Ilustrasi : Edi Wahyono
Selasa, 23 April 2024Perselisihan Pilpres 2024 telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi kemarin. Tak ada coblosan ulang. MK menolak seluruh permohonan yang diajukan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Semua dalil mereka dianggap tidak beralasan menurut hukum, sehingga tidak bisa menjadi dasar untuk mendiskualifikasi Prabowo-Gibran.
Anggota tim hukum TPN Ganjar-Mahfud, Maqdir Ismail, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya terkait putusan itu. “Para hakim itu menutup mata dan telinga. Mereka tidak mau membuka mata terhadap apa yang sesungguhnya terjadi,” ujar Maqdir kepada detikX, Senin malam.
Misalnya, Maqdir mencontohkan, dugaan pejabat tidak netral di Kalimantan Barat, Bali, dan Jawa Tengah. Kemudian ketidaknetralan dinas pendidikan dan guru di Kota Medan, Sumatera Utara. Semuanya dianulir karena MK menganggap hal itu sudah ditindaklanjuti oleh Bawaslu. “Kenyataannya di lapangan tidak ada tindak lanjutnya. Ini diabaikan oleh majelis hakim. Bawaslu dianggap baik-baik saja,” ungkapnya.
Maqdir menilai ‘tutup mata’ itu lantaran para hakim tak mau melompat keluar dari kerangkeng hukum positif ke konstruksi konstitusionalisme. Akibatnya, pemisahan persoalan etika dan persoalan hukum mewarnai kesimpulan yang diambil majelis hakim.
Ketua tim hukum AMIN Ari Yusuf Amir sependapat. “Hanya karena tidak ada aturan perundang-undangan mengenai ‘cawe-cawe’ (ikut campur), MK menyatakan Presiden Joko Widodo tidak terbukti cawe-cawe. Padahal para hakim konstitusi memberikan catatan,” kata Ari kepada detikX.
Catatan yang dimaksud Ari adalah MK menyoroti ketidaknetralan Presiden bisa berdampak terhadap ketidakadilan kompetisi pemilu. Hal ini dibacakan oleh hakim konstitusi Ridwan Mansyur pada sidang kemarin.
Massa aksi melakukan aksi bakar ban usai mendengar hasil sidang Sengketa Pilpres di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Foto : Pradita Utama/detikcom
“Menurut Mahkamah, mutlak diperlukan kerelaan Presiden petahana untuk menahan atau membatasi diri dari penampilan di muka umum yang dapat dipersepsikan oleh masyarakat sebagai dukungan bagi salah satu kandidat,” sebut Ridwan. Namun, lanjutnya, tolok ukur keberpihakan Presiden dalam pemilu termasuk dalam wilayah etis dan belum diatur tegas dalam peraturan perundang-undangan, sehingga tidak ada sanksi hukumnya.
Seluruh Bukti Dianggap Tak Cukup
Untuk pertama kalinya, sidang sengketa pemilu turut mempertimbangkan penilaian amicus curiae atau sahabat pengadilan (masyarakat di luar pihak beperkara). Jumlahnya belasan, Megawati Soekarnoputri salah satunya. Namun, jangankan keterangan amicus curiae, bukti artikel, rekaman video, saksi, hingga ahli yang dihadirkan tim hukum AMIN dan Ganjar-Mahfud tidak dapat meyakinkan MK bahwa telah terjadi pelanggaran hukum dalam Pilpres 2024.
Dari seluruh permasalahan yang diajukan, MK mengelompokkannya menjadi enam isu, yaitu independensi penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu); keabsahan pencalonan presiden dan wakil presiden; bansos; netralitas aparatur negara; prosedur penyelenggaraan pemilu; dan pemanfaatan aplikasi Sirekap. Menurut MK, seluruh persoalan ini tidak berhasil didalilkan secara hukum.
MK tak menemukan cukup bukti bahwa Bawaslu tidak menindaklanjuti pelanggaran pemilu. Juga soal Jokowi mengintervensi syarat pencalonan capres dan cawapres.
“Adanya Putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/11/2023 yang menyatakan adanya pelanggaran berat etik dalam pengambilan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak serta-merta menjadi bukti yang cukup untuk meyakinkan Mahkamah bahwa telah terjadi tindakan nepotisme yang melahirkan abuse of power Presiden dalam perubahan syarat pasangan calon tersebut,” demikian bunyi salah satu kesimpulan majelis yang dibacakan hakim MK Arief Hidayat.
Soal bansos, MK menilai tidak ada kejanggalan dalam anggaran bansos menjelang pilpres. Sebab, sudah merupakan rancangan matang oleh pemerintah. Selain itu, MK tidak meyakini korelasi bansos dengan peningkatan suara. Menurut MK, hal itu perlu pembuktian lebih lanjut.
Baca Juga : Nasib Negeri di Tangan Mahkamah Konstitusi
Dalil terkait pertemuan Presiden dengan pejabat parpol, naiknya tunjangan kinerja Bawaslu, pengerahan kepala desa untuk meraup suara, serta surat yang sudah dicoblos juga dinyatakan tak cukup bukti.
Selisih Pendapat Hakim
Tiga hakim MK, yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat, memberikan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Ketiganya menghendaki pemungutan suara ulang. Arief spesifik menyarankan pemungutan suara ulang di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara.
Pelaksanaan yang hanya tunduk pada undang-undang semata, kata Saldi Isra, tapi mengabaikan nilai-nilai etika hanya akan melahirkan pemilu yang tidak berintegritas. Berbagai kelemahan peraturan pemilu akan dimanfaatkan oleh pihak yang ingin menang dengan cara curang.
Dua hal yang membuat Saldi berbeda pendapat adalah soal penyalahgunaan bansos dan keterlibatan aparat untuk pemenangan Prabowo-Gibran. “Pembagian bansos atau nama lainnya untuk kepentingan elektoral menjadi tidak mungkin untuk dinafikan sama sekali. Oleh karena itu, saya mengemban kewajiban moral untuk mengingatkan guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya pengulangan atas keadaan serupa dalam setiap kontestasi pemilu,” tulisnya.
Terlebih, lanjut Saldi, kunjungan kerja Presiden ke daerah menjelang pilpres menunjukkan peningkatan intensitas. Hal ini didukung oleh, antara lain, adanya celah hukum pada aturan UU Pemilu. “Perumpamaan kondisi demikian ibarat banyak orang melihat asap mengepul membubung tinggi, tapi tiada satu pun yang dapat menemukan titik api yang menjadi sumber asap itu. Pada titik inilah moralitas atau etika memainkan peran penting agar tidak memanfaatkan celah atau kekosongan aturan hukum (legal loophole),” tegas Saldi.
Menurut Ari Yusuf Amir, tiga dari delapan hakim memberi pendapat berbeda itu sudah merupakan angka yang signifikan. Bahkan dissenting opinion dalam sengketa pilpres baru terjadi kali ini, tidak pernah sepanjang sejarah pilpres di Indonesia sejak 2004. Sudah menjadi kebiasaan dan kesepakatan para hakim konstitusi untuk kompak dalam putusan sengketa pemilu guna menjaga legitimasi pemerintahan baru.
Massa dari Aksi Bersama Rakyat Berdaulat meninggalkan kawasan Patung Kuda Jakarta Pusat pukul 17.30 WIB. Mereka menyatakan menerima putusan MK.
Foto : Agung Pambudhy/detikcom
Pendapat berbeda dari tiga hakim menandakan adanya perdebatan serius di tubuh MK. “Artinya juga, dalil yang diajukan oleh tim kami tidak mudah dipatahkan,” kata Ari.
Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini juga mengatakan dissenting opinion oleh tiga hakim membuat legitimasi atas putusan MK tidak solid dan akan selalu menyisakan kontroversi di masyarakat. “Putusan MK memang memperkuat legalitas keputusan KPU soal perolehan suara dan hasil yang ditetapkan oleh KPU. Namun adanya tiga dissenting opinion oleh tiga hakim akan dirujuk sebagai perspektif bahwa Pemilu 2024 masih menyisakan persoalan terkait praktik pemilu yang jujur, adil, setara, dan demokratis sebagaimana dikehendaki Konstitusi,” katanya.
Sementara itu, baik Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud sudah menyatakan menerima putusan dengan lapang dada. Cak Imin, misalnya, mengaku menghormati putusan MK sebagai keputusan yang final dan mengikat. “Di sinilah ujung perjuangan konstitusional kita. Keputusan MK hari ini menjadi penanda berakhirnya seluruh proses Pilpres 2024. Putusan hari ini mengonfirmasi bahwa kita semua, termasuk MK, tak kuasa menghentikan laju pelemahan demokrasi di negeri kita tercinta,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Anies Baswedan juga mengucapkan selamat kepada Prabowo dan Gibran. “Dengan segala catatan tentang problematika proses Pilpres 2024, kami berkomitmen untuk menjaga prinsip peaceful transition of power (perpindahan kekuasaan yang damai). Bagi kami, proses Pilpres 2024 telah terlewati seluruh fasenya. Kami sampaikan kepada Pak Prabowo dan Pak Gibran, selamat menjalankan amanat konstitusi. Selamat bekerja menunaikan harapan rakyat yang kini diembankan di atas pundak Bapak-bapak berdua,“ ucap Anies.
Reporter: Alya Nurbaiti
Penulis: Alya Nurbaiti
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban