Ilustrator : Edi Wahyono
Selasa, 23 September 2025Pola yang sama terulang saat Presiden Prabowo Subianto mengocok ulang kabinetnya untuk ketiga kalinya pekan lalu. Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) ini memereteli beberapa menterinya, lalu membiarkan beberapa posisi tetap kosong. Kali ini posisi Menteri Badan Usaha Milik Negara yang dibiarkan lowong.
Pola ini dilihat Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti sebagai langkah yang terburu-buru dari Prabowo Subianto. Prabowo, menurut Roy, hanya berupaya mengambil langkah taktis ini untuk merespons demonstrasi besar yang berujung kericuhan dan penjarahan pada Agustus lalu. Saat itu, massa demonstrasi turut mendesak Prabowo mencopot beberapa menterinya yang dianggap tidak peka terhadap situasi masyarakat.
“Oleh karena itu, copot saja dulu menterinya, lalu interim gitu kan, kemudian sambil melakukan seleksi,” ungkap Ray saat berbincang melalui telepon pekan lalu.
Dengan begitu, kata Ray, kesan terburu-buru pada dua kali reshuffle yang terjadi dalam tiga pekan terakhir ini tidak lagi menjadi fokus utama masyarakat. Begitu juga dengan kekosongan posisi menteri yang dicopot.
Presiden Prabowo Subianto (kanan) membacakan sumpah jabatan saat melantik menteri dan wakil menteri Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, Rabu (17/9/2025).
Foto : Antarafoto/Muhammad Adimaja/rwa
Saya pikir pola ini lebih pada upaya melihat reaksi dari pencopotan menteri bersangkutan terhadap kinerja kementerian yang diampu dan respons publik.”
Sebab, sambung Ray, apa yang diminta dalam demonstrasi untuk mencopot sejumlah menteri sudah dilaksanakan Prabowo dengan cepat. “Karena memang dibutuhkan semacam langkah-langkah yang kelihatan progresif dari Presiden, ya dilakukanlah (reshuffle) meskipun belum ada seleksi calon anggota kabinet baru gitu, khususnya di beberapa posisi,” tambah Ray.
Toh, kata Ray lagi, kursi menteri yang kosong juga bukan posisi yang cukup strategis dan perlu buru-buru mendapatkan pengganti. “Kalau untuk menteri yang sangat strategis, seperti Menkeu (Menteri Keuangan), ya harus segera diganti, tapi kan untuk jabatan yang lain tidak dibutuhkan keterburu-buruan,” kata Ray.
Sebelum posisi Menteri BUMN yang masih kosong sampai hari ini, Prabowo juga sempat mengosongkan dua posisi menteri seusai reshuffle jilid II pada awal September lalu. Waktu itu, Prabowo mencopot lima nama sekaligus, yaitu Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan, Menkeu Sri Mulyani, Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding, Menteri Koperasi Budi Arie Setiabudi, dan Menpora Dito Ariotedjo.
Dari lima nama yang dicopot, tiga nama langsung mendapatkan gantinya. Posisi Menkeu langsung diisi Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri P2MI diisi Mukhtarudin, dan Menkop diisi oleh Ferry Juliantono.
Namun, dua posisi lainnya, yakni Menpora dan Menko Polkam, dibiarkan kosong. Ada jeda sembilan hari sejak reshuffle jilid II pada 17 September 2025 sebelum akhirnya dua posisi itu kembali terisi. Posisi Menpora kini diisi Erick Thohir, yang sebelumnya menjabat Menteri BUMN. Lalu posisi Menko Polkam diisi Jenderal TNI (Purnawirawan) Djamari Chaniago.
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai Prabowo memang sengaja mengosongkan beberapa posisi menteri terlebih dahulu. Tujuannya untuk melihat reaksi dari pencopotan tersebut.
“Saya pikir pola ini lebih pada upaya melihat reaksi dari pencopotan menteri bersangkutan terhadap kinerja kementerian yang diampu dan respons publik,” tulis Wasisto melalui pesan singkat kepada detikX.
Tidak jauh berbeda, Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno menilai apa yang dilakukan Prabowo saat ini hanyalah cara untuk menangkap apa yang menjadi tuntutan rakyat. Prabowo, menurut Adi, mungkin tidak terlalu mengambil pusing soal kekosongan kursi menteri sembari tetap melakukan seleksi untuk calon pengganti.
Pasalnya, saat ini pejabat di kabinet tidak hanya ada menteri, tapi juga ada wakil menteri. Kekosongan kursi menteri ini bisa diisi oleh wakil menteri atau pejabat ad interim untuk sementara waktu. Sedangkan kekosongan kursi menteri koordinator bisa diisi oleh menteri-menteri yang berada di bawah koordinasinya.
Baca Juga : Mendepak Banteng dari Kabinet
“Terbukti, selama dua minggu ada kekosongan kementerian itu, pemerintahan tetap berjalan,” ungkap Adi saat dihubungi reporter detikX pekan lalu.
Selain kerap membiarkan kursi menteri kosong untuk beberapa waktu, Prabowo juga punya cara sendiri untuk memperlakukan para pembantunya yang mengajukan pengunduran diri. Dia tidak langsung menandatangani surat pengunduran diri tersebut, melainkan menunggu waktu yang tepat untuk mencopot mereka dari posisinya.
Hasan Nasbi, saat masih menjabat Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan alias Presidential Communication Office (PCO), pernah mengajukan pengunduran diri pada April 2025. Namun, kala itu, Prabowo enggan menandatangani surat pengunduran diri Hasan.
Walhasil, Hasan kembali bekerja sebagai Kepala PCO. Dia baru diberhentikan bersama para menteri lainnya pada 17 September 2025. Posisi Hasan kemudian diisi Angga Raka, yang merangkap jabatan Wakil Menteri Komunikasi dan Digital.
Mantan Menpora Dito Ariotedjo juga sempat mengajukan pengunduran diri pada 13 Agustus 2025 ketika ayah mertuanya Fuad Hasan Masyhur masuk dalam daftar cekal Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengunduran diri itu disampaikan Dito kepada Sekretaris Kabinet Letkol TNI Teddy Indra Wijaya melalui pesan singkat WhatsApp.
Namun, waktu itu, Teddy sama sekali tidak menjawab pesan singkat Dito. Dito baru dicopot bersama beberapa menteri lain pada 8 September 2025.
Menkeu Sri Mulyani juga begitu. Ani, sapaan akrabnya, sempat datang ke Hambalang menemui Prabowo setelah rumahnya di Bintaro dijarah massa. Kepada Prabowo, Ani meminta pengunduran diri lantaran kecewa atas situasi keamanan di Indonesia.
Namun Prabowo tidak langsung mengiyakan permintaan Ani. Dia menunggu sampai hampir dua pekan sebelum akhirnya mencopot Ani dan menggantinya dengan Purbaya.
Ray Rangkuti menilai keengganan Prabowo langsung menandatangani surat pengunduran diri para pembantunya itu merupakan bagian dari strategi untuk menjaga nama baiknya sebagai presiden. Pasalnya, jika Prabowo langsung mengiyakan pengunduran diri para pejabatnya, boleh jadi masyarakat akan menganggap Prabowo tidak memiliki kemampuan manajerial yang baik.
Dengan begitu, artinya, citra negatif dari pengunduran diri para pejabat ini akan langsung mengarah pada Prabowo. Maka dari itu, Prabowo lebih memilih mencopot para menterinya ketimbang menyetujui pengunduran diri mereka.
“Nah, sekarang kan setelah mereka semua dicopot oleh Pak Prabowo, image negatifnya kan ke mereka semua, yang dicopot-copot ini, karena dianggap mungkin tidak klop dengan Pak Prabowo, nggak seperti yang diharapkan Prabowo. Jadi Pak Prabowo-nya citranya tetap terjaga,” kata Ray.
Baca Juga : Menetralisir Geng Solo
Presiden Prabowo Subianto saat melantik beberapa pejabat di Istana Negara, Jakarta, Selasa (22/10/2024).
Foto : Grandyos Zafna/detikcom
Sebaliknya, Adi Prayitno malah menganggap keengganan Prabowo mengiyakan pengunduran diri para pejabatnya ini justru menjadi sinyal ketegasan Prabowo. Bagaimanapun, kata Adi, menteri adalah pembantu presiden. Mereka tidak bisa bermanuver tanpa ada persetujuan dari presiden.
“Karena mereka diangkat itu ya persetujuan presiden, maka berhentinya pun menunggu penghentian presiden,” ungkap Adi.
Sementara itu, Wasisto Raharjo Jati mengatakan Prabowo sengaja tidak langsung menandatangani surat pengunduran diri para menteri karena ingin memberikan kesempatan kedua bagi para menterinya. “Kalau memang selama diberi kesempatan itu tidak ada improvisasi, maka diganti,” ungkap Wasisto.
detikX sudah menghubungi Angga Raka dan Tenaga Ahli Utama PCO Insaf Albert Tarigan terkait analisis sejumlah peneliti politik ini. Namun, sampai artikel ini diterbitkan, keduanya masih belum memberikan tanggapan.
Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban