SPOTLIGHT

Ujung Perlawanan Warga Kampung Bayam

Lebih dari lima tahun warga Kampung Bayam hidup luntang-lantung setelah digusur untuk proyek Jakarta International Stadium (JIS). Mata pencaharian sempat hilang, anak-anak mengalami trauma, dan janji kompensasi kerap tertunda.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Senin, 18 Agustus 2025

Sejak pagi-pagi buta, alat berat dan Satpol PP menghancurkan rumah-rumah di Kampung Bayam. Bagi anak-anak, seperti yang dialami anak Sherly, Ketua Persatuan Warga Kebon Bayam, kenangan penggusuran sekitar lima tahun yang lalu itu bukan sekadar kehilangan rumah. Namun juga menciptakan trauma yang membekas hingga raibnya mata pencaharian.

Letupan emosi menjadi sukar meredam, terutama anak keduanya, yang sampai kini bereaksi keras jika melihat aparat, menyisakan rasa takut juga kehilangan masa kecil mereka.

“Mereka lihat rumahnya dihancurkan, pakai backhoe, teriak-teriak,” kata Sherly kepada detikX.

Sherly merupakan satu dari ratusan warga dari 600 keluarga yang tinggal di Kampung Bayam sejak awal 2000-an. Mereka membayar uang sewa dan uang tanah kepada masyarakat setempat ketika pertama kali menempati kampung tersebut, yang terletak di Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Sejak 2008, warga Kampung Bayam sudah menghadapi ancaman penggusuran berkali-kali, termasuk dari perusahaan swasta. Alat berat berulang kali menghancurkan rumah-rumah baru yang mereka dirikan, tetapi warga membangun kembali tempat tinggal mereka dalam sehari. Ancaman yang datang tanpa dialog maupun penjelasan yang jelas itu membuat warga hidup dalam ketidakpastian, bahkan sempat tinggal di pinggir rel kereta api.

Pada 2019, ketika pembangunan Jakarta International Stadium (JIS) mulai berjalan, ancaman penggusuran menjadi kenyataan. Ratusan warga terdampak akhirnya tercerai-berai: beberapa memilih pindah ke pelosok, sementara yang lain menuntut keadilan dan kompensasi atas hak tempat tinggal yang selama ini mereka tempati. Komunitas yang semula erat pun mulai terpecah, menandai periode sulit dalam sejarah Kampung Bayam sebelum upaya relokasi dan kompensasi oleh pemerintah dimulai.

Namun, ketika PT JakPro mulai mendata, memberikan kompensasi kontrakan sementara untuk satu tahun senilai Rp 22 juta, serta menjanjikan hunian tetap setelahnya, Sherly dan ratusan warga lainnya memutuskan setuju pindah dari wilayah tersebut selama setahun.

Sayangnya, dua tahun berlalu hingga 2022, janji hunian pengganti itu belum juga ditepati. Merasa kecewa dan tak memiliki pilihan lain, Sherly bersama warga lainnya memilih tinggal di tenda-tenda sementara, menahan panas siang dan dingin malam, hampir sepanjang tahun.

Padahal Kampung Susun Bayam diresmikan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 12 Oktober 2022. Namun tarif sewa yang belum disepakati dan status lahan yang masih abu-abu membuat hunian baru itu tetap dianggap menjadi simbol janji, bukan kenyataan.

“Akhirnya kan, karena pernegosiasiannya alot, terus ketika bangunan ini udah jadi, tapi mereka tidak memberikan juga, akhirnya kita bikin aksilah, bangun tenda di depan. Itu karena abis (uang kontrak) 2022 November sampai September 2023, itu nenda,” tutur Sherly.

Kehidupan mereka pun berlangsung penuh ketidakpastian, dengan anak-anak bermain di sela-sela perabot seadanya, sementara orang dewasa berusaha tetap menjaga rutinitas sehari-hari di tengah kondisi yang serba-terbatas.

Tuti, perempuan berusia 43 tahun, salah satu warga Kampung Bayam yang turut berjuang untuk melakukan aksi menetap di tenda, bahkan menghadapi kehilangan lainnya, yakni motor satu-satunya yang ia pakai untuk mencari nafkah sehari-hari.

“Motor ilang karena dihipnotis orang, anakku niatnya mau ngojek (bantu cari uang untuk makan),” tutur Tuti.

Sedangkan warga lainnya, Soenarso, laki-laki berusia 51 tahun, bahkan mesti merelakan tidur di jalan luar tenda dikarenakan keterbatasan tempat.

Lambat laun tenda dibongkar dan mereka dipaksa pindah Rusun Nagrak bersama 32 keluarga lainnya. Jaraknya dari Kampung Susun Bayam mencapai 15 kilometer, padahal semua kegiatan sekolah dan bekerja berada di wilayah tersebut.

Mata Pencaharian Hilang, Anak Lelah Sepulang Sekolah
Kehidupan sehari-hari anak-anak pun berubah drastis. Setelah dipindahkan dari tenda-tenda di depan JIS menuju Rusun Nagrak, sekolah menjadi tantangan tersendiri.

Warga Kampung Bayam di depan Kampung Susun Bayam di Papanggo, Jakarta Utara, Kamis (13/8/2025).
Foto : Ani Mardatila/detikX

“Waktu pindah ke Nagrak, sekolah anak-anak tetap di sini. Tapi saya awalnya minta fasilitas bus sekolah (ke JakPro). Tapi awalnya hanya antar. Karena ada anak-anak yang SMA, terus ada anak-anak yang lainnya juga SMP. Kalau ngikutin mereka, kan pulang pasti sore tuh,” cerita Sherly.

Anak-anak harus berangkat pukul lima pagi dari rumah dan pulang pada pukul delapan malam setiap harinya. Menempuh perjalanan panjang dari Nagrak ke JIS dengan biaya transportasi yang cukup tinggi.

Kondisi ini juga berdampak langsung terhadap perekonomian keluarga. Sebelum penggusuran, Sherly masih bisa menutupi kebutuhan keluarga dengan gaji di bawah UMP sebesar Rp 3,5 juta dan suaminya yang bekerja dengan sistem komisi juga serabutan sebagai ojek.

“Kalau waktu di Kampung Bayam sih, untuk menghidupi keluarga, itu masih enak ya. Karena kalau suamiku kan, dia pulang masih bisa narik ojek, jadi adalah pemasukannya,” ujarnya.

Namun, setelah dipindahkan ke Nagrak, sebagian besar mata pencaharian hilang. Suaminya tidak bisa lagi bekerja rutin karena jarak dan biaya transportasi yang tinggi, nyaris Rp 50 ribu, sementara pekerjaan Sherly menjadi lebih sulit diatur karena harus mengurus anak-anak yang sekolah jauh.

Listrik dan kebutuhan dasar lainnya menjadi beban tambahan karena penghasilan yang tidak menentu. Ini membuat hari-hari mereka penuh perjuangan, jauh dari kenyamanan lama di Kampung Bayam.

“Sampai beli listrik kadang-kadang tuh pada nggak mampu. Jadi kita tahu nih risikonya, ya sudah, lu nggak punya duit, ya lampu lu mati, ya udah lu tidur gelap-gelapan. Soalnya, mereka pada kerjanya di sini, lingkungan sosial kami juga pada di sini (Kampung Bayam). Di sana sulit dapat mata pencaharian,” kata Sherly.

Begitupun dengan Tuti. Setiap hari Tuti mesti menempuh perjalanan belasan kilometer selama satu setengah jam lamanya. Ia melewati truk tronton yang kerap mengular menuju wilayah JIS, tempatnya mencari nafkah. Sudah berkali-kali Tuti terjatuh dari motor karena harus menghindari truk, juga pandangan yang kabur karena debu.

Anak-anak Kampung Bayam bermain bola di lapangan Rusun Kampung Bayam, Kamis (13/8/2025).
Foto : Ani Mardatila/detikX

“Sudah lima kali itu jatuh dari motor sampai luka-luka semua badannya. Hidup itu di jalan kayak bawa telur di atas kepala, bisa jatuh. Gerak dikit, nyawa bisa kapan pun ilang,” keluh Tuti.

Sementara itu, Soenarso memilih tetap mengontrak meski juga menerima rusun di Nagrak agar tetap tak terpisah dari orang-orang yang ia kenal. Demi bekerja lebih dekat, ia akhirnya mesti merogoh dompet hingga Rp 800 ribu.

Sedangkan Aceng, laki-laki berusia 54 tahun, kehilangan mata pencahariannya karena dipaksa pindah ke Rusun Nagrak. Ada masanya ia memaksakan diri bersepeda hingga tiga jam untuk berangkat ke wilayah JIS untuk memulung maupun bekerja serabutan. Namun lambat laun tenaganya sudah tak kuat untuk menempuh perjalanan enam jam pulang pergi hingga ia memutuskan bekerja beberapa hari sekali.

“Kalau buat sehari-hari seret, istilahnya untuk cari ekonomi susah. Biasa kita nyari di sini (area JIS), nyari di sini, akhirnya kita dari awal lagi, bingung. Bingungnya ya kita nggak kenal sama si A, si B-nya (di daerah Nagrak). Kalau di sini kan kita udah tahu lingkungan. Kalau mau cari rongsokan, kita udah tahu wilayah. Kalau mau ke laut, kita sudah tahu kenalan sama si A, si B-nya,” pungkas Aceng kepada detikX.

Baik Sherly, Tuti, Aceng, Soenarso, maupun puluhan warga lainnya, setelah perlawanan panjang lebih dari setengah dasawarsa, akhirnya bisa pulang dan memperoleh hak mereka di Kampung Susun Bayam pada 7 Agustus 2025.

Selama enam bulan pertama, warga tidak perlu membayar biaya sewa. Namun, mulai Januari 2026, mereka diwajibkan membayar Rp 1,7 juta per bulan. Beberapa warga mempertimbangkan negosiasi agar ada fleksibilitas pembayaran dikarenakan biaya sewa yang teramat tinggi dibandingkan upah bulanan mereka.

detikX sudah berupaya menemui Kepala Person in Charge (PIC) PT Jakarta Propertindo (JakPro) Ferdi, yang berkantor di Kampung Susun Bayam. Tapi Ferdi menolak memberikan keterangan pada Rabu (13/8/2025). Di sisi lain, detikX telah berupaya menghubungi Corporate Communication PT Jakarta Propertindo Egi Fadliansyah melalui pesan instan, tetapi belum memberikan balasan hingga naskah ini diterbitkan.


Reporter: Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE