Ilustrasi : Edi Wahyono
Rabu, 30 Agustus 2023Budiman Sudjatmiko diganjar kartu merah oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Surat pemecatan sebagai kader diterima Budiman enam hari setelah ia bersama Prabowo Subianto mendeklarasikan Relawan Prabowo Budiman Bersatu (Prabu) di Semarang, Jawa Tengah. Wilayah itu dianggap elite PDI Perjuangan sebagai kandang banteng.
Dua jurnalis detikX, yaitu Ani Mardatila dan Ahmad Thovan Sugandi, mendapatkan kesempatan berbincang mendalam dengan Budiman sebanyak dua kali: sebelum dan setelah pemecatannya dari PDI Perjuangan. Budiman menegaskan keputusan PDI Perjuangan mengusung Ganjar Pranowo merupakan tindakan yang keliru.
“Ya, itu keliru. Mungkin pendekatan populistik di 2014 cocok. Karena memang lawannya waktu itu Pak Prabowo itu agak-agak elitis ya. Sehingga mencari antitesisnya ya yang populis, itu cocok. Makanya muncul Pak Jokowi,” ujarnya.
Menurut eks Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik tersebut, saat ini Ganjar merupakan pemimpin yang populis. Di poros yang lain, Anies Baswedan cenderung intelektualistik. Sedangkan Prabowo, berbeda dengan Pilpres 2014, kini tak elitis lagi.
Baca Juga : Ancang-ancang Politik Identitas di Jawa Timur
Budiman Sudjatmiko saat bertemu Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Selasa (16/8/2022).
Foto : Dok. Istimewa
“Pak Prabowo itu sosok yang strategis. Saya pikir, dalam menghadapi seperti ini, ya kita butuh kepemimpinan strategis. Bahwa kemudian ternyata bukan dari partai saya, it's okay,” tuturnya.
Pak Prabowo itu sosok yang strategis. Saya pikir, dalam menghadapi seperti ini, ya kita butuh kepemimpinan strategis. Bahwa kemudian ternyata bukan dari partai saya, it's okay.”
Atas sikapnya ini, Budiman merasa biasa saja diserang dengan julukan sebagai ‘pembelot’, ‘kader kaleng-kaleng’, atau bahkan ‘celeng’. Pada 1990-an, dia pernah merasakan beban yang lebih berat. Bahkan risikonya adalah kehilangan nyawa. Namun, yang banyak orang tak tahu, ada beberapa kader PDI Perjuangan yang diam-diam mendukungnya.
“Ada diskusi dengan beberapa teman. Nggak perlu saya sebutkan siapa. Dan ketika terjadi pun, banyak juga teman PDI Perjuangan di DPR RI secara diam-diam bilang bahwa keputusan saya sudah benar,” ujarnya.
Berikut perbincangan lengkap jurnalis detikX dengan Budiman Sudjatmiko:
Oh, nothing personal. Di 2019, saya sudah dua periode di DPR sejak 2017. Saya itu sudah pamit ke dapil saya, di Banyumas, bahwa saya tidak akan nyalon lagi. Bagi saya, dua periode di DPR itu cukup. Karena saya tidak mau jadi pegawai politik. Saya tidak mau jadi pegawai DPR. Kalau saya jadi periode ketiga, saya nggak yakin akan memiliki vitalitas yang sama ya. Saya akan tumpul gitu ya kalau ada periode ketiga.
Sehingga pada 2015, saya sudah ngomong ke Sekjen (PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto), saya nggak mau dicalonkan lagi. Udah cukup. Dan kemudian Pak Sekjen yang bilang, ‘Ya udah kalau gitu. Tetap aja
Kalau ide, saya sebenarnya sering dikasih panggung oleh partai, tidak semuanya dijadikan, dan memang belum banyak yang dijadikan. Tapi saya pernah isi pelatihan-pelatihan. Saya ngasih wawasan ke partai bagaimana menghadapi problem mutakhir di era kayak gini. Yang bermain itu bukan cuma manusia, yang bermain itu mesin. Apalagi di hadapan pandemi kemarin, semua orang akhirnya masuk digital.
Ya, saya sebagai orang yang memang suka belajar pemikiran Bung Karno dari dulu, saya lihat Bu Mega bersikap dan berpikir, ya ini cara berpikir bapaknya. Sama dengan cara berpikir bapaknya. Saya dengerin Bu Mega ngomong kayak dengerin Bung Karno bicara, kayak baca buku bapaknya.
Bu Mega setelah 2019 banyak berbicara dalam rapat-rapat partai tentang perlunya PDI Perjuangan menyiapkan kepemimpinan yang strategis. Terutama setelah kita mengalami pandemi dengan segala konsekuensinya.
Oh, sangat senang, sangat senang karena memang beliau juga sebagai orang yang dididik oleh ayahnya. Waktu kecil ketemu banyak tokoh besar, seperti Nehru (Jawaharlal Nehru, tokoh kemerdekaan India). Artinya, obrolan-obrolan yang saya sampaikan, beliau nggak asing. Artinya, beliau juga punya standar tentang kepemimpinan. Karena itu, saya bisa memahami gagasan tentang strategic leadership, which is itu sangat Megawati banget, itu sangat Sukarno banget. Tapi kenapa keputusannya (memilih Ganjar) sangat tidak Sukarno.
Saya jadi berpikir, kalau saya sekadar hidup, ikut aturan partai saja. Untuk hal-hal yang sangat strategis, untuk bangsa ini, yang rugi banyak orang. Sehingga sementara saya sudah telanjur meyakini apa yang disampaikan Bu Megawati, dari tokoh-tokoh yang ada, saya mengambil kesimpulan.
Menurut saya, sesudah saya olah dengan nalar, dengan common sense dan nurani juga, Pak Ganjar, yang menjadi calon resmi PDIP, adalah pemimpin yang populis, Pak Anies itu intelektualistik, dan Pak Prabowo itu sosok yang strategis. Saya pikir, dalam menghadapi seperti ini, ya kita butuh kepemimpinan strategis. Bahwa kemudian ternyata bukan dari partai saya, it's okay, itu sama-sama orang Indonesia.
Baca Juga : Kartu Merah dari Kantong Megawati
Budiman Sujatmiko saat hadiri deklarasi Relawan Persatuan Nasional di Deli Serdang, Senin (7/8/2023).
Foto : Nizar Aldi/detikSumut
Bagi saya, pada akhirnya, menjadi rasional itu menurut saya harus tetap dikemukakan. Lebih penting daripada loyalitas.
Ada di ujungnya yang keliru. Dan saya belum tahu kenapa tiba-tiba kayak gini.
Kan kita tahu, Pak Jokowi pada 2019, periode kedua, terutama setelah pandemi ini, beliau berusaha menjadi lebih strategis. Orientasinya lebih global. Nah, kalau kemudian penerusnya kembali ke sosok yang populis, ini menurut saya yang rugi Indonesia.
Jadi harusnya sudah lulus SMP, kita balik lagilah ke kelas 4 SD. Kita bisa jadi selalu jadi juara pertama di SD. Daripada SMP nggak jadi juara, kita balik lagi sajalah ke SD.
Masyarakat berubah, tantangan berubah. Kenapa misalnya populisnya Pak Ganjar tidak memberikan daya magnetik yang sama seperti Pak Jokowi? Sama-sama misalnya makan ayam pinggir jalan. Sama-sama masuk selokan misalnya. Karena kebutuhannya berbeda.
Pak Ganjar bukan politikus buruk ya. Pak Ganjar juga punya magnetic power. Dia punya kebaikan yang mempesona dan memikat. Bukan, ini bukan soal baik atau buruk, ini soal tepat tidaknya. Kalau Pak Ganjar muncul di tahun 2014, itu mungkin tepat.
Oh, nggak, Prabu (Relawan Prabowo Budiman Bersatu) kan buka partai. Mungkin saya jomblo politik dulu untuk sementara. Ngejomblo dulu. Ngejomblo dulu nggak apa-apa, artinya gak ada masalah juga.
Karena saya yakin keputusan saya, sikap saya itu benar-benar ideologis, benar-benar strategis. Saya merasa bahwa PDI Perjuangan sebagai sebuah partai yang baik, ya. Dan perbedaan pendapat ini menurut saya bukan pelanggaran ideologis. Mungkin pelanggaran politis. Tapi bukan pelanggaran ideologis. Kecuali kalau saya tiba-tiba sebagai anggota PDI Perjuangan setuju negara khilafah, setuju negara federal, itu ideologis, itu layak dipecat. Tapi bagi saya ini perbedaan politis, organisasional.
Saya pernah mendapat sebutan lebih buruk juga pada 1990-an. Saat saya usia 26 tahun dengan risiko dibunuh. Di media sosial itu, seorang pecundang bisa ngejek pemenang. Di media sosial itu seorang yang tidak berilmu bisa ngejek orang yang berilmu. Ya, saya kira memang itu konsekuensi dari demokrasi di era media sosial. It's okay, kan? Tapi ada ya misalnya telepon, chat.
Ini menarik, selalu ada pertanyaan Budiman dan teman-temannya yang backup siapa. Nggak ada, nggak ada. Dulu, waktu Undang-Undang desa, saya sendirian orang bingung nih, kok bikin undang-undang mau ngasih uang ke rakyat, puluhan triliun tiap tahun siapa backup-nya? Nggak ada backup.
Ada diskusi dengan beberapa teman. Nggak perlu saya sebutkan siapa. Dan ketika terjadi pun, banyak juga teman PDI Perjuangan di DPR RI secara diam-diam bilang bahwa keputusan saya sudah benar.
Dia tidak ideal juga, tapi paling mendekati. Dia itu pasti tidak ideal. Pasti ada kekurangannya, dengan segala kekurangannya. Memangnya saya ketemu dia tidak berpikir bertahun-tahun? Bertahun-tahun untuk ketemu saja, saya perlu berpikir bertahun-tahun untuk ketemu.
Dulu zaman beliau baru pulang dari Yordania, kebetulan saya diajak Mas Nezar Patria (aktivis 1998 yang menjadi korban penculikan, kini menjabat Wakil Menteri Kominfo), ketemu Pak Prabowo, mau wawancara. Ngobrol macem-macem tentang kasus-kasus 1998. Kemudian ketemu lagi saat Pak Prabowo sebagai calon wakil presiden pada 2009. Saya kebetulan ketua badan saksi nasional tim kampanye Mega-Pro.
Baca Juga : Ganjaran Penolak Ganjar di Kandang Banteng
Potret Budiman Sudjatmiko di Calon Lokasi Bukit Algoritma, Sukabumi, Senin (19/4/2021).
Foto : Syahdan Alamsyah/detikcom
Diskusi mengalir, soal petani, kami diskusi desa, diskusi ancaman perang nuklir, konsekuensi dari perang Rusia-Ukraina. Lalu dampak kalau ada ketegangan di Selat Taiwan, konsekuensi dari krisis, ancaman krisis pangan karena Rusia mencabut diri dari perjanjian pengiriman gandum di Laut Hitam. Kami diskusi dari hal global sampai soal pupuk, soal reforma agraria. Artinya kami pernah membaca referensi-referensi yang sama dalam dua dunia berbeda. Dunia petani dan dunia geopolitik, geostrategi. Ya ketemulah.
Kalau sesuai prosedur sebenarnya ini tidak sesuai tahapan yang ada. (Biasanya) ya ada pemanggilan surat peringatan, tertulis, kemudian klarfifikasi. Tapi ini kan enggak. Tapi saya nggak tahu apakah ini bagian dari hak prerogatif ketua umum, saya kurang tahu. Karena tidak ada penjelasan di situ. Tetapi biasanya, lazimnya, setiap anggota yang dipecat itu boleh memberikan pembelaan saat forum kongres, dan PDIP akan kongres tahun 2025.
Enggak saya tidak ingin memperpanjang. Saya tidak mau bermain-main seolah korban. Saya tidak ingin playing victim. Saya justru ya udah, oke. Toh nanti kalaupun saya harus melakukan pembelaan diri, masih ada kongres tahun 2025. Untuk sementara saya menjalani status jomblo dahulu (sambil tertawa).
Ya terus terang saya ingin Pak Prabowo dikawal dari segi substansi. Jadi bukan sekadar lapangan, kita bicara juga pertukaran ide, menyusun visi-misi, menyusun rencana-rencana Indonesia. Bukan sekadar menang secara kuantitatif. Saya ingin juga memenangkannya secara kualitatif.
Ngobrol-ngobrolnya itu sepuluh hari sebelum 18 Agustus ya, ketika dirasa bahwa target saya berkunjung ke Kertanegara untuk menyatukan kekuatan nasional dan persatuan nasional itu rupanya belum mencapai target. Tadinya mau dibuat di Banyumas, kebetulan Banyumas itu adalah tempat leluhurnya Pak Prabowo dan saya juga gitu. Tetapi kemudian akhirnya diputuskan pindah ke Semarang.
Saya tidak tahu yang jelas itu urunan sih, urunan dari berbagai pihak, termasuk dari pihak saya juga. Termasuk, saya, tim saya juga urunan. Bukan kita dibayari, lantas kemudian kami bikin panggung itu, enggak. Kami sharing.
Bahkan kemarin ada tiga orang Golkar hadir, Kang Dedy Mulyadi, Sharif Cicip Sutardjo sama Erwin Aksa. Ada Mas Sugiono (Gerindra) juga, ada semuanya di situ, ada juga tim dulu yang sama-sama mendukung Pak Jokowi, ada Pak Hasyim.
Itu menarik, ya ada yang mengkritik. Tetapi tidak sedikit lho dari kelompok-kelompok mahasiswa yang mengajak saya diskusi, Memang sering diskusi dengan kelompok-kelompok mahasiswa, kelompok buruh, organisasi petani. Inisiatif (mendekat ke Prabowo) dari teman-teman aktivis, yang jengkel bahwa setiap lima tahun penderitaan kita dijadikan bahan kampanye untuk memojokkan salah satu capres. Tapi juga tidak kunjung diselesaikan. Selalu berulang-ulang seperti itu. Harapan kita tadinya mau diselesaikan tapi juga tidak kunjung selesai.
Kami ini adalah petarung yang tahun ‘98. Kami kalah karena kami ditangkap, sebagian teman yang lain kalah karena disandera, diculik. Kami merasa mengemban tugas sejarah. Pak Prabowo dan teman-temannya merasa menjalankan tugas negara. Its oke. Dan Pak Prabowo bilang, saya mendapat perintah, kan begitu ya.
Ya saya katakan begini, kan Pak Jokowi ingin saya jadi Menteri, tapi coba mas Budiman ngomong ke ibu juga, waduh pak saya nggak pernah minta-minta, saya nggak pernah minta peran di istana, saya pernah juga dipanggil ke rumah beliau, di Solo, saya bilang waduh pak saya tidak pernah minta-minta jabatan.
Kalau ada kesempatan ya, sejauh di bidang yang saya pahami, oke. Masalahnya kan nggak ada, dulu pernah ditawari cuma harus disampaikan ke Bu Mega, saya nggak bisa menyampaikan ke Ibu kalau minta-minta seperti itu. Tapi Ibu malah punya gagasan bilang ke saya, pengen mengangkat saya di BRIN. Ibu yang menawarkan ke saya.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban