Spotlight

Mati Perlahan karena Jajanan

Pemerintah gagal mewujudkan sistem pangan aman, anak-anak di wilayah urban kebanjiran jajanan berisiko tinggi lemak trans.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Rabu, 20 Agustus 2025

Bagi anak-anak di kampung Kota Jakarta yang relatif padat, jajanan paling mudah diakses adalah makanan olahan kemasan. Namun mereka yang gandrung akan jajanan aneka rasa ini tidak bisa disalahkan. Apa yang tampak sebagai pilihan individual sesungguhnya dibentuk oleh absennya regulasi dan rendahnya pengawasan terhadap pangan berisiko tinggi, terutama yang mengandung lemak trans.

Lemak trans, atau asam lemak trans, merupakan jenis asam lemak tak jenuh yang dapat berasal dari sumber alami maupun industri. Dalam produksi industri, lemak trans dibuat melalui proses hidrogenasi parsial minyak nabati, yaitu mengubah minyak nabati cair menjadi bentuk padat yang lebih stabil. Bahan ini banyak digunakan dalam berbagai produk pangan olahan yang kerap menjadi favorit di kalangan masyarakat.

Risikonya tidak main-main. WHO menegaskan konsumsi asam lemak trans (ALT) dalam jumlah besar dapat meningkatkan risiko serangan jantung dan kematian akibat penyakit jantung koroner. Lembaga ini merekomendasikan pelarangan minyak terhidrogenasi sebagian (partially hydrogenated oil/PHO), termasuk pelarangan produksi, impor, penjualan, dan penggunaan PHO pada semua makanan. Jika langkah itu dinilai belum bisa dilakukan langsung, WHO merekomendasikan agar konsumsi lemak trans dibatasi di bawah 1 persen dari total asupan energi harian. Setara dengan kurang dari 2,2 gram per hari untuk pola makan 2.000 kalori.

Standar internasional Codex tidak mewajibkan pencantuman lemak trans pada pangan olahan.”

Namun kenyataan di lapangan jauh dari ideal. Penelitian WHO Indonesia pada 2023 menemukan sejumlah makanan olahan di Indonesia masih mengandung ALT di atas ambang batas yang dianjurkan. Dari 130 sampel produk makanan yang diuji, meliputi margarin dan olesan, minyak dan lemak, makanan kemasan berbasis lemak (biskuit, kue kering, wafer, kue, roti), serta makanan siap saji seperti donat dan martabak, sebelas di antaranya (8,46) mengandung lemak trans tinggi, melebihi ambang WHO sebesar 2 gram per 100 gram lemak total.

Produk dengan kandungan ALT tinggi ini lazim dijumpai di sekitar kita, antar lain biskuit, wafer, bolu, pastry, hingga jajanan kaki lima, seperti martabak dan roti maryam. Bahkan bahan baku yang sering digunakan untuk membuat kue dan roti, seperti mentega putih (shortening) atau campuran margarin-mentega, juga ditemukan memiliki kadar yang tinggi. Rekor tertinggi ditemukan pada campuran margarin dan mentega impor, yaitu 22,68 gram ALT atau sepuluh kali lipat dari rekomendasi WHO. Adapun pada kategori makanan panggang, satu dari empat sampel (25 persen) memiliki kandungan lemak trans tinggi.

Tidak adanya regulasi yang memadai, ditambah kerentanan sosial, menciptakan ruang subur bagi pola konsumsi tidak sehat, terutama di kalangan anak-anak. Di hampir setiap gang permukiman padat, penjaja makanan olahan mudah ditemui. Saat jam pulang sekolah hingga sore hari, warung-warung ini diserbu anak-anak yang mencari jajanan murah dan menarik, walaupun berisiko bagi kesehatan.

Pemandangan itu tampak jelas di Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, dan di beberapa titik permukiman padat Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. Menurut data Badan Pusat Statistik, Johar Baru memiliki 25 sekolah tingkat taman kanak-kanak, 27 SD, dan 11 SMP  dengan total 30.536 anak usia sekolah dasar hingga menengah pertama. Mereka tinggal di gang-gang sempit dengan kepadatan penduduk mencapai sekitar 57.771 jiwa per kilometer persegi, tertinggi di Jakarta Pusat. Ironisnya, di wilayah ini pula berdiri markas pusat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Di tengah keterbatasan, warung-warung kecil menjadi sumber utama pangan anak-anak, menyediakan jajanan kemasan yang murah dan menarik, tetapi tinggi risiko, terutama dari kandungan lemak trans.

Setiabudi menampilkan lanskap berbeda. Wilayah ini memiliki 107.400 penduduk dengan luas 8,85 kilometer persegi, sehingga tingkat kepadatannya hanya 12.136 jiwa per kilometer persegi, jauh lebih rendah daripada Johar Baru. Dengan 22 SD dan 10 SMP yang menampung sekitar 11.889 anak usia sekolah, lingkungan di sini lebih lapang. Namun kantong-kantong warga rentan tetap ada, begitu pula warung-warung di sekitar sekolah yang memengaruhi pola konsumsi harian anak-anak.

Untuk melihat lebih dekat, detikX mengunjungi warung-warung di permukiman, sekitar sekolah, dan titik kumpul anak-anak di kedua kecamatan tersebut. Dari perbincangan dengan pedagang, orang tua, anak-anak, dan warga, terkumpul 38 jenis jajanan olahan yang paling sering dijual dan dibeli.

Dari 38 jenis tersebut, 23 di antaranya diproduksi oleh tiga produsen ternama. Rinciannya mencakup 19 biskuit aneka rasa, 8 snack nonbiskuit (ciki, keripik, dan sejenisnya), 6 wafer, dan 1 pasta cokelat. Dari label kandungan gizi, hanya 8 produk yang mengklaim bebas lemak trans atau ALT, sementara 26 sisanya tidak mencantumkan informasi terkait sama sekali.

Dengan kondisi itu, Indonesia dipandang belum menerapkan kebijakan eliminasi lemak trans yang memadai. Tanpa penguatan regulasi, celah ini membuat pasar Indonesia tetap terbuka bagi produk-produk tinggi lemak trans, baik lokal maupun impor.

Kepala BPOM Taruna Ikrar mengakui aturan yang ada saat ini belum sampai pada tahap eliminasi penuh. Larangan atau pembatasan lemak trans di Indonesia baru mencakup minyak goreng dan produk gizi khusus. Belum ada regulasi yang menyasar semua produk pangan olahan.

Peraturan BPOM Nomor 26 Tahun 2021, terang Taruna, terkait label pangan olahan memang sedang dalam proses revisi, tetapi pencantuman lemak trans di label tetap tidak diberlakukan secara wajib. Adapun pengawasan BPOM terhadap produk pangan yang mencantumkan informasi mengenai lemak trans pada label juga dilakukan berbasis risiko. Artinya, BPOM tidak secara rutin menguji kadar aktual lemak trans di semua produk, melainkan hanya memverifikasi kesesuaian label dengan data pendaftaran.

“Standar internasional Codex tidak mewajibkan pencantuman lemak trans pada pangan olahan,” kata Taruna kepada detikX pekan lalu secara tertulis.

Menurut BPOM, kewajiban tersebut bisa menjadi beban bagi industri, terutama UMKM, mengingat biaya pengujian yang mahal dan terbatasnya laboratorium uji sesuai metode WHO. Walaupun BPOM mengklaim sudah memiliki laboratorium yang mampu menguji lemak trans sesuai standar internasional.

Sementara itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi mengakui hingga kini belum ada kebijakan teknis yang benar-benar menyasar pengendalian lemak trans di masyarakat. Pemerintah memang telah memiliki aturan melalui PP 28/2024, yang memuat pengendalian gula, garam, dan lemak, tapi pelaksanaannya masih sebatas edukasi dan sosialisasi.

“Memang belum ada kebijakan teknisnya yang benar-benar sampai ke bawah,” kata Nadia kepada detikX.

Label gizi di kemasan pangan diharapkan memberi informasi kandungan gula, garam, lemak, dan kalori secara detail. Namun, tanpa aturan teknis yang ketat, pencantuman kandungan lemak trans masih jarang dilakukan. Sosialisasi dianggap langkah awal, sementara pembatasan distribusi atau promosi baru akan dilakukan setelahnya.

“Tidak langsung penerapan sanksi, kita mulai dengan sosialisasi dan edukasi,” terangnya.

Ia menyebut sumber utama lemak trans di Indonesia ada pada baking fat, biskuit, wafer, dan kue kemasan. Adapun pencegahan di hulu, seperti pelarangan impor atau produksi bahan baku yang mengandung lemak trans, diakui masih sulit dilakukan.

“Kalau impor kan dilarang nggak mungkin juga. Karena lemak trans ini juga digunakan untuk produk-produk lain," ucapnya.

Jebakan Klaim Bebas Lemak Trans

Peneliti Senior SEAFAST Center IPB Nuri Andarwulan mengatakan label nol trans fat atau bebas lemak trans di pasaran belum tentu berarti bebas sepenuhnya. Ia menjelaskan, jika ada angka nol lemak trans itu maknanya bukan tidak terdeteksi sama sekali lemak trans dalam pangan tersebut.

Namun sesuai Peraturan BPOM No. 26 Tahun 2021, jika kandungan lemak trans di bawah 0,5 persen, perusahaan bisa mengklaim nol. Dalam penelitian IPB bersama WHO, kadar 0,2 atau 0,3 persen kerap ditemukan di hampir semua sampel produk, namun tetap boleh dilabeli nol karena memenuhi ketentuan tersebut.

Masalahnya menurut Nuri, metode pengujian itu belum tentu akurat. Metode standar resmi dari WHO untuk deteksi lemak trans umumnya menggunakan alat Gas Chromatography (GC) yang dipasangi kolom kapiler polar sepanjang 100 meter, khusus untuk pemisahan asam lemak isomer cis/trans dengan presisi tinggi. Sayangnya menurut Nuri, mayoritas laboratorium di Indonesia menggunakan kolom yang panjangnya hanya 60 meter. Kolom sepanjang itu hanya mampu mendeteksi 60 persen dari keseluruhan kandungan lemak trans yang sesungguhnya.

IPB pernah menggunakan kolom sepanjang 60 meter yang hanya mampu mendeteksi 60 persen kandungan lemak trans. Di bawah bimbingan ahli WHO, mereka kemudian menggunakan kolom 100 meter, yang hasilnya menunjukkan kadar lebih tinggi.

“Misalnya ada angka 1 persen, itu sebenarnya hanya merepresentasi 60 persen dari total trans fat yang ada jika analisisnya menggunakan 60 meter,” jelas Nuri.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, seberapa akurat klaim nol trans fat yang diakui produsen dan BPOM jika pengujian tidak mengikuti metode paling sensitif. Sementara menurut Nuri Indonesia hanya memiliki satu laboratorium yang mampu menganalisis trans fat secara optimal, yaitu di IPB.

“BPOM juga nggak punya laboratorium pembanding," ungkapnya.

Ironisnya, pengadaan peralatan sebenarnya bukan hambatan besar. Harga kolom standar WHO dinilai tak terlalu mahal. Bahkan satu kolom bisa digunakan ratusan kali pengujian.

“Alatnya ada, hanya tinggal kolomnya, harga kolomnya itu sekitar 30-40 juta. Itu kan sebenarnya kalau negara yang mengadakan itu kan angka kecil sebenarnya,” ujar Nuri.

Menurut Nuri wacana mewajibkan pencantuman kadar lemak trans di label makanan sudah ada. Untuk itu kesiapan laboratorium menjadi kunci. Setiap produsen yang mendaftarkan produknya ke BPOM nantinya harus melampirkan hasil analisis trans fat. Untuk itu BPOM wajib memiliki laboratorium yang mumpuni untuk melakukan uji pembanding.

“Itu yang kami sebut harus dipersiapkan dulu jika trans fat itu diregulasi,” kata Nuri.








Keterlambatan regulasi ini membuat konsumen tetap rentan mengonsumsi lemak trans tanpa disadari. Label nol di kemasan bisa saja menutupi kenyataan bahwa produk tersebut masih mengandung kadar yang secara kesehatan tetap berisiko, sementara negara belum mampu atau belum mau memastikan pengujian yang akurat dan merata.

Adapun Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, menegaskan, informasi kandungan lemak trans di produk pangan, maupun penelitian terhadapnya, masih sangat terbatas di Indonesia. Sementara itu impor Partial Hydrogenated Oil (PHO) terus berjalan dari berbagai negara. Banyak produsen PHO dari berbagai negara menjadikan Indonesia salah satu tujuan ekspor, mengingat sudah banyak negara lain yang melarang PHO.

Mengutip data bank dunia, pada 2023 saja Indonesia mengimpor lemak dan minyak nabati, serta fraksinya, yang terhidrogenasi sebagian atau seluruhnya senilai sekitar USD 33,87 juta. Adapun total volume impor mencapai sekitar 13.486 ton.

“Ini kan dari sisi hilirnya ya. Dari sisi hulunya, salah satu sumber dari lemak trans itu kan Partial Hydrogenated Oil (PHO). Sejak beberapa negara maju khususnya Amerika dan Eropa itu melarang, dia itu kan bergeser ke negara berkembang, khususnya Asia Pasifik,” kata Sudaryatmo kepada detikX.

Di sisi hilir, pelabelan kandungan lemak trans di produk olahan juga bermasalah. YLKI pernah melakukan food label analysis di Jakarta terhadap biskuit dan sejenisnya. Hasilnya, ada yang tidak mencantumkan sama sekali, ada pula yang mencantumkan tetapi semuanya mengklaim nol persen lemak trans. Padahal pengujian yang dilakukan IPB khusus untuk produk biskuit menemukan kandungan lemak trans cukup tinggi, jauh di atas 2 persen seperti rekomendasi WHO. Ditambah peraturan BPOM tentang pelabelan pangan kemasan masih bersifat sukarela.

Di dalam negeri, PHO tidak hanya diimpor. Menurut YLKI sejumlah industri besar itu melakukan hidrogenasi parsial terhadap minyak nabati secara mandiri. Sayangnya aturan label di Indonesia hanya mewajibkan mencantumkan istilah minyak nabati tanpa menyebut jenisnya atau proses hidrogenasinya.

“Kalau hidrogenasi parsial pasti ada lemak trans-nya kan gitu, regulasinya itu nggak cukup minyak nabati, harus ada nabatinya dari apa dan dilakukan hidrogenasi atau tidak,” tegasnya.

Rusak Perlahan Akibat Jajanan

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Piprim Basarah Yanuarso mengungkapkan regulasi lemak trans di Indonesia masih jauh dari kata tegas. Ia menilai lemahnya pengaturan membuat industri leluasa memasarkan produk yang berisiko bagi kesehatan anak-anak, dengan label yang kerap menyesatkan.

Menurut Piprim akar masalahnya dapat ditelusuri dari sejarah kampanye yang keliru sejak era 1970-an, ketika lemak jenuh seperti santan, minyak kelapa, butter, keju, dan telur utuh dicap berbahaya bagi kesehatan. Masyarakat pun terjebak pada anggapan minyak nabati pasti sehat karena bebas kolesterol. Namun, puluhan tahun setelah pergeseran konsumsi dari lemak jenuh ke PHO, kasus penyakit jantung koroner dan penyakit metabolik justru meningkat pesat. Produk seperti margarin, kue kering industri, fast food, hingga popcorn dan keripik kentang kemasan, kata Piprim, menjadi sumber paparan utama lemak trans.

Kesadaran masyarakat soal bahaya ini, menurutnya masih rendah. Lemak trans bersifat kronis dan dampaknya tidak langsung terlihat, tetapi berkontribusi pada obesitas, hipertensi, dan sindrom kardiometabolik pada anak dan remaja.

“Sekarang banyak anak-anak itu hipertensi, remaja udah hipertensi,” kata Piprim kepada detikX.

IDAI, kata Piprim, mengimbau pemerintah melindungi masyarakat, terutama anak-anak, dengan cara mewajibkan industri makanan menuliskan kandungan produk secara jujur dan detail.

“Karena kan ini kadang-kadang tipu-tipu di dunia yang begini. Gula saja itu nggak disebut sebagai gula, padahal isinya juga gula yang high fructose corn syrup," ungkapnya.

Ia memperingatkan bahwa kombinasi high fructose corn syrup dengan trans fat atau minyak nabati PHO adalah cara cepat untuk merusak kesehatan masyarakat Indonesia.



—- Liputan ini didukung oleh fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerja sama dengan Global Health Strategies (GHS).


Reporter: Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE