Rabu, 30 Oktober 2024
Andro—bukan nama sebenarnya—baru-baru ini mulai merintis sebuah apotek di salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah. Awalnya, sebelum membuka apotek, ia sempat bertanya kepada para pemilik apotek lain terkait pasokan obat. Mereka kompak menyarankan Andro membeli obat-obatan sebagai keperluan apotek di Pasar Pramuka, Jakarta Timur.
Menurut mereka, membeli obat di sana seperti membeli sayur, tak perlu surat dan persyaratan tertentu. Aneka obat tersedia dalam jumlah besar, dijual bebas, termasuk antibiotik. Para pedagang di sana disebut mampu mengirim pasokan obat hampir ke seluruh daerah Indonesia.
Penasaran, akhirnya Andro menyempatkan diri ke Pasar Pramuka. Betul kata rekannya. Cukup dengan bilang ingin membuka apotek, Andro langsung ditawari aneka macam obat, termasuk antibiotik, dengan harga terjangkau. Namun akhirnya ia mengurungkan niatnya membeli obat di sana. Ia khawatir terhadap kualitas dan keamanan obat di lokasi tersebut.
Kepada detikX, Andro mengaku memilih membeli obat secara resmi di pedagang besar farmasi (PBF). Menurut aturan, penjualan obat dengan jumlah besar harus melalui PBF yang berbadan hukum dan terdaftar serta diawasi oleh pemerintah.
Lebih memilih tidak melayani antibiotik tanpa resep dokter. Memiliki beberapa risiko, salah satunya potensi pelanggan memilih apotek lain. Sebab, apotek sekitar saya dengan bebas memberikan antibiotik tanpa resep dokter."
"Lebih memilih tidak melayani antibiotik tanpa resep dokter. Memiliki beberapa risiko, salah satunya potensi pelanggan memilih apotek lain. Sebab, apotek sekitar saya dengan bebas memberikan antibiotik tanpa resep dokter," kata Andro.
Selain itu, Andro bertekad tidak akan menjual antibiotik tanpa disertai resep dokter. Sayangnya, upayanya untuk tertib aturan justru berbuah pengalaman tak mengenakkan. Suatu hari ada pelanggan datang ke apoteknya ingin membeli sejumlah antibiotik. Namun, karena pelanggan tersebut tanpa resep, Andro menolak melayani.
Pelanggan ini, kata Andro, kemudian tetap memaksa mendapatkan antibiotik sembari menunjukkan identitasnya sebagai aparat pemerintah di dinas kesehatan setempat. Mendapat semacam ancaman halus, Andro akhirnya pasrah menyerahkan antibiotik tanpa resep tersebut. Ia khawatir, jika tak dilayani, petugas tersebut akan mempersulit perizinan apotek yang masih seumur jagung tersebut.
“Saya merasa memiliki tanggung jawab pada kesehatan setiap pelanggan saja. Jadi saya buka apotek tidak hanya berjualan obat, tetapi sebagai pihak yang juga menjaga kesehatan masyarakat serta mendukung kesehatan semesta,” ujarnya.
Sejak dulu Pasar Pramuka di Jakarta terkenal sebagai sentra penjualan obat. Di sana dijual bebas beragam obat, termasuk antibiotik. Uniknya, pasar ini seolah tak tersentuh oleh pengawasan dan penindakan badan pengawas maupun aparat berwenang. Padahal Pasar Pramuka hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari kantor pusat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo.
detikX menyempatkan diri mengunjungi Pasar Pramuka. Di sana tim kami menyamar menjadi seorang pemilik apotek yang sedang mencari persediaan antibiotik. Kepada kami, para pedagang menyanggupi untuk mengirim barang dalam jumlah besar ke lokasi yang jauh.
Selama proses negosiasi harga, kami tak pernah dimintai surat keterangan khusus ataupun resep. Sebagai sampel, akhirnya kami membeli cukup banyak antibiotik dari berbagai merek dagang.
Menurut salah satu sumber detikX, dulu kios-kios di Pasar Pramuka adalah toko obat dan alat kesehatan. Guna meminimalkan sanksi, toko-toko itu mengurus izin sebagai apotek. Sayangnya, itu tak menghilangkan praktik jual beli obat tanpa prosedur tepat yang telah menjamur di sana.
Badan Pengawas Obat disebut harus meminta izin atau melapor dahulu kepada aparat penegak hukum sebelum melakukan penggerebekan. Celah itulah yang dicoba dimanfaatkan oleh pedagang obat nakal. Mereka diduga melakukan sekongkol dengan aparat nakal yang memberi perlindungan atas usaha mereka.
Di sisi lain, laporan penjualan antibiotik disebut sangat mudah dimanipulasi. Apotek atau toko obat terdaftar secara rutin harus melaporkan penjualan obat seperti antibiotik. Jumlah resep dan jumlah obat keluar harus sesuai. Sayangnya, catatan resep sangat mudah dipalsukan.
"BPOM itu hanya gini loh, oh apotek lo ada seribu ya yang keluar, mana resepnya? Ada, karena hanya itu peraturannya. Orang beli nih, dia bisa, dia tinggal bikin tanda tangan dokter. Tinggal bikin. BPOM bisa apa? Ada tanda tangan dokter, udah sah," ucap salah satu sumber detikX yang mengetahui proses di balik layar Pasar Pramuka.
Lantas dari mana pedagang obat di Pasar Pramuka mendapat pasokan obat dalam jumlah banyak?
Secara terpisah, narasumber lain yang tak bersedia namanya disebut mengatakan ada dua sumber utama pasokan obat. Pertama, obat-obat itu didapat dari para sales produsen obat. Kedua, hasil kongkalikong dengan pihak pabrik obat yang mengalami produksi berlebih.
"Belanja dari pabrik. Contoh lo sales dari parasetamol, target gue kurang nih, nih ada yang mau borongan, istilahnya main banyak. Makanya orang beli ke situ lebih murah atau barang buangan pabrik over capacity. Ke mana yang mau nampung? Ya ke situ. Kalau principal ditanya, (jawabnya jual) lewat PBF (pedagang farmasi besar) kok," ucap narasumber tersebut.
"Potensi bisnisnya lumayan, tiap provinsi ada pemain besarnya," sambungnya.
Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif Deputi 1 BPOM Rita Endang tak membantah pihaknya kesulitan mendisiplinkan Pasar Pramuka dan fasilitas kefarmasian lainnya.
"Nah, oleh karena itulah, memang dalam rangka untuk mengawal ini, sekali lagi, ini bukan hanya tugas dari kementerian atau lembaga Badan POM. Ya tentu ini harus menjadi tugas bersama secara besar," kata Rita kepada detikX.
Baginya, pemerintah daerah juga turut bertanggung jawab atas banyaknya antibiotik yang diperdagangkan secara ilegal. Hal itu karena izin operasi apotek dipegang oleh dinas kesehatan kota/kabupaten. Dengan itu, jika terjadi pelanggaran aturan, merekalah yang berwenang memberikan sanksi dan pencabutan izin terhadap apotek.
BPOM mengklaim banyak apotek yang dikenai sanksi tetapi tetap dibiarkan beroperasi oleh dinas kesehatan setempat. Padahal, tiap sanksi diberikan, BPOM selalu mengirim surat pemberitahuan kepada pemda setempat.
"Kalau Badan POM memberikan teguran berupa penghentian sementara kegiatan, ya ditutup dulu apoteknya supaya punya efek jera. Dinas kesehatan ya yang memiliki izin, ya kemudian juga memiliki satu kewenangan untuk membina SDM-nya. Apotek-apotek itu kan SDM-nya dibina oleh dinas kesehatan dan dibina oleh Kementerian Kesehatan sarana pelayanannya," ungkap Rita.
Selain apotek dan toko fisik, BPOM melihat banyak antibiotik diperdagangkan tanpa resep di platform daring. Upaya untuk menertibkannya diakui juga tak kalah sulit. Sebenarnya BPOM juga telah menerbitkan aturan terkait peredaran antimikroba atau antibiotik secara daring. Aturan itu tertuang dalam Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2020. Di sana diatur pembelian antibiotik secara daring harus melalui penyelenggara sarana elektronik farmasi (PSEF) yang terdaftar. Distribusi obat dalam PSEF diawasi serta dilaporkan ke Kemenkes dan BPOM.
Sementara itu, sepanjang 2020-2024 ini, BPOM telah melakukan kunjungan ke kurang lebih 10 ribu sarana kefarmasian. Dari jumlah itu, ditemukan lebih dari 70 persen masih menjual antimikroba atau antibiotik tanpa resep. Walaupun demikian, BPOM mengklaim terus berusaha memperkecil temuan angka tersebut.
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan Anis Karuniawati mengatakan, terkait kefarmasian, Indonesia memiliki regulasi yang lengkap. Sayangnya, penerapan dan pengawasan di lapangan masih kurang, sehingga masih banyak antibiotik yang diedarkan tanpa resep.
Untuk menekan hal itu, KPRA mengusulkan pemberian label 'antibiotik' pada tiap kemasan obat yang tergolong antibiotik. Selama ini obat antibiotik banyak diproduksi dengan berbagai merek. Kondisi itu dikhawatirkan membingungkan publik. Terlebih masih banyak masyarakat yang menyimpan obat di rumah, terutama jika dianggap manjur.
"Kita edukasi masyarakat nih, jangan minum antibiotik, tapi kan mereka nggak tahu antibiotik itu yang mana. Bisa saja dia cuma bilang di apotek saya sakit tenggorokan terus sama apotek dikasih antibiotik, gitu kan,” tutur Anis kepada detikX.
Di sisi lain, untuk menekan laju peredaran bebas antibiotik, sejak 2019 pemerintah telah menyusun pedoman terkait peresepan obat. Beberapa antibiotik dikelompokkan ke dalam kelompok akses yang dapat diresepkan oleh semua dokter. Adapun antibiotik di luar kelompok itu peresepannya harus melalui reviu dokter spesialis khusus dan tim pengendali resistensi antimikroba di tiap rumah sakit.
"Nah, targetnya WHO tuh secara keseluruhan negara itu harus menggunakan kelompok akses itu 60 persen. Tapi nih kayaknya mau ditingkatkan juga, yang diusulkan di high level meeting yang di New York itu akan ditingkatkan lagi 70 atau 80 persen. Saya nggak tahu nanti sesuai kesepakatan, tapi yang jelas itu berat, 60 persen saja berat di Indonesia untuk mencapainya," jelasnya.
Target tersebut agak sulit dicapai karena antibiotik golongan akses terkadang justru tidak tersedia di Indonesia. Anis menduga hal itu karena antibiotik golongan akses terhitung obat murah. Para distributor enggan mengimpor dan menjual obat yang dinilai terlalu murah.
"Jadi ada beberapa obat murah itu yang kita tuh nggak ada dan distributor kayaknya nggak mau mengimpor karena terlalu murah. Nah, sebetulnya kan yang seperti ini saya bolak-balik juga bicara, ini mestinya kan kewajibannya Kimia Farma ya untuk itu," ungkap salah satu Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut.
Liputan ini dibuat melalui beasiswa dari Internews Earth Journalism Network.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban
Ilustrasi: CreativaImages/Istock