SPOTLIGHT

Tergagap Mengungkap Misteri Gagal Ginjal

Kuldesak mencari penyebab gagal ginjal misterius, Kemenkes berkomunikasi dengan WHO untuk mendapatkan titik terang. Petunjuk baru didapatkan. Tes kandungan racun dilakukan BPOM, tapi hasilnya diragukan.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Rabu, 26 Oktober 2022

Para dokter Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) menyadari ada yang tak biasa pada akhir Agustus 2022. Pada bulan itu, mereka tiba-tiba kedatangan banyak pasien anak dengan diagnosis gagal ginjal akut yang membutuhkan perawatan khusus.

Anak-anak itu mengalami kondisi keparahan beragam. Ada yang diare, mual, muntah, batuk, pilek, dan demam selama berhari-hari dengan jumlah air kencing yang sedikit. Bahkan ada yang tidak bisa mengeluarkan air kencing sama sekali. Mereka, yang berusia enam bulan hingga 18 tahun tersebut, mengidap gagal ginjal akut progresif atipikal atau yang biasa dikenal dengan gagal ginjal misterius.

Penyakit tersebut sebenarnya bukan hal baru. Sejak awal 2022, kasus itu sudah ada. Sepanjang Januari hingga Juli terdapat 17 kasus. Yang berbeda, pada Agustus terjadi lonjakan jumlah kasus yang tak wajar, yaitu 36 kasus. Penyebabnya belum diketahui.

Sebagian anak-anak yang dirawat di RSCM bahkan ada yang sampai melakukan cuci darah, prosedur untuk memperbaiki fungsi ginjal. Namun, dari intervensi medis yang dilakukan para dokter, sebagian besar dari mereka tetap tidak tertolong.

Anomali yang terjadi pada Agustus itu kemudian membuat manajemen RSCM melapor ke Kementerian Kesehatan. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Dokter Siti Nadia Tarmizi mengatakan, bukan hanya secara kuantitas, secara kualitas kasus di RSCM waktu itu pun sangat serius.

“RSCM melaporkan pertama kali bahwa terjadi peningkatan kasus gagal ginjal akut pada anak. Ini berbeda dengan yang biasanya. Kasus ini cepat sekali prosesnya: dari anak dalam kondisi baik, tiba-tiba memburuk, bahkan butuh cuci darah. Waktu itu 70-75 persen (pasien) tidak tertolong,” kata Dokter Nadia saat berbincang dengan reporter detikX.

Saat ini RSCM sudah merawat 49 pasien sejak awal tahun. Sebanyak 31 pasien atau 63 persen di antaranya meninggal dunia. Hanya ada tujuh pasien yang selamat, sementara 11 lainnya masih dalam perawatan.

Dari laporan RSCM itu, Kemenkes kemudian memantau laporan RSUP lainnya di beberapa daerah. Seperti RSCM, RSUP Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat juga memberikan laporan kasus serupa dengan tingkat fatalitas di atas 50 persen.

Laporan-laporan dari berbagai RSUP di daerah pun membuat Kemenkes membentuk tim khusus pada awal September 2022. Tim terdiri atas Ikatan Dokter Anak Indonesia dan RSCM. Tujuannya, menyelidiki fenomena janggal itu.

Menurut juru bicara Kemenkes Mohammad Syahril, pada mulanya tim ini beranggapan lonjakan jumlah kasus gagal ginjal akut itu disebabkan oleh virus, bakteri, atau parasit yang menyebabkan infeksi ginjal. Itu sebabnya, tim kemudian memfokuskan penyelidikan dengan melakukan tes patogen, pengujian untuk mencari organisme yang menjadi penyebab penyakit.

Direktur Utama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Lies Dina Liastuti (tengah) saat konfrensi pers terkait kasus penderita gagal ginjal akut di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Kamis (20/10/2022). 
Foto : Fauzan/Antarafoto

"Apakah ada virus, bakteri, atau parasit? Ternyata semuanya nggak ada," kata Dokter Syahril kepada reporter detikX pekan lalu.

Tim ini bahkan memeriksa hubungan vaksin dan infeksi COVID-19 dengan kasus gagal ginjal misterius itu. Hasilnya, Kemenkes memastikan tidak ada hubungannya sama sekali.

Di sisi lain, tes patogen yang di antaranya dilakukan dengan pemeriksaan darah dan urine pasien serta genome sequencing ternyata berujung kuldesak atau jalan buntu. Tim khusus bentukan Kemenkes itu tidak menemukan organisme yang menjadi penyebab lonjakan jumlah kasus gagal ginjal akut pada anak.

Kebuntuan itu mendorong Kemenkes menghubungi perwakilan Badan Kesehatan Dunia (WHO) di Indonesia satu bulan setelahnya, tepatnya pada 5 Oktober 2022. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Dokter Siti Nadia Tarmizi mengatakan, dari komunikasi itu, tim mendapatkan petunjuk baru untuk menyelidiki fenomena gagal ginjal misterius.

"WHO mengatakan ada kasus di Gambia yang mirip. Terjadi peningkatan gangguan ginjal akut pada anak dan sudah ada buktinya," kata Nadia. "Ternyata ada kaitan dengan sirup atau obat cair yang diminum anak-anak."

Gambia adalah suatu negara berkembang di Afrika Barat. Di negara tersebut, sekitar 70 anak meninggal dunia karena gagal ginjal akut yang diduga dipicu oleh dua senyawa racun pada kandungan obat sirup buatan produsen obat asal India. Dua senyawa itu adalah etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG), umumnya digunakan pada industri kosmetik dan pembuatan plastik. Meski bisa menjadi pelarut, dua senyawa itu terlarang untuk digunakan di industri farmasi.

Dokter Nadia melanjutkan gambaran kasus di Gambia yang dijelaskan WHO memunculkan ide penyelidikan lanjutan tim bentukan Kemenkes. Mereka memandang, seperti juga di Gambia, Indonesia perlu melakukan tes toksikologi atau pemeriksaan kadar racun obat-obatan sirup yang beredar di Indonesia. Tes patogen pun tidak lagi menjadi fokus tim.

Sejak saat itu, Kemenkes mulai melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam penyelidikan. BPOM mulai melakukan kajian pada obat-obatan yang beredar di masyarakat.

Kajian awal BPOM diumumkan pertama kali pada 12 Oktober 2022. Kala itu, BPOM menyatakan merek obat sirup yang beredar di Gambia dapat dipastikan tidak pernah terdaftar di Indonesia.

Di Balik Perubahan Daftar Obat Terlarang
BPOM tak berhenti. Mereka menguji seluruh obat sirup yang ada di Indonesia untuk mendeteksi dugaan adanya kandungan EG dan DEG seperti pada obat yang beredar di Gambia. Sementara itu, pada Rabu, 19 Oktober 2022, Kemenkes melarang masyarakat mengkonsumsi obat sirup untuk beberapa waktu.

Sehari setelah pelarangan itu, Kepala BPOM Penny Lukito merilis hasil kajian lembaganya. Penny mengatakan BPOM telah melakukan sampling dan pengujian terhadap 39 batch dari 26 obat sirup yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG.

Sampling itu didasari beberapa kriteria, di antaranya sirup itu diduga digunakan pasien gagal ginjal akut sebelum dan selama dirawat di rumah sakit. Kemudian diproduksi oleh produsen yang menggunakan empat bahan baku pelarut propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin atau gliserol dengan jumlah volume yang besar.

Kriteria lainnya, diproduksi oleh produsen yang memiliki rekam jejak kepatuhan minimal dalam pemenuhan aspek mutu. Hingga diperoleh dari rantai pasok yang diduga berasal dari sumber yang berisiko terkait mutu.

Dari hasil pengujian sampel itu, BPOM menemukan adanya kandungan cemaran EG dengan jumlah yang membahayakan tubuh manusia. "Menunjukkan adanya kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman pada lima produk," kata Penny.

Dari lima produk tersebut, dua di antaranya Termorex sirup (obat demam) produksi PT Konimex dan Flurin DMP Sirup (obat batuk dan flu) produksi PT Yarindo Farmatama. Tiga lainnya, obat yang diproduksi Universal Pharmaceutical Industries, yaitu Unibebi Cough Syrup (obat batuk dan flu), Unibebi Demam Sirup (obat demam), dan Unibebi Demam Drops (obat demam).

Kendati demikian, Penny menegaskan, penggunaan merek-merek sirup itu belum bisa dipastikan memiliki kaitan erat pada kasus gagal ginjal akut. "Karena selain penggunaan obat, masih ada beberapa faktor risiko penyebab kejadian gagal ginjal akut, seperti infeksi virus, bakteri leptospira, dan multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) atau sindrom peradangan multisistem pasca-COVID-19," katanya.

Meski begitu, pengumuman publik yang dilakukan BPOM itu berdampak pada merek-merek yang disebut. PT Konimex, sebagai produsen merek Termorex, diduga sampai menyatakan keberatan kepada BPOM. Sebab, rilis itu telah memperburuk citra perusahaan dan produk Termorex yang selama ini dikenal masyarakat.

Setelah itu, BPOM merevisi pengumumannya empat hari kemudian, tepatnya 23 Oktober 2022. Pada pengumuman itu, BPOM tidak lagi menyebut Termorex sebagai produk yang mengandung EG dan berbahaya. Alasannya, BPOM sudah melakukan pengembangan sehingga disimpulkan bahwa hanya ada batch Termorex tertentu yang bermasalah.

“Termorex sirup obat demam untuk produksi PT Konimex ini sebelumnya dinyatakan tidak aman, tapi kemudian kita kembangkan lagi dengan melihat sampel dan menguji dari batch-batch yang lain, dari lokasi peredaran atau tempat stok, dari lokasi yang berbeda, tempat sampel yang berbeda, dan waktu produksi yang berbeda di batch yang berbeda ternyata aman,” kata Penny.

Walhasil, BPOM hanya menyebutkan tiga merek yang diproduksi Universal Pharmaceutical Industries. Sedangkan merek Termorex yang diproduksi PT Konimex sudah termasuk dalam daftar obat sirup yang aman dikonsumsi. Sementara itu, satu merek lainnya, Flurin DMP, yang diproduksi PT Yarindo Farmatama, tidak ada dalam daftar aman maupun bahaya.

Saat dimintai konfirmasi, Chief Executive Officer Konimex Group Rachmadi Joesoef membantah melayangkan protes ke BPOM. Upaya komunikasi yang pihaknya lakukan dengan BPOM guna memberikan kepastian bagi masyarakat.

"Yang dapat kami sampaikan adalah komunikasi yang kami lakukan bukanlah layangan protes, melainkan bentuk pemenuhan kewajiban kami sesuai arahan Kemenkes dan Badan POM, sebagai pelaku dalam industri farmasi yang berkomitmen untuk Ikut menyehatkan bangsa," kata Rachmadi melalui keterangan tertulis kepada reporter detikX.

Sedangkan terkait produk Termorex sirup 60 ml dengan batch AUG22A06, kata Rachmadi, sudah seluruhnya ditarik ke gudang. Dia memastikan produk Termorex sirup 60 ml yang kini ada di pasaran sudah dinyatakan aman untuk dikonsumsi masyarakat.

Rachmadi juga menyampaikan PT Konimex senantiasa mematuhi segala kebijakan dan aturan yang ditetapkan pihak berwenang sesuai dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Mereka juga telah melakukan pemeriksaan internal dan juga eksternal lebih lanjut pada produk Termorex sirup.

"Kami berkomitmen untuk selalu mematuhi kebijakan dan aturan yang ditetapkan pihak berwenang, terutama Badan POM, guna memastikan semua lini produk kami aman untuk dikonsumsi masyarakat. Oleh karena itu, walau Badan POM telah menyampaikan bahwa Termorex sirup aman untuk dikonsumsi, kami mengambil keputusan untuk sekali lagi melakukan pemeriksaan internal dan juga eksternal lebih lanjut pada produk Termorex sirup," ujarnya.

Sedangkan kuasa hukum PT Universal Pharmaceutical Industries, Hermansyah Hutagalung, mengatakan pihaknya tidak memasukkan etilen glikol sebagai bahan baku obat sirup yang diproduksi. Ia menyebut perusahaan mereka, yang sudah berdiri sejak 1970-an, tidak punya niat mencelakakan orang lain.

"Kami pastikan perusahaan kami sudah sesuai SOP yang ditentukan. Karena mekanisme ketika obat ini akan dipasarkan, pasti akan diperiksa," tuturnya saat konferensi pers di Medan, dikutip dari detikSumut, Selasa (25/10/2022).

Menurut Hermansyah, PT Universal Pharmaceutical Industries tidak bisa dikenai sanksi pidana. Ini merespons pernyataan Penny Lukito yang menyatakan ada dua perusahaan farmasi yang akan diproses pidana berkaitan dengan kasus ini. Namun dia tidak menyebut nama-nama perusahaan itu.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkap ada 241 anak yang terjangkit gagal ginjal akut, Jumat (21/10/2022). 
Foto : Agung Pambudhy/detikcom

Tim detikX telah berupaya melakukan konfirmasi kepada PT Yarindo Farmatama. Kami menghubungi Tekad Soetopo Raharjo dan Thomas Candra, yang nama dan kontaknya tercatat di E-Katalog LKPP, sebagai representasi perusahaan tersebut. Tekad, yang mengaku tak mengikuti isu terkini, enggan berkomentar karena dia hanya sales cabang Bekasi. Sedangkan Thomas mengaku sudah tak bekerja di perusahaan tersebut. Kami juga menghubungi nomor telepon kantor PT Yarindo Farmatama. Seorang staf yang menerima telepon bingung permohonan wawancara kami harus ditujukan kepada siapa dan jajaran direksi lagi sibuk rapat.

Fenomena gagal ginjal akut misterius yang terjadi di Indonesia saat ini sudah memakan jumlah korban meninggal dua kali lebih banyak dari pada di Gambia. Dari total 245 kasus di seluruh provinsi, 141 di antaranya menyebabkan kematian.

BPOM Diminta Perluas Cakupan Penelitian
Guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Zullies Ikawati menjelaskan etilen glikol memang bisa menjadi pelarut dan pernah digunakan industri obat pada zaman dahulu. Setelah diketahui senyawa itu berbahaya, dunia kemudian melarangnya.

Produsen obat besar tentu mengetahui hal ini. Dalam proses produksi obat pun, cemaran merupakan hal yang umum terjadi. Namun, Zullies menjelaskan, cemaran itu biasanya tidak akan terlalu tinggi.

Lebih dari itu, setiap negara, termasuk Indonesia, memiliki farmakope atau buku standar obat yang dikeluarkan pemerintah, yang menguraikan bahan obat-obatan, bahan kimia dalam obat dan sifatnya, khasiat obat, dan dosis yang dilazimkan. Farmakope inilah yang menjadi acuan para produsen obat.

"Tetapi kalau ternyata (EG dan DEG) sengaja digunakan untuk pelarut, itu baru kriminal," kata Zullies kemarin.

Zullies menjelaskan EG berbahaya karena proses kimia di dalam tubuh dapat berubah-ubah menjadi senyawa lain, termasuk asam oksalat. Kecepatan perubahan senyawa itu ditentukan oleh kondisi biologis orang masing-masing. "Orang minum CTM (obat alergi) saja ada yang ngantuk, ada juga yang tidak, kok," katanya.

Zullies melanjutkan, ketika EG telah berubah menjadi asam oksalat, inilah yang akan merusak tubuh karena senyawa itu bisa mengkristal dan mengganggu kerja ginjal. "Tetapi perlu diingat, asam oksalat itu bisa dijumpai di makanan. Misalnya dia minum sirup, kemudian makanannya banyak mengandung asam oksalat, jadinya menumpuk, sehingga kondisinya lebih parah karena akumulasi asam oksalat," kata dia.

Karena itulah Zullies memandang, EG dan DEG tidak bisa disimpulkan sebagai penyebab utama atau penyebab tunggal gagal ginjal akut. Dia menyarankan Kemenkes perlu memperluas cakupan penelitian, bukan hanya secara wilayah, tetapi juga melihat faktor-faktor lainnya.

"Yang diteliti ini, kan, baru yang di Jakarta. Mungkin harus dilakukan di wilayah lain, bahkan seluruh pasien. Faktor makanan dan malnutrisi juga berpengaruh. Di Gambia, kabarnya bahkan disebabkan oleh bakteri E coli," katanya.


Reporter: May Rahmadi, Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: May Rahmadi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE