Ketua Bawaslu Rahmat Bagja bercerita adanya kejadian seseorang yang telah meninggal dunia dapat memilih dalam pilkada. Bagja mengatakan KPU harus melakukan evaluasi dalam pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih tetap (DPT).
Mulanya, Bagja mengatakan dalam Pemilu 2024, terdapat banyak data orang meninggal dunia dan tidak diketahui keberadaannya. Bagja mengatakan data oran meninggal dunia itu tidak dihapus dalam DPT lantaran tidak terdapat dokumen autentik.
"Usulnnya dari Bawaslu, agar KPU dan Bawaslu bersama pemerintah membuat kebijakan bersama, agar kepala desa dapat menindaklanjuti saran perbaikan Bawaslu atau hasil coklit KPU dalam hal ditemukannya data penduduk yang meninggal atau tidak diketahui keberadaanya," kata Bagja dalam rapat kerja di Komisi II DPR kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sehingga data pemilih yang dihasilkan menjadi akurat secara de facto maupun de jure," sambung dia.
Bagja mengatakan seharusnya untuk mengubah DPT diperlukan surat kematian. Namun, kata dia, dalam beberapa hal, banyak penduduk yang tidak memiliki surat kematian.
Bagja lalu menceritakan pengalaman pada Pilkada 2020. Saat itu, kata dia, ada seseorang yang telah meninggal dunia dan ikut mencoblos, sehingga harus dilakukan pemungutan suara ulang (PSU).
"Ada KTP yang meninggal dunia itu digunakan oleh orang yang tidak berhak sehingga kemudian harus terjadi PSU di TPS tersebut dan itu dia dapat memilih," jelasnya.
"Padahal, KTP yang digunakan adalah KTP orang yang sudah meninggal dunia 10 hari yang lalu. 10 hari sebelum pemilihan. Jadi pernah ada kejadian orang meninggal bisa memilih di pilkada kita pada saat yang lalu," imbuh Bagja.
(amw/rfs)