SPOTLIGHT

Saat TNI Merakit Obat

TNI masuk bisnis farmasi diklaim untuk pemerataan akses obat di Indonesia, tapi programnya dianggap masih samar dan dikritik ahli.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Senin, 11 Agustus 2025

Akhir April lalu di hadapan DPR RI, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan TNI akan ikut memproduksi dan mendistribusikan obat-obatan untuk dijual kepada masyarakat luas. Belakangan diketahui obat hasil produksi TNI itu akan disalurkan dan dijual di Koperasi Merah Putih. Mereka bekerja sama bersama Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Salah satu mantan petinggi Kemenhan yang detikX wawancarai menjelaskan ide TNI berdagang obat baru muncul pada 2023-2024, walaupun Lembaga Farmasi (Lafi dari tiga matra) TNI sudah ada medio 1950-an. Selama ini Lafi hanya khusus memproduksi obat untuk para prajurit TNI. Obat-obatan yang diproduksi tersebut disesuaikan kebutuhan matra masing-masing. Misalnya obat-obatan antimabuk laut untuk prajurit Angkatan Laut.

"Obat-obat yang diproduksi, kalau nggak salah, waktu itu sudah sesuai dengan standar BPOM. Tetapi memang yang diproduksi tidak eksklusif, seperti obat jantung yang mahal-mahal, tidak. Tetapi obat-obatan yang tidak terlalu membutuhkan teknologi tinggi," ucapnya kepada detikX.

Di sisi lain, beberapa sumber di kalangan internal pemerintah mengatakan sejumlah pihak khawatir keterlibatan TNI dalam urusan obat-obatan akan memperumit koordinasi dan pengawasan. Distribusi obat, yang sejatinya dilakukan oleh ahli, kini harus dijalankan oleh TNI aktif yang hanya memperoleh pelatihan dalam waktu relatif singkat. Namun beberapa sumber ini mengatakan Menhan sangat percaya diri bahwa prajurit aktif nantinya bisa dilatih oleh para ahli.

Brigjen Frega Ferdinand Wenas Inkiriwang, Kepala Biro Informasi Pertahanan Sekretariat Jenderal Kementerian Pertahanan, menegaskan Kemenhan bukan pemimpin program, melainkan pendukung kebijakan lintas kementerian. Ia menekankan keterlibatan TNI terjadi karena ada gap dalam layanan kesehatan.

“Leading sector-nya adalah Kementerian Kesehatan, kita membantu,” kata Frega kepada detikX pekan lalu.

Sementara itu, Apotek Merah Putih, yang berada di bawah Koperasi Desa Merah Putih, diklaim menjangkau 80 ribu titik di seluruh Indonesia. Keterlibatan Kemhan, kata Frega, didorong oleh arahan Presiden Prabowo Subianto untuk memanfaatkan sumber daya laboratorium farmasi TNI, Lafiad (Angkatan Darat), Lafial (Angkatan Laut), dan Lafiau (Angkatan Udara), yang selama ini memproduksi obat bagi prajurit. Produksi ini kini di-upgrade untuk memenuhi standar BPOM dan memperoleh nomor izin edar agar bisa masuk pasar sipil.

Program ini diklaim mengatasi sulitnya akses dan mahalnya harga obat. Pemerintah memproyeksikan harga obat turun hingga 50 persen. Walaupun demikian, jenis obat yang diproduksi sebetulnya tergolong obat generik yang mudah dijumpai di banyak tempat dengan harga murah. Beberapa di antaranya adalah parasetamol, ponstan, dan antibiotik.

Frega mengakui ketersediaan di Jawa dan Sumatera relatif tidak bermasalah. Namun ia menekankan harga obat yang dijanjikan lebih murah sebagai justifikasi perlunya distribusi secara nasional.

Secara resmi, anggaran tetap berada di kementerian teknis. Meski demikian, ia mengakui ada mekanisme pengalihan dana dari Kemenkes ke Kemenhan untuk mendukung kegiatan operasional, termasuk kerja sama dengan BUMN farmasi, seperti Kimia Farma dan Bio Farma.

Audiensi Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin dengan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar, di kantor BPOM Jakarta, pada Selasa, (20/5/2025).
Foto : Dok. Kemenhan

"Anggarannya bukan di Kementerian Pertahanan,” ujar Frega.

TNI disebut siap membantu distribusi obat, terutama di wilayah konflik, pulau terluar, atau daerah sulit akses. Frega menggarisbawahi penentuan lokasi dan kebutuhan obat sepenuhnya wewenang Kemenkes, Kementerian Koperasi, dan BPOM.

Ngebut Menjelang Eksekusi Program
Menurut Kemenhan, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah-Putih) menjadi titik awal keterlibatan TNI dalam program apotek di tingkat desa/kelurahan. TNI tak sendiri. Program ini turut melibatkan Kemenkes, BPOM, dan BUMN farmasi (Bio Farma, Kimia Farma, serta PT Agrinas).

Setelah inpres tersebut keluar, berbagai proses dikebut demi memuluskan program. Sekitar akhir April hingga Mei 2025, Kemenhan disebut langsung melakukan revitalisasi laboratorium farmasi milik TNI menjadi pabrik farmasi pertahanan. Kesepakatan antara Kemenhan dan BPOM disebut juga sudah terjalin sejak Mei 2025.

Kesepakatan itu disebut untuk mempercepat penerbitan nomor izin edar obat, sertifikasi cara pembuatan obat yang baik (CPOB), serta pelatihan sumber daya manusia, yang juga melibatkan Universitas Pertahanan (Unhan). Akhirnya, sejak 11 Juli 2025, Lafi TNI disebut telah terlibat secara aktif dalam produksi obat-obatan untuk dikirim ke Apotek Merah Putih secara nasional.

Menurut paparan Kemenhan, TNI berfokus memproduksi obat-obatan generik untuk kebutuhan Apotek Merah Putih. Beberapa produk tersebut adalah parasetamol (Fimol) 500 mg sebanyak 11,5 juta tablet. Lalu asam mefenamat 500 mg sejumlah 4,7 juta kaplet. Kemudian Cefadroxil (Cefalaf) 500 mg sebanyak 1,2 juta kapsul. Selain produksi massal, peran TNI meliputi pendistribusian obat ke gerai apotek desa, penyelenggara operasional logistik, dan penyimpanan.

Di sisi lain, Kepala BPOM Taruna Ikrar menegaskan pelibatan TNI dalam produksi dan distribusi obat untuk program Apotek Merah Putih merupakan bagian dari strategi ketahanan nasional. Menurut BPOM, Kemenhan telah memiliki infrastruktur dan bahkan akses kerja sama internasional, termasuk dengan India, untuk pengadaan bahan baku obat. Lembaga farmasi milik TNI akan dioptimalkan, sementara BPOM memastikan regulasi dan standardisasi produk.

Distribusi obat oleh TNI, menurut BPOM, telah memiliki dasar hukum kuat. Sarana pengelola sediaan farmasi milik TNI diakui sebagai fasilitas pengelolaan kefarmasian dalam UU Kesehatan Nomor 17/2023. Distribusi harus memenuhi cara distribusi obat yang baik (CDOB) diatur dalam PP 28/2024 dan Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2025. Personel yang terlibat wajib mengikuti pelatihan CDOB, yang mencakup manajemen mutu, operasional, transportasi, hingga pengelolaan narkotika dan psikotropika.

Adapun terkait struktur apotek di desa, BPOM mengacu pada KMK 737/2025, yang menegaskan apotek desa/kelurahan dikelola Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Apotek inti wajib memiliki apoteker penanggung jawab dengan izin praktik resmi. Sedangkan apotek plasma dapat dikelola tenaga vokasi farmasi dibantu tenaga kesehatan pendukung. Apoteker penanggung jawab bisa berasal dari dinas kesehatan atau puskesmas setempat.

Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes Aji Muhawarman menegaskan program ini sepenuhnya berada di bawah Kemenkes. Aji menjelaskan penyediaan obat di Apotek Desa harus mengikuti ketentuan: semua sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai wajib memiliki izin edar dan bersumber dari produsen resmi—industri farmasi, pedagang besar farmasi (PBF), atau distributor alat kesehatan berizin.

Rapat Direktorat Jenderal Perencanaan Pertahanan Kementerian Pertahanan membahasi rencana pembentukan Gerai Apotek Koperasi Desa Merah Putih, Kamis (19/6/2025).
Foto : Dok. Kemenhan

“Kurang lebih ada 400 item yang paling banyak dibutuhkan masyarakat desa,” kata Aji.

Produsen akan mendistribusikan obat melalui PBF ke seluruh apotek desa di Indonesia. Kemenkes memosisikan diri sebagai pengarah kebijakan, sementara Koperasi Desa bertindak sebagai pengelola langsung.

Apotek desa dibentuk oleh koperasi, bekerja sama dengan apoteker penanggung jawab. Proses pendirian memerlukan studi kelayakan, perizinan, perencanaan anggaran, sarana prasarana, logistik, dan kerja sama dengan pihak terkait. Jumlah apotek yang berdiri sepenuhnya ditentukan oleh kebutuhan masing-masing desa atau kelurahan.

Menurut Aji, tahapan pembentukan apotek meliputi studi kelayakan berdasarkan readiness criteria (RC), penyediaan sarana prasarana, perencanaan anggaran, dan pengelolaan logistik. RC itu menetapkan syarat dasar: bangunan memadai, listrik dan air bersih 24 jam, minimal satu tenaga kefarmasian, dan jumlah penduduk lebih dari 1.000 orang.

Sayangnya, menurut salah satu sumber di pemerintah, jumlah apoteker dan tenaga kesehatan tak akan cukup misalkan disebar ke seluruh apotek yang diproyeksikan. Kondisi itu memunculkan keharusan adanya tenaga bantuan, misalnya dari TNI dan pihak Koperasi Desa. Namun hal itu belum dapat dipastikan mengingat program yang masih baru berjalan.

Kritik Sejumlah Pihak
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Novendri Rustam menilai program Apotek Desa/Kelurahan Merah Putih belum berangkat dari landasan akademik yang kuat.

“Kalau bagi kami… landasan akademiknya harus kuat. Apa sih kebijakan itu? Misalnya terkait masalah ketersediaan obat di desa, artinya masyarakat lebih gampang menjangkau layanan kebutuhan obat,” kata Novendri kepada detikX.

Menurut IAI, jika yang dibutuhkan adalah obat resep, jalur utamanya tetap puskesmas atau klinik. Jika obat bebas, pasar sudah menyediakan opsi, bahkan minimarket pun kini diizinkan menjualnya berdasarkan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Novendri mengingatkan Kemenkes sebenarnya telah memiliki program Integrasi Layanan Primer (ILP), yang menghubungkan puskesmas, puskesmas pembantu, dan puskesdes, termasuk layanan obat.

“Kalau ILP ini optimal, infrastruktur dan jaringan distribusi obat di desa sudah ada,” katanya.

Ia melihat urgensi terbesar bukanlah membangun apotek baru, melainkan mengoptimalkan fasilitas yang sudah ada, memperkuat kolaborasi dengan puskesmas sebagai apotek inti, serta membuka layanan eksternal hingga malam.

Rapat finalisasi persiapan peresmian Apotek Merah Putih di Gedung Kemenko Bidang Pangan, Jakarta, Selasa (15/7/2025).  
Foto : Dok. Kemenkes

Keterlibatan Kemenhan dalam memproduksi obat, menurut Novendri, tidak menjadi masalah sepanjang mematuhi standar CPOB dan registrasi BPOM. Ia menegaskan apoteker juga sudah ada di lembaga farmasi TNI. Namun ia menilai produksi bukan tantangan utama.

“Yang dibutuhkan justru distribusinya,” ujarnya.

Biaya distribusi, terutama ke wilayah timur dan pelosok, bisa membuat harga obat melonjak hingga lima kali lipat. Di sinilah, menurutnya, TNI bisa berperan signifikan, mengangkut obat dari apotek inti ke apotek plasma di daerah terpencil, mengatasi hambatan geografis, keamanan, dan kerawanan. Adapun untuk obat generik di layanan JKN, ia menegaskan, harganya sudah ‘paling murah sedunia’ melalui e-catalog.

Ketua Kluster Kedokteran dan Kesehatan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional sekaligus pengurus pusat PB Ikatan Dokter Indonesia Iqbal Mochtar menilai langkah ini tidak memiliki urgensi dan justru berada di luar domain profesional TNI.

“Obat-obatan merupakan domain spesifik yang harusnya dikelola secara profesional oleh orang-orang yang memang berkecimpung di bidang itu,” kata Iqbal kepada detikX pekan lalu.

Profesi farmasi memerlukan pendidikan panjang dan keahlian teknis mendalam, terlebih untuk urusan produksi obat yang memerlukan pengetahuan presisi. “Keterlibatan TNI di dalam pengadaan obat… menurut saya itu tidak urgen,” tambahnya.

Menurut dr Iqbal, TNI memiliki mandat yang jelas, melindungi negara dan memperkuat sistem pertahanan. Di tengah meningkatnya potensi konflik internasional, ia menilai TNI justru harus fokus mengembangkan teknologi pertahanan mutakhir. Keterlibatan di sektor obat, kata dia, justru akan mengaburkan peran TNI yang sesungguhnya.

“Mereka harus membangun teknologi canggih, seperti membuat peluru kendali, satelit pengintai, drone. Itu tugas dan mandat TNI,” ujarnya.

Dokter Iqbal mengungkap penyebab utama tingginya harga obat di Indonesia bukan pada biaya produksi, melainkan pajak yang berlebihan. Terutama untuk obat impor esensial, seperti obat kanker dan jantung. Ia membandingkan harga obat kanker di Indonesia dan Malaysia, yang di Malaysia jauh lebih murah karena pemerintah tidak membebankan pajak besar pada pasien.

“Pemerintah itu mengambil keuntungan atas masyarakat yang sakit, seharusnya tidak begitu,” tegasnya.


Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE