggarannya ditemukan setelah eksekusi, ini harus ada kompensasi,” tegas Asry.
Selain menghapus beberapa hak terpidana, draf terbaru juga mengurangi beberapa hak terpidana mati yang termaktub dalam draf April 2025. Sebelumnya, penundaan eksekusi untuk ibu hamil dan menyusui diberi jeda tiga tahun, sesuai dengan UU 22/2022. Namun, dalam draf terbaru, narasinya diubah menjadi 30 hari dan/atau setelah anaknya berusia dua tahun.
Pemberitahuan surat perintah pelaksanaan eksekusi kepada keluarga terpidana maupun pengacara, yang sebelumnya didorong minimal 30 hari, diubah menjadi tidak lebih dari 30 hari. Dalam kata lain, surat perintah pelaksanaan eksekusi itu boleh diterbitkan selama rentang waktu 30 hari sebelum eksekusi.
Begitu juga surat pemberitahuan waktu eksekusi kepada terpidana, yang sebelumnya diatur 30 hari, diganti menjadi hanya 3 hari. Publikasi eksekusi mati, yang sebelumnya ditulis H-30, diganti menjadi H-3 setelah diberitahukan kepada terpidana mati.
“Sebelumnya, kami mendorong pernyataan advokat sebagai syarat pengecekan sebelum pelaksanaan eksekusi, tapi ini dihapus,” ungkap Asry.
Perubahan drastis pada draf aturan eksekusi mati ini baru diketahui setelah pemerintah menggelar uji publik RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati pada Rabu, 8 Oktober 2025. Wakil Menteri Hukum Edward Omar Hiariej memimpin rapat secara daring bersama sejumlah akademisi dan praktisi hukum untuk membahas terkait pasal-pasal dalam RUU tersebut.
ICJR, yang sempat dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut, tidak lagi diundang. Ini membuat partisipasi publik dalam draf RUU terbaru menjadi kian minim. Apalagi dengan dihapus dan dikuranginya hak-hak terpidana mati yang menjadi poin-poin masukan ICJR saat rapat pembahasan RUU sebelumnya.
Padahal, kata Asry, poin-poin itu adalah konsekuensi yang sudah seharusnya ditanggung negara karena masih menerapkan pidana mati. Semuanya sudah mengacu standar internasional penjatuhan hukuman mati yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian, yang salah satunya tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Baca Juga : Jejak Kelam Hukuman Mati
“Negara berani menerapkan hukuman yang mencabut nyawa, maka konsekuensinya ya negara harus menanggung beban proses pelaksanaan dengan kehati-hatian yang tinggi juga,” tegas Asry.
detikX telah menghubungi Eddy, sapaan akrab Edward Omar Hiariej, untuk meminta tanggapan terkait pengurangan dan penghapusan hak-hak terpidana dalam draf RUU baru tersebut. Namun, sampai naskah ini ditayangkan, kami belum mendapatkan waktu untuk wawancara.
Eddy sempat mengatakan pembahasan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dilakukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para terpidana mati. Pasalnya, hingga Oktober 2024, masih ada total 593 terpidana mati yang belum jelas nasibnya, apakah akan dieksekusi atau dikomutasi menjadi hukuman seumur hidup.
Pembahasan RUU ini, sambung Eddy, juga merupakan upaya harmonisasi regulasi yang dilakukan pemerintah, mengingat pidana mati telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru dan akan berlaku efektif pada 2026.
Menurut Eddy, RUU ini perlu segera dibahas lantaran, pada 23 September 2025, Dewan Perwakilan Rakyat sudah memasukkan beleid ini dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
“Hari ini, setelah kita membahas dan mendapatkan paraf dari kementerian/lembaga, akan segera kita ajukan ke Presiden bersama dengan Undang-Undang Penyesuaian Pidana,” kata Eddy pada Rabu, 8 Oktober 2025.
Eddy mengklaim pasal-pasal dalam RUU tersebut sudah selaras dengan prinsip hak asasi manusia, meski kemudian pernyataan tersebut dianggap kontroversial oleh sejumlah kalangan. Sebab, sejatinya, eksekusi mati itu sudah melanggar hak paling dasar manusia, yakni hak untuk hidup.
Suasana puluhan ambulans dan mobil kepolisian mengular menjelang eksekusi mati narapidana kasus narkotika di Nusakambangan, Minggu (18/1/2015).
Foto : Arbi Anugrah/detikcom
Juru bicara Amnesty International Indonesia Haeril Halim mengkritik sikap pemerintah yang tetap ingin melanjutkan pidana mati sebagai salah satu cara untuk penghukuman. Apalagi uji publik RUU tersebut justru dilakukan dua hari sebelum dunia memperingati Hari Menentang Hukuman Mati Internasional pada 10 Oktober 2025.
“Apa pesan yang ingin dikirimkan? Apakah pemerintah Indonesia kekeh dengan sikapnya yang tetap melaksanakan hukuman mati?” kata Haeril kepada detikX melalui sambungan telepon.
Selain itu, sambung Haeril, pembahasan RUU ini juga bertolak belakang dengan sikap Presiden Prabowo Subianto, yang tegas menolak hukuman mati. Pada April 2025, Prabowo sempat menyatakan sikapnya terhadap hukuman mati saat diwawancarai sejumlah pemimpin redaksi media di rumahnya di Hambalang, Jawa Barat.
Prabowo bilang dalam wawancara itu, hukuman mati tidak memberikan ruang koreksi apabila terjadi kesalahan dalam proses hukum. Maka dari itu, kata Prabowo, sebaiknya hukuman mati tidak dilaksanakan.
“Kalau hukuman mati final, kita nggak bisa hidupkan dia kembali,” kata Prabowo waktu itu.
Meski saat itu Prabowo spesifik bicara hukuman mati bagi para koruptor, bagi Haeril pernyataan itu adalah modal kuat bagi Indonesia untuk menghapuskan hukuman mati. Sebab, selain tidak selaras dengan prinsip HAM, hukuman mati juga sama sekali tidak efektif dalam memberikan efek jera dan mencegah kejahatan.
“Dengan memilih abolisi atau penghapusan hukuman mati, Indonesia dapat mewujudkan sistem peradilan yang adil, manusiawi, dan sejalan dengan kecenderungan global untuk mengakhiri hukuman mati,” pungkas Haeril.
Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim